Bali dikenal dengan tradisi dan upacaranya yang begitu beragam. Hampir setiap hari, ada saja wangi dupa dan suara kidung terdengar dari pura atau rumah-rumah penduduk. Dari sekian banyak hari raya umat Hindu di Bali, Pagerwesi punya makna yang sangat istimewa.
Kata "Pagerwesi" sendiri berarti pagar besi. Tentu bukan pagar rumah, melainkan pagar untuk batin. Filosofinya sederhana tapi dalam: manusia butuh perlindungan agar pikiran dan hati tetap kuat menghadapi cobaan hidup. Seperti besi yang keras, demikian pula keyakinan harus dipelihara agar tidak rapuh.
Di Kabupaten Buleleng, perayaan Pagerwesi terasa begitu hangat. Pagi-pagi sekali, suasana desa sudah ramai. Para ibu menyiapkan banten dengan bunga cempaka dan kenanga yang harum. Kaum bapak memasang penjor tinggi menjulang di depan rumah. Anak-anak berlarian sambil membantu sekadarnya, meski sering kali lebih banyak bermain.
Setiap rumah dihiasi dengan wangi dupa, dan suara gamelan dari banjar terdengar sayup-sayup. Semua orang bersiap menuju pura, mengenakan pakaian adat terbaik mereka. Di Singaraja maupun desa-desa pegunungan, umat Hindu duduk bersila di halaman pura, memejamkan mata, lalu memanjatkan doa dengan khusyuk.
Pemandangan ini selalu meninggalkan kesan mendalam. Pagerwesi bukan hanya ritual keagamaan, tapi juga momen kebersamaan. Semua orang, dari anak-anak sampai orang tua, larut dalam suasana yang sama.
Banyak orang mungkin melihat Pagerwesi hanya sebagai rangkaian sembahyang, banten, dan dupa. Tapi bagi masyarakat Buleleng, maknanya jauh lebih dalam. Pagerwesi adalah pengingat bahwa hidup ini penuh dengan ujian. Kadang datang dari luar, kadang justru dari dalam diri sendiri.
Sifat malas, iri, amarah, dan kesombongan adalah "musuh" yang harus diwaspadai. Melalui Pagerwesi, umat diingatkan untuk selalu memperkuat pagar batin, agar tidak mudah roboh oleh hal-hal yang melemahkan diri.
Seorang tetua di Buleleng pernah berkata, "Keberanian sejati bukan melawan orang lain, tapi melawan kelemahan dalam hati sendiri." Kalimat sederhana ini menggambarkan filosofi Pagerwesi dengan sangat indah.
Selain sarat makna spiritual, Pagerwesi juga penuh nilai budaya. Persiapan banten, penjor, hingga rangkaian pentas seni yang digelar di banjar menjadikan Pagerwesi lebih dari sekadar hari raya. Ia adalah warisan budaya yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Anak-anak diajak ikut menyiapkan upacara, meski awalnya mereka hanya bermain-main. Dari sana, mereka belajar bahwa setiap janur, bunga, dan sesajen punya arti. Inilah cara orang tua menanamkan nilai tanpa harus memberi banyak ceramah: lewat kebiasaan sehari-hari.
Di beberapa desa di Buleleng, Pagerwesi juga diramaikan dengan pertunjukan seni. Tabuh gong, tarian rejang, bahkan hiburan rakyat ditampilkan setelah persembahyangan. Bagi masyarakat, seni adalah bentuk syukur sekaligus cara menjaga tradisi tetap hidup.
Pagerwesi juga selalu menjadi momen kebersamaan. Keluarga besar berkumpul, mereka yang merantau pulang untuk sembahyang bersama. Ikatan kekeluargaan semakin erat, begitu pula hubungan antarwarga.
Di banjar, gotong royong terasa nyata. Warga saling membantu menata pura, saling berbagi makanan, dan saling menyapa dengan senyum hangat. Pagerwesi menjadi pengingat bahwa kebersamaan adalah kekuatan.
Hal ini sejalan dengan filosofi Bali yang dikenal sebagai Tri Hita Karana---tiga penyebab kebahagiaan: menjaga hubungan baik dengan Tuhan (parhyangan), dengan sesama (pawongan), dan dengan alam (palemahan). Dalam Pagerwesi, ketiga hal ini hadir sekaligus.
Di era modern, ketika arus globalisasi begitu deras, generasi muda menghadapi tantangan besar. Godaan teknologi, gaya hidup instan, hingga lunturnya nilai budaya bisa menjadi ancaman. Di sinilah Pagerwesi mengambil peran penting: mengingatkan anak-anak muda untuk tetap kokoh memegang jati diri.
Di Buleleng, banyak orang tua menjadikan Pagerwesi sebagai waktu untuk memberi nasihat kepada anak-anak. Bukan dengan kata-kata yang kaku, tapi lewat contoh: ikut sembahyang bersama, berbagi tawa di rumah, hingga terlibat dalam kegiatan budaya. Dari hal sederhana itu, anak belajar makna yang sesungguhnya.
Pagerwesi mengajarkan bahwa hidup bukan hanya mengejar materi, tapi juga menjaga keseimbangan antara lahir dan batin. Ketika batin kuat, manusia mampu menghadapi apa pun yang datang.
Pagerwesi di Buleleng adalah cermin indah tentang bagaimana doa, budaya, dan makna hidup saling berkaitan. Ia bukan sekadar hari raya keagamaan, melainkan sebuah filosofi hidup.
Doa-doa yang dipanjatkan bukan hanya untuk didengar Tuhan, tetapi juga untuk menguatkan hati. Budaya yang menyertai---dari penjor hingga seni---menjadi cara menjaga identitas agar tidak hilang ditelan zaman. Dan kebersamaan yang lahir dari perayaan ini memperlihatkan betapa kuatnya ikatan sosial di masyarakat.
Pada akhirnya, Pagerwesi adalah pengingat sederhana namun mendalam: hidup harus dijaga dengan pagar besi iman, kebersamaan, dan kebajikan. Dengan itulah, masyarakat Buleleng tetap kokoh berdiri, menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI