Mohon tunggu...
Bbgnn  bnnhghc
Bbgnn bnnhghc Mohon Tunggu... Bngn bbgn jjh

Hgbgnn hhncbvf bgggdb bngnnbv nnvbgj

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mitos dan Mistis Ketupat Syawalan ala Gen Z Jawa

10 April 2025   11:00 Diperbarui: 10 April 2025   13:54 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Urip iku mung mampir ngombe, nanging saben teguk kudu ana manfaaté kanggo liyan." - Sunan Kalijaga, Raden Mas Said, putera Tumenggung Wilatikta. 

Artinya : "Hidup itu singkat, kayak mampir minum doang. Tapi setiap tegukannya kudu ada manfaat buat orang lain."

Setelah vibes Idul Fitri yang penuh ucapan maaf dan silaturahmi, masyarakat Jawa punya satu tradisi lain yang nggak kalah seru: Lebaran Ketupat alias Syawalan. Bedanya, ini dirayain seminggu setelah Lebaran, tepatnya 8 Syawal. Tapi jangan salah, ini bukan cuma soal makan ketupat rame-rame, ada sejarah, spiritualitas, sampai mitos yang nempel kuat di baliknya.

Relevansi Ketupat Syawalan Buat Anak Zaman Sekarang

Kita tahu, Gen Z itu generasi multitasking: satu tangan scroll TikTok, satu lagi megang kopi literan. Tapi... apa iya ketupat dan Syawalan masih relate?

Jawabannya: Yes, totally!

"Budaya itu bukan masa lalu yang usang, tapi kompas hidup yang bikin kita nggak kehilangan arah di tengah dunia yang serba cepat."

Kalau dipahami lebih dalam, ngaku lepat itu bisa dimaknai kayak konten #healing atau #selfreflection. Syawalan jadi momen spiritual ala-ala mindful living. Bahkan ketupat pun bisa jadi icon konten yang aesthetic dan edukatif, tinggal tambah filter warm tone aja.

Ketupat, Self-Discovery, dan Inner Peace

Mitos soal ketupat itu, kalau kita tarik ke dunia Gen Z, sebenarnya nyambung banget ke isu self-awareness dan mental health.

  • Anyaman ketupat: simbol pikiran yang ruwet tapi bisa dirapikan.
  • Membelah ketupat: kayak ngebongkar diri sendiri, ngadepin trauma, terus berdamai.
  • Janur kuning: dulunya dianggap penolak bala, sekarang bisa jadi lambang “spiritual clarity”. Think of it like white sage-nya budaya Jawa.

Intinya, tradisi ini bisa bantu kita buat reconnect sama spiritualitas dan akar budaya, tapi dengan cara yang lebih chill dan relevan.

Dua Kali Lebaran? Why Not!

Setelah puasanya selesai, ada lanjutannya: puasa 6 hari di bulan Syawal. Ini semacam bonus level setelah Ramadan. Nah, selesai itu, baru deh kita rayain Syawalan. Jadi, buat orang Jawa, Lebarannya dobel!

Sunan Kalijaga: Content Creator Zaman Dulu?

Jauh sebelum ada YouTuber dan TikTokers, Sunan Kalijaga udah jago banget bikin konten budaya yang meaningful. Beliau nggak ngilangin tradisi lokal, tapi dikasih remix Islami.

  • Ngaku lepat = refleksi diri.
  • Laku papat = proses penyucian diri ala 4 langkah: Lebaran, Luberan, Leburan, Laburan.
  • Kiblat papat lima pancer = hidup harus balance, dan pusatnya ya tetep Tuhan.

Simpelnya, beliau ngajarin Islam lewat simbol dan budaya, bukan lewat debat.

Mitos yang Nggak Cuma Mitos

  1. Janur Penolak Bala
    Dulu buat tolak energi negatif, sekarang bisa jadi simbol menjaga vibe rumah tetap zen.

  2. Ketupat = Good Vibes & Rezeki
    Mitosnya, bagi-bagi ketupat bisa narik rezeki. Secara sains? Bisa jadi karena efek hormon bahagia waktu berbagi: endorfin dan oksitosin boost!

  3. Angka 8 Syawal = Time to Reset
    Dianggap sakral, tapi kalau di-Gen Z-kan: ini waktu yang pas buat spiritual restart. Setelah refleksi sebulan, waktunya set goal baru dan jaga energi tetap positif.

Syawalan: Dari Makna ke Movement

Tradisi ini bukan cuma spiritual, tapi juga sosial dan ekonomi. Cek aja:

  • Warung ketupat auto rame.
  • UMKM kuliner panen orderan.
  • Di daerah kayak Kudus, Yogyakarta, atau Lombok, perayaan ini bisa jadi event wisata budaya yang keren banget.

Ketupat Bukan Sekadar Lauk, Tapi Reminder Hidup

Ketupat Syawalan ngajarin kita banyak hal—tentang memaafkan, berbagi, refleksi, sampai spiritual growth. Nggak harus selalu lewat ceramah, tapi bisa lewat rasa, rupa, dan kebersamaan.

Hidup ini singkat. Tapi bisa banget kita isi dengan hal-hal yang bermakna. Salah satunya: jaga tradisi, hidupkan nilai, dan terus belajar dari budaya sendiri.

Di tengah arus modernitas yang cepat, Syawalan hadir sebagai ruang jeda—mengajak kita kembali pada akar, makna, dan kesadaran diri. Bagi Gen Z, ini bukan sekadar tradisi, tapi peluang untuk merayakan spiritualitas dengan cara yang lebih personal dan relevan. Karena budaya tak pernah ketinggalan zaman, selama kita mau membacanya dengan hati dan merawatnya dengan jiwa.

So, next time kamu lihat ketupat... jangan cuma liat makanannya. Tapi lihat juga pesan spiritual yang tersirat didalamnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun