Dalam hermeneutika, angka bukan realitas mati, tetapi simbol moral. Laba dapat dibaca sebagai hasil keadilan distributif, neraca sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, pajak sebagai ekspresi solidaritas sosial.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas menjadi bernilai bukan karena diwajibkan undang-undang, tetapi karena merupakan bentuk kejujuran eksistensial. Setiap laporan keuangan, dalam pandangan ini, adalah pernyataan moral kepada masyarakat.
Dalam perspektif aksiologis, angka adalah teks moral. Neraca dapat dibaca sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban; laba sebagai hasil keadilan distributif; pajak sebagai bentuk solidaritas sosial. Dengan demikian, angka bukan sekadar alat ukur, melainkan simbol moral yang menuntut tanggung jawab.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas memperoleh makna baru: bukan hanya kewajiban hukum, melainkan wujud kejujuran eksistensial. Setiap angka yang dilaporkan adalah pernyataan moral pengakuan manusia di hadapan masyarakat.
Sintesis Filosofis: Akuntansi sebagai Bahasa Kehidupan
Dari uraian epistemologis, ontologis, dan aksiologis, dapat disimpulkan bahwa akuntansi hermeneutik Dilthey menempatkan angka sebagai bahasa kehidupan. Ia tidak lagi dilihat sebagai sistem teknis untuk mencatat transaksi, melainkan sistem simbolik yang menuturkan makna hidup manusia ekonomi.
Epistemologinya menolak reduksi empiris dan menekankan pemahaman makna.
Ontologinya memandang akuntansi sebagai bagian dari dunia hidup manusia.
Aksiologinya menegaskan bahwa setiap tindakan ekonomi berakar pada nilai dan empati.
Epistemologinya menolak reduksi empiris dan menekankan pemahaman makna (Verstehen). Ontologinya melihat akuntansi sebagai ekspresi dari dunia hidup (Lebenswelt). Aksiologinya menegaskan bahwa pemahaman sejati tidak mungkin tanpa nilai, empati, dan moralitas. Ketiganya berpadu dalam pandangan bahwa akuntansi adalah tindakan menulis kehidupan sebuah cara manusia untuk menandai eksistensinya melalui simbol ekonomi.
Dalam konteks modern, pendekatan ini menantang paradigma akuntansi yang terjebak dalam objektivitas angka. Ia mendorong lahirnya praktik dan riset akuntansi yang lebih reflektif: akuntansi sosial, akuntansi spiritual, dan akuntansi berbasis nilai. Di masa depan, profesi akuntan tidak cukup menjadi "penghitung laba," tetapi harus menjadi "penafsir makna kehidupan ekonomi."