Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Topeng 1 Pertemuan

6 Maret 2022   12:43 Diperbarui: 6 Maret 2022   13:28 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Topeng. sumber: behance.net

Malam ini cuaca sangat bersahabat. Langit tampak bersih dihiasi cahaya rembulan dan kerlip bintang. Suara gamelan terdengar dari kejauhan. Beberapa orang terlihat berbondong-bondong menuju lapangan desa Surianenggala. Hari ini adalah puncak dari pesta rakyat yang diadakan setahun sekali. Berbagai kegiatan ada di sini, mulai dari festival jajanan tradisional, pentas seni tradisional, sampai bazar pakaian dan sembako.

Biasanya dulu Arman tak pernah absen bila acara ini berlangsung. Dia pasti datang dan menikmati segala kegiatan dan pertunjukkan termasuk festival jajanan tradisional. Gerai empal gentong, docang, serabi, pepes tahu, tahu petis, bakso dan makanan lainnya berjejer di pinggir lapangan.

Arman masuk ke gerai empal gentong di sudut lapangan utara. Sudah lama dia tidak menikmati sajian daging berkuah ini. Apalagi ditambah dengan lontong dan sambal bubuk. Makannya ditemani kerupuk kulit. Mantap...serasa dunia tak lagi berputar. Ah...Arman sealay itu ya.

Arman memang sudah sepuluh tahun tidak pulang ke tanah kelahirannya ini. Sejak ayah dan bundanya meninggal, dia sudah tidak betah tinggal di kota yang penuh kenangan ini. Apalagi kedua orang tuanya tewas saat mereka akan menyeberang jalan. Pengemudi mobil tidak bertanggung jawab meninggalkan mereka yang terpental hampir lima meter ke pinggir jalan. Pengemudi itu melarikan diri karena memang pada saat kejadian jalanan tampak sepi.

 Dan yang lebih menyakitkan, polisi tidak berhasil menangkap pelaku tabrak lari itu. Tak ada saksi yang melihat kejadian itu sehingga polisi menutup kasus tabrak lari tersebut.

Akhirnya Arman dan kedua kakaknya harus ikhlas tanpa tahu siapa yang menabrak ayah dan ibu. Setiap dia mengingat kejadian itu, amarahnya memuncak. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan kota ini dan pergi ke Sukabumi.

Alhamdulillah dirinya diterima menjadi seorang guru di salah satu SMP di sana. Pengabdiannya dilakukan dengan sepenuh hati. Dia ingin melupakan kepedihan hatinya. Kedekatannya dengan kedua orang tuanya membuatnya begitu kehilangan.

"Silakan Mas dinikmati empal gentongnya," ujar si Mbak penjual empal gentong sambil tersenyum kepada Arman. Kehadiran penjual itu membuyarkan lamunan Arman. Kemudian Arman menikmati pesanan empal gentong itu.

"Tampaknya Mas bukan penduduk sini ya?" tanya penjual empal gentong itu. Arman hanya tersenyum.

"Soalnya saya baru melihat Mas di sini," lanjut si Mbak kepo. Arman kembali tersenyum. Arman tetap menikmati empal gentong.
Pemberitahuan dari pengeras suara mengusik perhatian.

"Selamat datang para pengunjung festival rakyat desa Surianenggala. Kami beritahukan pertunjukkan seni tradisional akan segera dimulai. Kami akan mempertunjukkan berbagai tarian tradisional, sintren, tarling, dan kesenian tradisional lainnya. Marilah Anda semua bergabung!" Suara itu lantang terdengar dari tempatnya berada. Beberapa pengunjung terlihat segera merapat ke depan panggung. Arman masih asyik menikmati empal gentong sambil minum es jeruk.

 "Mbak Yuni, Centini katanya mau tampil lagi sekarang?" tanya si pedagang dawet kepada Mbak penjual empal gentong.

 "Iya tah? Mesti pak lurah nambah kesemsem. Wong asline pak lurah cinta mati sama Centini," kata Mbak Yuni nyinyir.

Centini, rasanya dia tidak asing dengan nama itu. Lima belas tahun lalu dia punya teman SMA yang bernama Centini. Gadis itu memang manis dan menarik namun dia pendiam, lemah lembut, tetapi Centini itu pandai menari. Bila ia sudah berlenggak lenggok di panggung sekolah, hampir semua orang terkesima padanya.

Banyak teman-teman pria yang mencoba untuk menarik perhatian Centini, tetapi tak ada yang berhasil. Centini tetap pendiam dan penyendiri. Dia hanya dekat dengan beberapa orang teman termasuk Arman.

Mereka berempat, Arman, Diah, Centini dan Gondo bersahabat sejak kelas satu. Setiap hari, mereka berangkat dan pulang bersama-sama. Dengan berjalan kaki, mereka saling mencurahkan masalah yang ada. Mereka juga saling membantu satu sama lain.

Apakah yang dimaksud para pedagang itu Centini sahabatnya?

"Centini itu sinten, Mbak?" tanya Arman pada penjual empal.

"Itu lo Mas, gadis penari topeng yang terkenal itu. Dia sering dipanggil oleh para pejabat untuk menari," jelas Mbak Yuni,"Mas ini mesti bukan orang sini. Soalnya Mas tidak kenal sama Centini. Dia ayu tenan, Mas. Apalagi kalau sudah menari. Aura kecantikannya keluar dan memesona penonton. Cuma sayang, katanya dia juga menjadi perempuan tidak benar."

"Oh...tidak benar itu piye to?" ujar Arman pendek.

"Katanya sih Centini itu suka dipanggil sama bos-bos berduit. Malah dia jadi pelakor." Ucapan Mbak Yuni penjual empal gentong itu membuat Arman tersedak.

"Gosip kali, Mbak. Nggak elok ngomongin orang, Mbak?" ujar Arman seolah tidak rela Centini jadi bahan gunjingan meskipun dia tidak tahu Centini mana yang dimaksudkan mereka.

Arman segera menyelesaikan makannya. Setelah membayar, dia bergegas menuju panggung. Arman penasaran, apakah gadis yang diceritakan itu adalah Centini, sahabat SMA-nya.

Di depan panggung pertunjukan, mata Arman berkeliling untuk mencari sosok gadis yang dimaksud. Ternyata tidak ada.

Laki-laki itu berjalan menuju belakang panggung. Beberapa orang penari berada di sana dengan kostum masing-masing.

"Maaf, Mas. Selain pemain dilarang masuk ke sini," tegur seorang laki-laki berpakaian sekuriti.

"Maaf, Pak. Saya mencari kawan saya. Ijinkan saya bertemu dengannya," jelas Arman kepada petugas sekuriti. Sementara pak sekuriti itu memandangnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Boleh ya, Pak,"ujar Arman sambil menerobos masuk.

"Eit , tunggu ... tunggu. Siapa temanmu itu?"tanya dia lagi.
"Centini,"j awab Arman singkat. Pak sekuriti itu memandangnya penuh selidik.

"Kamu siapanya  Centini? Punya tujuan apa kamu bertemu dengannya? Tidak boleh sembarangan orang bertemu dengannya," rentetan pertanyaan keluar dari bibirnya.

"Saya sahabat masa SMA-nya, Pak. Ijinkan saya masuk!" ujar Arman sambil menerobos masuk.
Arman tidak peduli ketika pak sekuriti mengejarnya dan menahan tubuhnya. Dia mengedarkan pandangan dan mencari gadis berkostum tari topeng. Selintas dia melihat seorang gadis memakai pakaian tari. Di atas meja rias ada topeng tergeletak. Gadis itu sedang menatap cermin. Dia sangat cantik dengan balutan pakaian tradisional Cirebon itu. Sejenak Arman ragu, apakah dia Centini. Sepuluh tahun tak bertemu, pasti banyak perubahan.

"Centini!" teriaknya keras. Perempuan itu menoleh saat mendengar teriakannya, tetapi dia kembali menatap cermin. Dia kembali asyik memandang cermin.
Pak sekuriti itu menarik tubuh Arman dan menyuruh keluar dari ruangan itu. Namun Arman meronta karena penasaran dan ingin memastikan apakah gadis itu sahabat SMA-nya
Kemudian laki-laki muda itu mencari cara untuk menarik perhatian Centini. Dia ingat ada lagu yang sering dinyanyikan bila sedang berjalan pulang sekolah. Lagu Burung Camar-nya Vina Panduwinata selalu dinyanyikan oleh kami berempat.
Arman lalu menyanyikan lagu itu dengan suara keras dan mengundang perhatian orang-orang di ruangan itu termasuk Centini. Centini memandangnya sedang diseret oleh pak sekuriti dari jauh. Dia mengamati diri Arman. Semoga Centini mengenalinya.

"Centini, ini aku Arman!" teriak Arman kembali.

Kemudian Arman melihat Centini menghampirinya. Saat melihatnya berjalan, Arman bertambah yakin kalau gadis itu adalah Centini sahabatnya.

"Arman? Kamu benar-benar, Arman?" tanyanya tak percaya. Arman mengangguk keras untuk meyakinkan Centini

"Pak Mamat, biarkan pemuda ini masuk. Dia sahabatku,"ujarnya pelan. Pak sekuriti melepaskan dan membiarkanku masuk.

"Ayo, kita ngobrol di pojok sana, Man," ajak Centini.

Arman mengikuti Centini ke pojok ruangan. Di sana ada satu set sofa yang bisa dipakai santai dan ngobrol.

"Kamu menghilang ke mana sih, Man? Setelah perpisahan, kita tidak pernah bertemu lagi," ujar Centini membuka percakapan kami.

"Aku kuliah di Bandung, Tin. Setelah lulus aku merantau ke Sukabumi. Aku diterima untuk mengajar di salah satu SMP di sana," jawab Arman pelan. Arman sengaja tidak bercerita tentang peristiwa tragis ayah dan ibunya

"Kamu sendiri masih senang menari. Kamu tidak berubah, ya. Malah semakin cantik dan dewasa," puji Arman sambil memandang Centini. Yang dipuji tampak tersenyum malu.

"Apa kabar Gondo dan Diah? Aku juga tidak pernah bertemu dengan mereka?" tanya Arman kepada Centini.

"Kamu tidak tahu kabar mereka? Memang kamu tidak pernah berkomunikasi dengan mereka?" Tini balik bertanya. Arman hanya menggelengkan kepala saja.

"Mereka menikah, Man," ujar Centini.

"Apa? Ternyata kedekatan mereka selama masa SMA itu berlanjut sampai cinta-cintaan dan berakhir dengan pernikahan," kata Arman sambil tertawa.

"Iya, Man. Mereka tinggal tak jauh dari desa ini kok. Mereka sudah punya dua orang anak. Mereka punya kedai makan," kata Centini pelan. Arman memandangi Centini yang sedang berbicara. Ah...dari dulu Centini selalu berbicara lemah lembut.

 "Bagaimana kabarmu sendiri?  Kamu sudah menikah?" tanya Arman kemudian.

Centini tampak ragu untuk menjawab. Dia memandangku tajam. Pandangan yang selalu membuat Arman rikuh.

Seorang perempuan menghampiri kami yang sedang asyik berbincang-bincang. Dia mendekati Centini dan mengucapkan sesuatu.

"Maaf Mbak. Sebentar lagi acara akan dimulai. Mbak diminta bersiap-siap," ujarnya sambil memberikan sebuah amplop, " Ini ada titipan dari pak Lurah."

Centini tampak tak senang saat menerima amplop itu. Wajahnya tampak kesal dan marah. Centini membuka amplop surat itu. Arman melihat ada gepokan uang dan sepucuk surat di dalamnya.

"Apa itu, Tin?" tanya Arman hati-hati. Centini tak menjawab pertanyaannya lagi.

"Maaf ya, Man. Aku harus tampil. Aku tinggal dulu. O, iya kamu masih lama di Cirebon kan? Aku masih ingin ngobrol denganmu," ujarnya kemudian. Arman menyodorkan gawainya.

" Nomormu?" tanya Arman singkat. Centini memasukan nomor gawainya. Kemudian dia mengikuti langkah perempuan tadi.
Arman melihat langkah Centini yang gemulai. Entah tiba-tiba ada sesuatu yang terselip di lubuk hatinya. Rasa yang disembunyikan selama ini kini muncul kembali.

Arman segera keluar dari ruangan tunggu para pemain. Dia mencari tempat di depan panggung untuk melihat Centini menarikan tari Topeng. Semua sudut lapangan dipenuhi oleh para penonton. Arman mendapatkan tempat di sudut kiri panggung. Lumayan daripada tidak dapat tempat.

Dari sudut itu, Arman mencari seseorang yang tadi memberikan amplop pada Centini. Ada deretan kursi di panggung sebelah kanan. Mungkin itu diperuntukan untuk para pejabat yang datang siang itu.

"Maaf, Mas. Pak Lurah yang mana ya?" tanya Arman pada seorang penonton yang berdiri di sebelahnya.

"Itu, Mas. Pak Lurah yang menggunakan batik biru bermotif mega mendung," jawab laki-laki itu.

Aku memandang laki-laki itu. Dia bertubuh tinggi, tegap dan sedikit tampan. Matanya memandang arah panggung tak berkedip untuk menunggu kedatangan Centini di panggung. Tipe cowok Don Juan dan cunihin. Pantas dia tertarik kepada Centini yang berwajah ayu.

"Hadirin yang berbahagia, selamat datang di acara festival rakyat desa Surianenggala. Acara ini adalah bentuk rasa syukur kita semua karena selama satu tahun ini usaha kita diberkahi Allah SWT. Untuk mengawali acara ini, kita akan mendengarkan sambutan dari lurah Surianenggala. Kepada pak Dimas disilakan tampil ke panggung."

Tepuk tangan dari para penonton mengiringi langkah seorang laki-laki yang berusia 50 tahunan. Rupanya lurah itu bernama Dimas. Dia memang cukup tampan dan berwibawa. Arman tak menghiraukan apa yang disampaikan lurah itu. Dia hanya menduga-duga apa isi surat yang diberikan oleh lurah itu untuk Centini sehingga Centini berwajah kesal tadi.

Apa pula maksud gepokan uang yang ada di amplop itu? Ataukah memang benar apa yang dikatakan oleh para pedagang tadi? Tak mungkin Centini bermoral serendah itu. Ah...daripada dia menduga-duga lebih baik menonton pertunjukan kesenian itu dulu.
Tak lama kemudian MC mengumumkan penampilan selanjutnya adalah tari topeng yang akan dibawakan oleh Centini. Tepuk tangan meriah kembali terdengar.

Suara gamelan Cirebonan mengiringi Centini yang menarikan tari Topeng. Gerakan yang lemah gemulai, tetapi dinamis memesona penonton termasuk Arman. Di bagian penonton VVIP, Arman melihat pak lurah tak berkedip memandang Centini yang sedang menari. Tiba-tiba ada sesuatu rasa yang menyelinap di hatinya ...cemburukah?
Setelah Centini menari, Arman mencari kedai untuk beristirahat. Ada kedai kopi di depan kantor lurah. Sambil beristirahat, Arman berniat menunggu Centini. Arman mengirim pesan kepada Centini untuk mengantarkannya pulang. Hari sudah cukup larut untuk membiarkan Centini pulang sendirian.

Namun lama dia tak mendapatkan balasan. "Apakah harus ditelepon saja ya?" pikirnya sambil memainkan gawai.
Telepon berbunyi pertanda ada yang mengirimi Arman pesan. Hai...pucuk dicinta ulam pun tiba, Centini menjawab pesannya.

" Maaf ya, Man. Kamu tidak perlu mengantarkan aku pulang. Aku diantar oleh panitia kok. Besok siang kamu bisa datang ke rumahku. Masih ingat rumahku, kan?"

Bunyi pesan itu agak mengecewakan hati. Tapi ya sudahlah, Arman tidak bisa memaksakan kehendak. Yang penting Centini masih mau menemuinya besok. Banyak hal yang ingin ditanyakan pada Centini besok.
Tepat pukul 24.00, Arman pulang ke rumah Mbak Arini. Pasti Mbak Arini sudah cemas menungguinya di rumah. Baru kali ini adik semata wayangnya mau berlibur ke Cirebon, pasti dia akan mencemaskan Arman.

Malam itu langit Cirebon tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan. Cahayanya menemani Arman pulang ke rumah.

***

Hari ini matahari cukup terik padahal baru pukul 9. Keringat Arman sudah membanjiri tubuhnya meskipun kipas angin di kamar terus berputar. Ingin rasanya berendam di kolam yang berisi air dingin. Tujuh tahun meninggalkan kota ini membuatnya harus beradaptasi lagi dengan cuaca di sini.

" Om Arman boleh Dinda masuk?" tanya keponakan kecilnya sambil mengetuk pintu kamar.

"Boleh, Dinda. Masuk saja,"jawab Arman sambil duduk di lantai kamar. Dia sengaja duduk di lantai untuk merasakan kesejukannya.
Dinda yang imut-imut dan baru berumur sebelas tahun itu muncul di balik pintu sambil membawa nampan yang berisi sepiring pisang goreng dan secangkir kopi hangat yang masih mengepulkan asap.

"Oom, Dinda bawakan makanan kesukaan Om Arman," ujar Dinda sambil meletakan nampan di meja.

"Terima kasih, ponakan Om tersayang," ujarnya sambil mencomot satu pisang goreng di meja.

"Bundamu pergi, Dinda?" tanya Arman heran. Biasanya Mbak Arini yang menyuruh sarapan. Tapi kali ini, Dinda yang datang ke kamar sambil membawa hidangan lezat.

"Sudah,Om. Bunda ada pertemuan dengan koleganya. Padahal bunda sudah janji mengantarkan Dinda latihan nari," kata Dinda sedikit kesal.

" Kamu latihan menari? Di mana?" tanyanya sambil duduk di hadapan Dinda.

"Sanggar Tari Nyi Mas Gandasari," kata Dinda semangat. Matanya selalu berbinar jika sedang bercerita tentang hobinya.

 Kata Mbak Arini, Dinda senang menari. Dia sedang giat-giatnya berlatih tarian daerah khususnya. Beberapa tarian Sunda dan tari Cirebon sudah dikuasainya. Dinda sering juga tampil di acara-acara sekolah.

"Nanti Om yang antar. Mau?" Arman menawarkan diri pada keponakannya.

"Benar, Om, cius," kata Dinda kegirangan. Arman menganggukan kepala. Wajah Dinda sumringah mendengarnya.

"Ya sudah, Dinda mandi dan siap-siap dulu ya, Om. Latihannya mulai pukul 10-an," kata Dinda sambil bangkit dan berlari keluar kamar.

Arman menggeleng-gelengkan kepala melihat polah keponakannya. Kemudian Arman juga menyiapkan diri. Dia tidak ingin mengecewakan Dinda.

Di perjalanan Arman mengajak Dinda ngobrol. Anak itu berbeda dengan ibunya yang pendiam. Dinda senang berbicara apalagi bercerita tentang pengalaman dia.

"Mengapa Dinda senang menari?" tanya Arman sambil memandang Dinda sejenak.

" Pokoknya Dinda senang saja, Om. Apalagi tarian daerah yang sedang ditekuni Dinda sekarang. Ada sejarah yang harus dipahami. Ada filosofi yang harus dimengerti di gerakan-gerakan yang kita lakukan," ujar Dinda bercerita penuh semangat.
Arman tersenyum melihat gaya bercerita ponakannya ini. Lucu dan menggemaskan.

"Om, belok kanan!" teriak Dinda sambil menunjuk ke arah kanan.

Ups...Arman membelokan setir mobil ke arah kanan. Dinda memberikan informasi dadakan. Untung jalanan tidak terlalu ramai.

"Neng, ngasih tahu arah jangan dadakan dong," protesnya.

"Maaf, Om. Dinda mengira Om tahu arah ke sana," ujar Dinda tersenyum. Dnda lupa kalau pamannya ini sudah lama tidak di Cirebon.


Tak lama kemudian kami tiba di sanggar tari Nyi Mas Gandasari. Arman mengantar Dinda sampai pintu sanggar. Dia tertarik pada foto-foto yang terpasang di dinding tembok sanggar itu. Sementara Dinda masuk, dia melihat-lihat foto itu.
Perhatiannya tertuju pada foto perempuan yang berpakaian tari topeng. Wajahnya tak asing lagi baginya. Itu kan Centini.

"Mungkinkah Centini juga mengajar tari di sini?" tanyanya dalam hati.
Arman pelan-pelan masuk ke ruangan sanggar. Dia mendengar beberapa anak sedang bercakap-cakap di dalam. Ada deretan gamelan di sebelah pojok dengan beberapa nayaga.

"Ayo anak-anak! Kita mulai latihan!" ujar suara perempuan dari ruangan itu. Kemudian perempuan itu memberikan komando kepada anak-anak. Suara gamelan juga terdengar mengiringi tarian itu.
Suara itu sudah tak asing lagi baginya. Dia melongokan kepala ke dalam ruangan sanggar. Tampak seorang perempuan sedang melatih gerakan tari kepada murid-muridnya.

"Assalamualaikum," ujar Arman keras. Suaranya terdengar ke seluruh penjuru sanggar.
Serentak seluruh ruangan menoleh ke arah asal suara termasuk pelatih tari itu. Dia tampak terkejut saat melihat kehadirannya.

"Arman!" ujar perempuan itu sambil menunjuk ke arahnya.

"Centini!" teriaknya bersamaan. Arman senang melihat wanita itu. Dugaannya benar jika Centini mengajar tari di sini. Semua murid tampak keheranan ketika melihat kami saling berteriak.

"Om kenal dengan Ibu Centini?" tiba-tiba Dinda bertanya sambil mendekati oomnya.

"Ya sayang. Bu Centini ini kawan Om saat SMA dulu," jawabnya sambil membelai Dinda.

"Dinda ini keponakanmu, Man?" tanya Centini sambil mendekati kami. Dia mengangguk sambil tersenyum ke arah Centini.

Pertemuan antara dia dan Centini ternyata serba tak diduga. Kemarin dia bertemu dengannya saat mengunjungi festival rakyat. Sekarang dia bertemu lagi ketika mengantarkan Dinda berlatih menari. Semua ini bukan kebetulan. Arman yakin ada campur tangan Allah yang mempertemukan mereka kembali setelah lima belas tahun tak saling bertemu.
Siang ini dia menemani Dinda latihan sambil memandang Centini yang sangat telaten melatih anak-anak didiknya.
Tanpa dia sadari ada sesuatu yang mengalir dalam hatinya, sesuatu yang membuat degup jantung berdebar lebih keras dari biasanya. Apakah ini yang namanya jatuh cinta lagi.

Arman menunggu hampir dua jam. Waktu yang bagi Arman teramat singkat untuk memandang Centini dari kursi tempatnya menunggu yang berada di pinggir ruangan. Rasanya dia ingin lebih lama lagi berada di ruangan ini.

"Om, ayo kita pulang." Suara Dinda mengejutkannya. Sementara Arman melihat Centini masih melatih dua orang anak lagi.

"Sebentar ya, Dinda. Kita tunggu dulu Bu Centini. Kita pamitan padanya. Kan tidak sopan kalau tidak permisi dulu padanya," ujar 

Arman beralasan. Padahal dia sedang mencari kesempatan untuk menemui Centini.

"Oke, kalau begitu Dinda mau membeli minuman ya, Om," kata Dinda sambil berlalu keluar ruangan.Centini menghampirinya setelah mengakhiri latihan.

"Dinda sudah selesai latihan. Silakan kalau mau pulang," ujarnya pelan.

"E...iya. Anu boleh aku ngobrol lagi denganmu?" tanya Arman gugup

"Aku masih ada kelas sampai pukul 17.00 nanti. Silakan kalau mau datang ke rumah nanti malam saja ya. Kau masih ingat rumahku, kan?"

"Oke...nanti malam aku datang ke rumahmu. Aku masih kangen padamu," ujar Arman pelan. Centini senyum -senyum saja mendengar ucapannya.

Arman dan Dinda pulang ke rumah. Sebelum pulang, Dinda minta makan baso yang ada di ujung komplek. Arman menuruti keinginan Dinda sambil membayangkan pertemuan dengan Centini nanti malam.

Saat dirinya berpikir tentang Centini, degup jantungnya semakin keras. Ah...inikah yang namanya cinta yang dulu pernah dirasakannya. Arman masih ingat saat -saat SMA dulu. Dengan diam- diam, dia sering mencuri pandang ketika Centini sedang berlatih di aula sekolah. Dia sangat mengagumi Centini. Rasa yang akhirnya berubah menjadi benih- benih cinta. Namu, dia tak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan segala rasa kepada Centini. Setelah lima belas tahun kini rasa itu kembali hadir di hatinya. Terlambatkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun