Dalam kondisi ini, ASN menjadi rentan. Bukan integritas yang dihargai, melainkan koneksi. Bukan kinerja yang dinilai, melainkan kepatuhan politik. ASN yang ingin bertahan di jabatan strategis atau mengakses peluang promosi harus "bermain cantik", menurut istilah orang NTT dalam mengikuti irama politik lokal. Ketika kepentingan politik menjadi norma, maka korupsi hanya soal waktu.
Dari kasus-kasus yang terungkap, kita dapat mengetahui beberapa pola umum korupsi ASN di NTT:
Pertama, Mark-up Proyek
Dalam pelaksanaan proyek pembangunan, seperti infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, maupun program pendidikan, sering terjadi praktik pembengkakan anggaran secara tidak wajar. Kelebihan dana dari nilai proyek tersebut kemudian diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau dibagikan di antara jaringan pelaku korupsi.
Misalnya, sebuah proyek pembangunan jalan desa yang seharusnya menelan biaya Rp500 juta, dilaporkan bernilai Rp800 juta. Selisih Rp300 juta tersebut tidak benar-benar digunakan untuk pembangunan, melainkan dikorupsi oleh pejabat terkait dan rekanannya.
Kedua, Suap Promosi Jabatan
Untuk mendapatkan posisi strategis, sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) terpaksa memberikan sejumlah uang kepada pejabat berwenang. Proses pengisian jabatan ini tidak lagi mengandalkan kompetensi atau kinerja, melainkan melalui transaksi finansial. Akibatnya, jabatan-jabatan penting dikuasai oleh individu yang tidak memenuhi kualifikasi yang diperlukan, sehingga memperburuk kinerja dan efisiensi birokrasi.
Misalnya Seorang ASN yang berpengalaman dan berprestasi, gagal menduduki jabatan kepala dinas karena tidak mampu membayar "setoran". Sebaliknya, posisi tersebut justru diberikan kepada ASN lain yang kurang berpengalaman, tetapi mampu memberikan uang kepada pejabat pengambil keputusan.
Ketiga, Dana Fiktif dan Manipulasi Administrasi
Sejumlah kegiatan fiktif kerap direkayasa semata-mata untuk menghabiskan alokasi anggaran yang tersedia. Meski laporan administrasi disusun dengan rapi dan seolah-olah kegiatan telah dilaksanakan, pada kenyataannya tidak ada realisasi di lapangan. Akibatnya, masyarakat tidak memperoleh manfaat apa pun dari program-program tersebut.
Misalnya sebuah program pelatihan keterampilan untuk masyarakat dilaporkan sudah dilaksanakan lengkap dengan dokumentasi fiktif, padahal tidak ada satu pun sesi pelatihan yang benar-benar diadakan. Dana yang seharusnya digunakan untuk kegiatan itu justru dikorupsi.