Aparat tak menunggu aba-aba. Gas air mata ditembakkan membabi buta. Jeritan menggema, barisan pecah, orang-orang lari tunggang-langgang. Batu mulai dilempar balik. Kursi-kursi plastik yang semula dipakai duduk beterbangan. Sebuah bendera serikat robek di tengah kekacauan. Suasana berubah drastis dalam hitungan menit---dari semangat menjadi kepanikan, dari perjuangan menjadi medan bentrokan.
Aku tahu, kami dijebak. Ini bukan lagi soal tuntutan. Ini permainan besar. Dan kami adalah bidak yang mudah dikorbankan.
Aku masih berdiri di mobil komando, memegangi mikrofon, mencoba meredam, tapi suaraku kalah oleh kekacauan. Sebongkah batu singgah di pelipisku, megalirkan darah hingga menetes ke jaket.
"Kena peluru! Kena peluru!" teriak seseorang dari bawah mobil komando.
Seorang buruh jatuh bersimbah darah.Aku turun dan mendekat. Wajahnya pucat, matanya terbuka kosong. Aku mengenalnya, Ridwan, baru punya anak satu bulan lalu. Dunia seperti berhenti sesaat. Nafasku tercekat. Darah merembes cepat dari dada kirinya, membentuk genangan kecil di atas aspal yang panas.
Ridwan terbaring dengan mata terbuka separuh, napasnya pendek-pendek. Di tangannya masih tergenggam selebaran tuntutan, kini basah oleh darahnya sendiri. Aku berlutut di sampingnya, mencoba menekan lukanya dengan jaketku, tapi darah terus mengalir, terlalu deras, terlalu dalam. Bibirnya bergetar, menyebut nama anak dan istrinya, lalu diam.
"Provokator!" kata seorang polisi dengan nada tinggi. Dia mengangkat tubuhku yang sedang berlutut di samping Ridwan.
"Saya hanya menyuarakan hak kami," jawabku pelan. Aku meronta, melepaskan diri dari cengkraman polisi. Beberapa teman berusaha membantuku, tetapi mereka dipaksa menjauh dariku.
Tiba-tiba, dari balik kekacauan, sebongkah batu besar melesat seperti anak panah. Aku hanya sempat mendengar suara siurannya, lalu duk!
Rasa nyeri luar biasa menghantam pelipisku. Dunia berputar. Kakiku limbung, mikrofon terlepas dari tangan, pandanganku buram. Suara-suara mulai menjauh, gemuruh massa seakan menjauh, lenyap. Hitam. Semuanya hilang dalam gelap pekat yang dingin.
Aku baru sadar saat mencium bau disinfektan yang menusuk hidung. Langit-langit putih, suara monitor berdetik, dan selimut rumah sakit yang asing menyelimuti tubuhku. Mataku perlahan membuka, dan aku sadar: aku masih hidup, tapi tak tahu pasti apakah dunia di luar masih sama seperti saat aku terakhir berdiri di atas mobil komando.