Mohon tunggu...
niken nawang sari
niken nawang sari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga. Kadang nulis juga di www.nickenblackcat.com

Ibu Rumah Tangga yang suka jalan-jalan ke bangunan kolonial, suka menulis hal berbau sejarah, dan suka di demo 2 ekor kucing. Blog pribadi www.nickenblackcat.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Untaian Kenangan Bersama Kereta Api yang Tak Lekang Oleh Waktu

3 Oktober 2022   13:01 Diperbarui: 3 Oktober 2022   20:20 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kereta api sedang beroperasi| Dokumentasi PT KAI via Kompas.com

Kereta api punya tempat tersendiri dalam hidupku. Untaian memori yang terekam, sama seperti panjangnya gerbong kereta api itu sendiri. Memori yang tidak akan pernah hilang, meskipun ditelan oleh sang waktu. 

Bahkan si ular besi ini masih menjadi transportasi favoritku saat mengunjungi suatu tempat. Pokoknya kalau sebuah tempat itu masih dijangkau kereta api, pasti pilihan pertamaku adalah naik kereta api. 

Sumber: detik travel
Sumber: detik travel

Awal Perkenalan dengan Kereta Api

Stasiun Wates, waktu kecil aku sering menunggu ibu disini. | Dokumentasi pribadi
Stasiun Wates, waktu kecil aku sering menunggu ibu disini. | Dokumentasi pribadi

Sebagai anak desa yang tinggal di lereng pegunungan Menoreh, mendengarkan lagu "naik kereta api" berhasil memupuk impianku untuk naik kereta api. Apalagi setiap menjelang lebaran, kereta api selalu mengantarkan ibu untuk pulang ke lereng Menoreh. Jadi aku dan nenek sering menunggu kedatangan ibu di stasiun Wates, sambil melihat kereta api yang hilir mudik meninggalkan stasiun.

Menginjak usia 5 tahun, impianku naik kereta api dikabulkan. Ibu membawaku ke kota kembang menggunakan kereta api kelas bisnis. Aku masih sedikit mengingat memori perjalananku ke kota kembang menggunakan kereta. Meskipun tidak seperti imajinasiku dalam lagu "naik kereta api" tapi aku merasa sangat excited.

Sengsaranya naik kereta api jaman dulu. | Sumber: Kaskus/cintadine
Sengsaranya naik kereta api jaman dulu. | Sumber: Kaskus/cintadine

Waktu itu suasana di dalam gerbong penuh sesak, banyak orang yang duduk di lantai beralaskan koran. Aku juga duduk beralaskan koran bersama ibu, berdesakan dengan penumpang lainnya. Tapi hal yang paling menjengkelkan adalah banyaknya orang yang berjualan hilir mudik melewati para penumpang yang duduk di lantai.

Setelah resmi menetap di kota kembang bersama ibu, kereta api menjadi pilihan utama untuk mudik menjelang lebaran walaupun tempat tinggal kami jauh dari stasiun. Suatu hari kami mudik menggunakan kereta api dari stasiun Bandung menuju Yogyakarta. Aku masih ingat betul, kami berangkat jauh lebih awal ke stasiun bandung supaya bisa dapat tiket kereta. 

Sesampainya di lobi stasiun Bandung pintu selatan (jalan Stasiun Timur no. 1), loket penjualan kereta api belum dibuka tetapi antreannya sudah mengular. Beruntung sekali bangunan Stasiun Bandung yang bergaya Art Deco ini atapnya tinggi jadi tidak membuat pengantre merasa sesak.

Stasiun terlihat sangat semrawut, banyak orang-orang yang tidak berkepentingan keluar masuk peron dengan mudah. Bahkan ada orang-orang yang bangga bisa naik kereta tanpa tiket. Ibu selalu berpesan untuk berhati-hati di stasiun supaya jangan sampai kecopetan. 

Lokomotif jadul berwarna merah biru putih, andalan kelas ekonomi pada masanya.| Sumber: General Electric
Lokomotif jadul berwarna merah biru putih, andalan kelas ekonomi pada masanya.| Sumber: General Electric

Kereta api kelas ekonomi yang ditarik lokomotif berwarna merah biru putih akhirnya diberangkatkan di malam hari dengan penumpang yang penuh sesak.

Padatnya lalu lintas kereta api di Stasiun Bandung membuat kereta api kelas ekonomi dipindahkan ke stasiun Kiaracondong. Sejak saat itu, kami meninggalkan kereta api sebagai sarana transportasi untuk mudik.

Kejadian Tak Terlupakan Saat Naik Kereta Api (Sebelum Era Pak Jonan)

Meskipun sudah penuh, penumpang masuk terus ke dalam gerbong. | Sumber: Kompas
Meskipun sudah penuh, penumpang masuk terus ke dalam gerbong. | Sumber: Kompas

"Wis persis kaya dendeng iwak, kon mlebu terus nang jero gerbong padahal wis kebak. Tambah mengko irunge ireng-ireng keno langes lokomotif," kata ibu saat menceritakan pengalamannya naik kereta api. 

(Artinya: Udah mirip seperti dendeng ikan, disuruh masuk terus ke dalam gerbong padahal sudah penuh. Tambah nanti hidungnya hitam-hitam kena asap jelaga lokomotif.) 

Keadaan gerbong yang penuh sesak membuat penumpang membuka kaca jendela bagian atas supaya tidak terlalu panas. Sayangnya saat kaca jendela terbuka, seringkali ada asap lokomotif yang ikut masuk sehingga membuat lubang hidung penuh jelaga. Saat membersihkan hidung, kami hanya bisa menertawakan diri sendiri melihat jelaga dari asap lokomotif yang terbawa pulang.

Kejadian paling parah yang aku saksikan adalah ada lemparan batu yang masuk melalui jendela dan mengenai kepala seorang penumpang. Kejadian ini tentu saja membuat gaduh dan penumpang yang terluka hanya dievakuasi oleh para penumpang lain yang peduli. Kondektur tidak bisa melakukan apa-apa karena gerbong penuh sesak, mau berjalan saja susah. 

Gerbong cargo untuk paket.| Sumber: KAI
Gerbong cargo untuk paket.| Sumber: KAI

Kejadian tak terlupakan selanjutnya tidak aku alami sendiri tetapi dari pengalaman ibu. Suatu kali ibu pernah mudik menggunakan kereta ekonomi dari Stasiun Kiaracondong ke stasiun Kutoarjo. Dikarenakan kehabisan tiket duduk, akhirnya ibu dapat tiket berdiri. Alangkah terkejutnya saat menggunakan tiket berdiri itu mengharuskan ibu pindah ke gerbong barang/cargo yang tidak ada jendelanya.

Namun karena sudah tidak punya uang lagi untuk membeli tiket yang lain, ibu duduk di lantai gerbong cargo beralaskan koran bekas dari Stasiun Kiaracondong sampai Stasiun Kutoarjo bersama adik-adikku yang masih kecil. 

Aku memang tidak mengalaminya sendiri, tetapi merasa sesak dengan keadaan yang dialami ibu. Ibuku jelas kecewa dengan pelayanan kereta api saat itu, tapi ibu bisa melakukan apa sih sebagai orang kecil yang uangnya sangat terbatas. Meskipun begitu ibu selalu berpesan, " jangan pernah naik kereta api kalau tidak punya karcis!".

Kembali Menggunakan Kereta Api 

Area stasiun dan peron sudah steril di masa kepemimpinan Pak Jonan.| Dokumentasi pribadi
Area stasiun dan peron sudah steril di masa kepemimpinan Pak Jonan.| Dokumentasi pribadi

Revolusi kereta api di bawah kepemimpinan Pak Jonan yang berhasil mengubah wajah KAI menjadi lebih baik sudah selayaknya dicatat menggunakan tinta emas dalam sejarah perkeretaapian di negara kita. 

Semenjak revolusi yang dilakukan Pak Jonan, terutama sterilisasi stasiun dan kebersihan toilet membuatku kembali memilih menggunakan kereta api untuk bepergian.

Apalagi saat semua gerbong kereta api disediakan AC dan tiket yang dijual sesuai kapasitas gerbong, bepergian menggunakan kereta semakin nyaman, tidak seperti pergi ke medan perang yang pulangnya menghasilkan jelaga di rongga hidung.

Selain itu, keberhasilan revolusi kereta api dibarengi dengan adanya promo tiket tentu saja berhasil memikat hati masyarakat untuk kembali menggunakan jasa transportasi kereta api. 

Sebagai pengabdi promo yang sering kepo sama kereta api, tentu saja aku tidak pernah melewatkan hal ini. Sekali waktu, aku pernah mendapatkan tiket promo kelas bisnis dan eksekutif seharga 50ribuan saja lho. Ya waktu itu seneng banget karena memang pas butuh banget tiket untuk ibu dan nenek yang sudah lansia, jadi minimal kursinya nyaman untuk perjalanan jauh.

Pelayanan kereta api pasca revolusi juga sangat berkesan untuk ibu dan almarhum nenek. Karena saat nenek akan turun kereta, petugas dengan sigap membantu nenek yang tidak bisa berjalan. 

