Mohon tunggu...
Ngakan Putu Darma
Ngakan Putu Darma Mohon Tunggu... Asisten Tenaga Kesehatan

Saya mempunyai hobi jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pagerwesi di Buleleng: Antara Doa, Budaya, dan Makna Hidup

15 September 2025   00:04 Diperbarui: 15 September 2025   00:04 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pagerwesi juga selalu menjadi momen kebersamaan. Keluarga besar berkumpul, mereka yang merantau pulang untuk sembahyang bersama. Ikatan kekeluargaan semakin erat, begitu pula hubungan antarwarga.

Di banjar, gotong royong terasa nyata. Warga saling membantu menata pura, saling berbagi makanan, dan saling menyapa dengan senyum hangat. Pagerwesi menjadi pengingat bahwa kebersamaan adalah kekuatan.

Hal ini sejalan dengan filosofi Bali yang dikenal sebagai Tri Hita Karana---tiga penyebab kebahagiaan: menjaga hubungan baik dengan Tuhan (parhyangan), dengan sesama (pawongan), dan dengan alam (palemahan). Dalam Pagerwesi, ketiga hal ini hadir sekaligus.

Di era modern, ketika arus globalisasi begitu deras, generasi muda menghadapi tantangan besar. Godaan teknologi, gaya hidup instan, hingga lunturnya nilai budaya bisa menjadi ancaman. Di sinilah Pagerwesi mengambil peran penting: mengingatkan anak-anak muda untuk tetap kokoh memegang jati diri.

Di Buleleng, banyak orang tua menjadikan Pagerwesi sebagai waktu untuk memberi nasihat kepada anak-anak. Bukan dengan kata-kata yang kaku, tapi lewat contoh: ikut sembahyang bersama, berbagi tawa di rumah, hingga terlibat dalam kegiatan budaya. Dari hal sederhana itu, anak belajar makna yang sesungguhnya.

Pagerwesi mengajarkan bahwa hidup bukan hanya mengejar materi, tapi juga menjaga keseimbangan antara lahir dan batin. Ketika batin kuat, manusia mampu menghadapi apa pun yang datang.

Pagerwesi di Buleleng adalah cermin indah tentang bagaimana doa, budaya, dan makna hidup saling berkaitan. Ia bukan sekadar hari raya keagamaan, melainkan sebuah filosofi hidup.

Doa-doa yang dipanjatkan bukan hanya untuk didengar Tuhan, tetapi juga untuk menguatkan hati. Budaya yang menyertai---dari penjor hingga seni---menjadi cara menjaga identitas agar tidak hilang ditelan zaman. Dan kebersamaan yang lahir dari perayaan ini memperlihatkan betapa kuatnya ikatan sosial di masyarakat.

Pada akhirnya, Pagerwesi adalah pengingat sederhana namun mendalam: hidup harus dijaga dengan pagar besi iman, kebersamaan, dan kebajikan. Dengan itulah, masyarakat Buleleng tetap kokoh berdiri, menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun