Nilai Kehidupan (Lebenswert) dalam Akuntansi
Setiap sistem akuntansi mencerminkan nilai-nilai yang dominan. Akuntansi kapitalistik menekankan efisiensi dan pertumbuhan; akuntansi sosial menekankan tanggung jawab dan keadilan; akuntansi syariah menekankan keseimbangan spiritual. Angka, dengan demikian, bukan sekadar hasil kalkulasi, melainkan cermin nilai masyarakat yang memproduksinya.
Angka laba, misalnya, tidak hanya menyatakan keberhasilan ekonomi, tetapi juga menyiratkan pandangan hidup tentang apa yang dianggap "baik" dan "berhasil." Dengan membaca angka secara hermeneutik, kita dapat memahami nilai-nilai tersembunyi di balik sistem ekonomi modern.
Setiap praktik akuntansi merefleksikan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat. Akuntansi korporasi kapitalistik menonjolkan nilai efisiensi dan pertumbuhan; akuntansi sosial menekankan tanggung jawab dan keadilan; sementara akuntansi religius menampilkan nilai keseimbangan moral dan spiritual. Angka, dengan demikian, tidak pernah netral. Ia membawa horizon nilai yang menuntun cara manusia memahami dunia ekonominya.
Peneliti hermeneutik tidak hanya bertanya "berapa besar laba?" tetapi juga "apa makna laba bagi komunitas ini?". Nilai menjadi orientasi pemahaman: ia menentukan arah di mana kehidupan ekonomi ingin dimengerti.
Empati (Einfhlung) sebagai Etika Pemahaman
Bagi Dilthey, memahami berarti berempati. Empati adalah kemampuan untuk menghidupkan kembali pengalaman orang lain. Dalam konteks akuntansi, empati menjadi fondasi etika profesional. Akuntan yang berempati tidak hanya mencari kebenaran formal, tetapi juga mempertimbangkan manusia di balik angka: pekerja, pemegang saham, dan masyarakat.
Auditor yang berempati memahami tekanan moral kliennya, bukan untuk membenarkan kesalahan, tetapi untuk melihat sisi kemanusiaan dalam dilema etis. Peneliti yang berempati tidak menilai dari luar, tetapi berusaha masuk ke horizon batin subjeknya. Dengan empati, akuntansi menjadi ilmu yang manusiawi.
Dilthey memperkenalkan konsep Einfhlung, yakni empati sebagai inti dari pemahaman manusia. Dalam akuntansi, empati berarti kemampuan untuk merasakan kehidupan orang lain di balik angka-angka. Akuntan yang berempati tidak hanya memahami data, tetapi juga memahami nasib manusia di balik data itu: pekerja, pelanggan, dan masyarakat.
Empati menjadi etika profesi yang mendalam: auditor yang berempati tidak hanya mencari kesalahan teknis, tetapi memahami tekanan moral yang dialami pelaku ekonomi. Peneliti yang berempati tidak menilai dari luar, tetapi berusaha masuk ke horizon batin subjek. Dengan empati, akuntansi menjadi ilmu yang manusiawi, bukan mekanis.
Angka sebagai Simbol Moral