"Alhamdulillah mbak, simbok ne medhun sepur diewangi petugas dadi ibu ora kangelan. Kan simbok wis ra iso mlaku", kenang ibu saat menceritakan kembali tentang memori di kereta api.

(Artinya: Alhamdulillah Mbak, nenek turun keretanya dibantu petugas jadi ibu nggak kesulitan. Kan nenek sudah nggak bisa jalan) 

Bepergian dengan orang tua yang sudah lansia menggunakan transportasi umum tidaklah mudah. Namun dengan jaminan kenyamanan, kebersihan dan keamanan, KAI berhasil membuatku menjadikannya sebagai pilihan utama. 

Tahun lalu, aku memilih kereta api untuk pindah ke Cikarang, dengan membawa kedua orangtua yang usianya sudah menjelang lansia dan putriku yang masih balita. Kami naik KA Jayakarta dari Stasiun Lempuyangan, bapak dan ibu juga sangat terkesan dengan toilet yang bersih dan tempat ibadah yang nyaman selama menunggu kereta di stasiun. Saat sudah masuk ke dalam gerbong kereta pun tidak terjadi keluhan apa-apa dari orangtua sampai kami tiba di stasiun tujuan.

Harapan- Harapan Besar untuk KAI

Aku sudah memperkenalkan kereta api kepada si kecil. | Dokumentasi pribadi
Aku sudah memperkenalkan kereta api kepada si kecil. | Dokumentasi pribadi

Beberapa bulan yang lalu, aku dan si kecil menggunakan KA Serayu dari Stasiun Cikarang ke Stasiun Kiaracondong. Kereta api kelas ekonomi seperti KA Serayu memiliki kursi tegak 90 derajat dengan formasi tempat duduk 3-2. 

Perjalanan dari Cikarang ke Kiaracondong sebenarnya tidak terlalu lama, namun si kecil mengeluhkan ketidaknyamanannya dengan kursi tegak dan tempat duduk yang keras. Sebenarnya aku pun merasa tidak nyaman, tetapi jadwal kereta yang pas untuk kami hanya KA Serayu. 

Dalam perjalanan menggunakan KA Serayu, disampingku duduk seorang kakek tanpa pendamping yang tujuannya akan ke Stasiun Kroya. Sama seperti si kecil, keluhan beliau juga adalah kursi tegak yang tidak nyaman dan keras serta "adu dengkul".

Bahkan di Twitter juga sempat ramai pembahasan soal kursi tegak dan adu dengkul di kereta api kelas ekonomi. Ya kenyataanya memang tidak nyaman kok, pasti bikin pegel.

KAI sebagai satu-satunya perusahaan kereta api di Indonesia yang sudah tidak diragukan lagi pengalamannya, aku masih menaruh harapan besar supaya KAI menghapuskan kursi tegak 90 derajat untuk KAJJ (Kereta Api Jarak Jauh) dan mengubah format kursi 3-2 menjadi 2-2 seperti kursi ekonomi premium supaya penumpang tidak "adu dengkul". 

Stasiun Bringin di jalur mati Kedungjati - Tuntang. | Dokumentasi pribadi
Stasiun Bringin di jalur mati Kedungjati - Tuntang. | Dokumentasi pribadi

Harapan besar selanjutnya adalah reaktivasi jalur-jalur mati seperti Kedungjati--Tuntang dan Ambarawa--Bedono di Daop IV karena jalur tersebut sangat menarik untuk dikunjungi. Apalagi jalur Ambarawa-Bedono yang merupakan jalur terjal bergerigi, pengalaman naik kereta di jalur ini pasti menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan.

Keindahan museum Ambarawa.| Dokumentasi pribadi
Keindahan museum Ambarawa.| Dokumentasi pribadi

Meskipun aku bukan anak kereta (hanya suka sejarah kereta api dan sempat berkeinginan jadi bagian dari KAI, namun pupus karena IPK ) aku tetap bangga memperkenalkan kereta api kepada orang-orang terdekat. 

Kenanganku dengan si ular besi akan tetap tersimpan rapi dalam memori, termasuk kenangan pahit seperti hidung berjelaga dan "adu dengkul" ataupun kenangan manis seperti mengunjungi Museum Ambarawa, Lawang Sewu dan stasiun di jalur mati lainnya yang pernah aku tuliskan.

Foto dengan lokomotif jadul di depan stasiun Tugu Yogyakarta pintu selatan.| Dokumentasi pribadi
Foto dengan lokomotif jadul di depan stasiun Tugu Yogyakarta pintu selatan.| Dokumentasi pribadi

Sekali lagi Dirgahayu KAI, transportasi favorit sepanjang masa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun