Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasih yang Tak Terbatas

10 Oktober 2022   10:54 Diperbarui: 10 Oktober 2022   11:01 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok.Pri by Canva

 

"Cara mendidik anak yang terbaik adalah dengan memberikan keteladanan karena sejatinya orang tua adalah role model yang akan ditiru oleh anak-anaknya."

 

Aku memandang Aldo. Dia menundukkan kepalanya seolah malu pada apa yang telah dilakukannya. Hari ini dia dipanggil guru BK karena ketahuan sedang merokok di toilet siswa.

Sebagai wali kelas aku bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didikku di sekolah. Aku memang harus menyediakan waktu khusus untuk mereka yang bermasalah di sekolah.

"Sudah berapa kali kamu melanggar peraturan ini? Apakah kamu tahu dilarang merokok di wilayah sekolah atau pada saat menggunakan seragam di luar sekolah?" Pak Adrian menanyainya sambil menatap tajam.


Tak  satu pun Aldo menjawab pertanyaan itu. Wajahnya semakin menunduk dalam. Aku melihat wajah Pak Adrian sudah menunjukkan kekesalan. Aldo tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Adrian.

"Silakan, Bu Kania. Saya menyerahkan anak ini kepada Ibu," ujar Pak Adrian sambil bangkit dan keluar dari ruang BK. Aku tahu Pak Adrian tidak mau terpancing emosi gegara ulah Aldo.

Aku mengambil posisi duduk di hadapan Aldo. Aku menghela napas sejenak dan mengatur emosi yang menyesak di dada. Pasalnya anak ini sering membuat ulah di sekolah. Rasanya sudah kewalahan menghadapi, tetapi aku tidak boleh menyerah. Pantang bagiku menyerah dengan keadaan ini.

"Aldo! Tatap mata Ibu!" ujarku dengan suara tegas dan lantang.

Akhirnya Aldo menengadahkan muka dan melihat ke arah wajahku yang sedang menatapnya tajam.

"Sekarang apa yang akan kamu katakan?' tanyaku masih dengan suara yang tegas," Ibu sudah kehabisan cara untuk mengubah sikapmu. Ibu merasa senang saat kamu sudah mulai berubah. Kamu mulai menjadi anak yang rajin, mulai disiplin, dan rajin mengerjakan tugas. Lalu sekarang kamu sudah mulai berubah ke Aldo yang dulu lagi."

"Maafkan Aldo, Bu. Saya sudah sering membuat Ibu kecewa dan marah," jawabnya penuh penyesalan. Setelah memberikan nasihat panjang lebar kepadanya, aku mengizinkan Aldo untuk kembali ke kelas.

"Mengapa Aldo mulai berubah sikapnya, Bu Kania? Saya melihat sudah tiga bulan ini dia mulai rajin belajar, tidak lagi terlambat, dan mulai bersikap baik. Apa penyebabnya, ya?" tanya Pak Adrian kepadaku.

"Itulah yang membuat saya heran, Pak Adrian. Saya yakin ada sesuatu yang membuat dia berubah. Saya  harus mencari tahu apa penyebabnya." ujarku penuh keyakinan.

"Ya, saya percaya Bu Kania bisa menjinakkan kembali Aldo seperti yang Ibu lakukan beberapa bulan lalu," kelakar Pak Adrian. Memangnya Aldo harimau yang harus dijinakkan?

Teringat saat pertama kali datang ke sekolah ini lima bulan lalu, aku langsung dipercaya untuk menjadi wali kelas mereka. Saat itu aku masuk ke kelas dan dikerjai oleh Aldo dan kawan-kawannya. Mereka memasukkan ular mainan ke laci meja guru. Untungnya aku tidak takut pada pada ular, bahkan ayah mempunyai seekor ular yang dipelihara di rumah.

"Wah, Ibu tidak ketakutan seperti guru perempuan yang lain," ujar Damar salah satu teman dekat Aldo.

Aku hanya tersenyum mengingat perlakuan mereka. Beberapa kali mereka menjahili aku dengan menakuti menggunakan binatang-binatang lain seperti: tikus, kecoa, ulat, dan belut. Namun usaha anak-anak itu tidak berhasil karena aku memang sudah terbiasa dengan binatang-binatang itu.

Konon Aldo dan gangnya selalu membuat ulah di sekolah itu. Mereka kerap melanggar peraturan sekolah dan sering dipanggil Pak Adrian dan Bu Meti, wali kelasnya dulu. Beberapa guru sudah menyerah untuk menangani mereka. Bu Meti mengundurkan diri menjadi wali kelas mereka karena Ado dan gangnya memang jahil. Akhirnya kepala sekolah menyerahkan tugas wali kelas itu kepadaku.

Pernah suatu hari aku membawa ular jinak peliharaan ayah. Aku menyimpan ular itu di keranjang rotan yang biasa kupakai untuk piknik. Kebetulan hari ini aku mengajar di kelas 9B, kelas Aldo. Aku ingin menaklukkan anak-anak itu agar tidak lagi melakukan hal-hal yang buruk.

"Nah, anak- anak, kita mulai pembelajaran kita hari ini, ya. Materi kita hari ini tentang teks cerita fabel. Ada yang mengetahui apa itu teks cerita fabel?" Aku memulai pelajaran hari itu dengan semangat. Aku sengaja membawa keranjang rotan itu ke kelas. Aku mengira pasti ini akan membuat Aldo dan kawan-kawan akan takluk kepadaku.

"Nah, anak-anak hari ini ibu akan memberikan contoh tentang cerita fabel. Ibu akan menceritakan tentang seekor ular," ujarku lantang sambil memandang wajah anak- anak.

"Memang Ibu berani melihat ular?" tanya Aldo sambil tertawa diikuti oleh teman- temannya.

"Aldo, jangan berlaku tidak sopan begitu!" bentak Anton sang ketua kelas.

"Apa loe bilang? Loe berani bentak gue, Ton?" bentak Aldo sambil mendekati meja Anton, "You stupid! You snapped at me?"

"Cukup! Aldo duduk kembali ke bangkumu!" Aku berbicara keras kepada Aldo yang memandangku penuh amarah. Anak ini memang keterlaluan, tetapi aku memang harus sabar. Aku tertantang untuk mengubah Aldo dan kawan-kawannya.

"Aldo, Ibu menantang kamu. Jika ibu berani memegang ular betulan, kamu dan kawan-kawanmu berjanji akan menjadi anak yang baik." Tantangku sambil memandang Aldo dan kawan- kawannya.

Aku melihat Aldo berpikir. Kemudian dia memandang kawan-kawannya untuk membantunya. Teman-teman Aldo hanya mengangkat bahu.

"Oke! Paling Ibu takut memegang ular beneran," ujarnya meremehkan. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.

"Nah, kalian menjadi saksi dengan ucapan Aldo, ya. Dia akan berubah menjadi baik bila ibu berani memegang seekor ular!' ucapku tegas di hadapan anak-anak. Semua anak menjawab serentak.

"Ibu akan menceritakan tentang cerita fabel tentang seekor ular. Ibu akan menggunakan alat peraga. Tunggu, ya!" kataku sambil mengambil sesuatu di dalam keranjang.

"Lihat, anak-anak. Ini alat peraga yang akan ibu gunakan." Aku berkata sambil mengangkat ular dan menyelimpangkan di dadaku.

Semua anak berteriak histeris saat melihat ular tersebut. Beberapa orang berlari ke arah luar kelas. Kelas menjadi heboh tepatnya sekolah. Beberapa anak dari kelas lain mengintip ke arah kelas kami.

"Tunggu! Ular ini jinak dan baik. Lihat dia tidak mengganggu," sahutku sambil mengelus-elus si Zima, ular kesayangan ayahku.

Perlahan beberapa anak ikut mendekat dan memegang Zima termasuk Aldo. Dia mencoba menggendong Zima di lehernya, tentu saja dengan pengawasanku. Beberapa guru juga datang ke kelas untuk melihat apa yang terjadi. Ada beberapa orang dari mereka menghindar dan ada yang ikut memegang ular tersebut.

Gegara itu, aku dipanggil kepala sekolah. Namun, setelah aku menjelaskan metode pendekatan kepada Aldo dan teman-temannya, beliau mengerti seraya mengatakan jika akan membuat kejutan lagi harus berkonsultasi dulu dengannya.

Aldo ternyata orang yang berkomitmen dan menepati janjinya. Sejak saat itu Aldo dan gangnya mulai berubah sedikit demi sedikit. Para guru kagum pada pendekatan yang aku gunakan kepada Aldo dan seluruh murid.

Akhirnya para siswaku tidak hanya sekadar menjadi anak yang aku beri materi dan ilmu. Mereka aku jadikan anak-anakku yang senantiasa curhat bila ada masalah yang dirasakan mereka. Kepala sekolah memberikan penghargaan kepadaku dengan menjadikanku wakil pembina kesiswaan mendampingi Pak Budi yang konon killer kepada anak-anak.

Aku menyadari jika menghadapi anak-anak yang bermasalah harus memiliki trik dan pendekatan sendiri. Anak-anak sekarang tidak bisa terlalu keras atau terlalu lemah. Guru harus memiliki cara sendiri sesuai dengan kasus yang dihadapinya.

Setelah Aldo dipanggil Pak Ardian, dia tidak masuk ke sekolah selama tiga hari tanpa keterangan. Saat aku menanyakan kepada sahabat-sahabatnya tak ada yang tahu alasannya. Aku merasa ada sesuatu yang Aldo sembunyikan dariku. Biasanya dia selalu bercerita kepadaku tentang masalah yang sedang dihadapinya.

"Fitri, kamu tahu rumah Aldo yang baru? Kata Bondan, Aldo sudah pindah rumah. Benar tidak?" tanyaku kepada Fitri, siswa kelas sembilan H  yang rumahnya dekat dengan Aldo.

"Iya, Bu. Rumah Aldo sudah dijual kepada orang lain. Tak ada yang tahu ke mana Aldo pindah," jawab Fitri saat kupanggil dan kutanyai.

Aduh, aku kehilangan jejak Aldo kali ini. Aku yakin ada sesuatu yang sedang dia alami. Aku harus mencari tahu karena aku yakinAldo adalah anak yang baik.

Aku ingat saat Aldo pernah bercerita kepadaku bahwa dia kurang perhatian dari kedua orang tuanya. Mama dan papanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka tidak pernah menanyakan tentang sekolah Aldo, atau mengajarkan tentang ibadah. Dia belajar salat dari Bi Minah, asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun bekerja di rumahnya. Broken home, alasan klise anak-anak sekarang.

Pendidikan memang butuh keteladanan dan orang tualah yang menjadi teladan bagi anak-anaknya. Hal itu yang tidak diperoleh Aldo. Ibarat perahu yang akan berlayar, Aldo tak memiliki kompas untuk menunjukkan arah jalan yang benar.

Aku harus membantu Aldo dan menjadi kompas buatnya agar bisa menjadi anak yang baik. Semoga Allah SWT menunjukkan jalan terbaik untuk orang tuanya dan membuka hati mereka agar memperhatikan anak semata wayangnya.

Cerpen di atas terbit dalam buku Antologi berjudul Merenda Kisah Sang Pencerah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun