Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Reformasi Baru", Pelengseran, dan Penerbitan Perppu

3 Oktober 2019   00:57 Diperbarui: 3 Oktober 2019   01:52 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/reformasi zaman

21 tahun orde lama, 32 tahun orde baru dan 21 tahun reformasi. Saatnya reformasi baru?

Sudah 74 tahun Indonesia merdeka. Tak terhingga banyaknya rintangan dan cobaan untuk mencapai sebuah bangsa yang merdeka dari penjajahan selama ratusan tahun. Penyiksaan, pertumpahan darah dan korban jiwa mewarnai perjuangan para leluhur kita. Warna yang didominasi oleh warna merah darah  berbuah sebuah kemerdekaan yang manis pada tahun 1945.

Terdiri dari 68 Founding Fathers yang berasal dari berbagai macam latar belakang pendidikan, agama, daerah, dan suku/etnis yang ada di Indonesia merumuskan sebuah negara Indonesia yang sampai dengan hari ini dikelola oleh kita dalam sebuah lingkaran kemerdekaan.

Soekarno yang merupakan salah satu dari 68 Founding Fathers tersebut dipilih sebagai presiden pertama Indonesia. Ia bersama Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Meski secara cepat dan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, Soekarno yang dikenal sebagai ideolog dan orator ulung pada zaman itu mampu membakar dan menggelorakan semangat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan.

Orde Lama
(21 Tahun Indonesia ditangan Soekarno)

Sebagai presiden pertama Indonesia, Soekarno langsung diperhadapkan dengan sebuah gejolak politik yang cukup dahsyat. Selama tahun 1945 hingga tahun 1949, Belanda yang tidak menerima keputusan kemerdekaan Indonesia memanfaatkan perang revolusi yang diinisiasi oleh sekutu untuk menyerang Indonesia.

10 November 1945 merupakan saksi sejarah pertempuran sengit di Surabaya. Dengan misi mengembalikan Indonesia ke tangan Belanda membuat tentara sekutu menargetkan Surabaya untuk menyerah dalam waktu tiga hari. Bom berjatuhan di segala sudut kota Surabaya tetapi arek-arek Surabaya tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Bendera Merah Putih Biru disobek dan Bendera Merah Putih dikibarkan, sebanyak 16.000 arek-arek Surabaya tewas dalam pertempuran sengit itu. Namun, kemerdekaan masih memihak pada Indonesia. Sekutu dipukul mundur dan kemerdekaan itu tetap digenggam.

Bukan hanya itu, Peristiwa Bandung Lautan Api, Serangan Umum 1 Maret 1949, Pertempuran Medan Area dan Serangan Umum Surakarta juga merupakan peristiwa yang memakan ribuan korban jiwa demi kemerdekaan Indonesia.

Meski peristiwa-peristiwa yang terjadi adalah sebuah kisah yang kelam dan mengundang pilu tapi berbuah manis. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1949.

Sejak pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia, muncullah istilah orde lama yang merupakan masa kepemimpinan Soekarno dalam pemerintahan menggunakan UUDS 1950 sebagai konstitusi negara Indonesia.

Perlu diketahui, selama sembilan tahun sistem pemerintahan Indonesia yang sedang menjalani masa transisi berjalan tidak stabil. Pada waktu itu, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan dari sistem presidensial ke demokrasi liberal lalu ke sistem pemerintahan demokrasi terpimpin.

Selama sistem demokrasi liberal berjalan, muncul dan bertambahnya gerakan-gerakan yang bersifat separatis yang menyebabkan ketidakstabilan negara, sering terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan program-program rancangan kabinet tidak berjalan dengan normal sehingga pembangunan ekonomi benar-benar mandek.

Untuk menyelamatkan kondisi Indonesia, Soekarno mengusulkan Konsep sistem Demokrasi Terpimpin kepada seluruh anggota konstituante dimana Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Setelah melalui hasil voting, 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945 dan 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945

Meski demikian, pro kontra terus terjadi sehingga memaksa Soekarno menerbitkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang memutuskan memberlakukan UUDS 1945 dan memberlakukan UUDS 1950.

Dengan adanya pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin, Indonesia diharapkan keluar dari masalah ekonomi, politik, hukum dan keamanan.

Sistem demokrasi terpimpin yang telah diterapkan pun disambut hangat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) PKI yang dianggap PKI mempunyai mandat untuk mengakomodasi persekutuan konsep nasionalisme, agama dan komunis dilibatkan dalam perebutan Irian Barat  yang dikenal dengan sebutan Papua dan Papua Barat saat ini.

Akan tetapi, kolaborasi PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia gagal menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas. Malah yang terjadi adalah pendapatan ekspor dan cadangan devisa menurun, inflasi terus naik dan korupsi dalam lingkungan birokrat dan militer menjadi problem yang sulit diatasi. Gerakan PKI pun mengancam keberadaan negara Indonesia.

Akibatnya situasi politik dan sistem pemerintahan Indonesia kembali labil dan memicu banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia dari kalangan buruh, petani, dan mahasiswa.

Orde lama pun runtuh setelah dikeluarkannya sebuah surat yang dikenal dengan istilah Supersemar oleh Soekarno yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Orde Baru
(32 Tahun Indonesia ditangan Soeharto)

Soeharto menerima tongkat estafet kepemimpinan dari Soekarno dan memimpin Indonesia dengan sebuah era yang baru atau dikenal dengan sebutan orde baru.

Kehadiran orde baru diharapkan mengatasi segala bentuk masalah yang terkait dengan ekonomi, politik, hukum dan keamanan menuju negara Indonesia yang makmur, adil dan sejahtera.

Oleh karena itu, Soeharto membuat beberapa kebijakan untuk menata kehidupan ekonomi seperti Pelita, Swasembada Beras, Trilogi Pembangunan dan Pemerataan kesejahteraan penduduk dan kerjasama dengan negara-negara yang lain.

Khusus untuk penanganan masalah politik dan keamanan, Soeharto membubarkan PKI, adanya penyederhanaan Partai Politik, dilakukan pemilihan umum, Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Termasuk penataan politik luar negeri yaitu kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB yang keluar pada tahun 1964, normalisasi hubungan dengan negara lain seperti Singapura dan Malaysia, membekukan belakang layarnya PKI yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Kebijakan-kebijakan Soeharto mampu mengembangkan PDB Indonesia, program transmigrasi, Keluarga Berencana (KB), memerangi angka buta huruf, mengurangi angka pengangguran, rencana wajib belajar, keamanan negara dan beberapa yang tidak dapat disebutkan satu persatu dapat dilakukan dengan sukses.

Meski demikian, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang terstruktur dan sistematis secara besar-besaran dibawah kendali Soeharto, adanya kesenjangan pembangunan antara daerah seperti Papua dan Aceh dibandingkan dengan Jawa, Pelanggaran HAM secara besar-besaran kepada aktivis dan masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa), adanya program Petrus, kebebasan demokrasi yang tidak dipraktekkan dan masih banyak masalah-masalah lainnya seperti krisis ekonomi.

Karena itu, kehadiran Soeharto dalam masa orde baru dinilai tidak menjawab persoalan-persoalan orde lama sehingga para demonstran dipimpin oleh para mahasiswa berhasil melengserkan Soeharto.

Reformasi

(21 tahun Indonesia ditangan Habibie, Gusdur, Megawati, SBY dan Jokowi)

Pasca mundurnya Soeharto, Habibie yang menggantikan posisinya sebagai presiden membuat beberapa keputusan penting untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Baca: Super Hero Habibie yang Kita Kenal

Meski demikian, referendum Timor Timur dinilai sebagai sebuah kesalahan fatal oleh pihak oposisi sehingga usaha untuk menjatuhkan Habibie terus dilakukan. Akibatnya, pada sidang umum 1999 Habibie memutuskan untuk tidak mengikuti pencalonan presiden karena laporan pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR.

Gusdur yang terpilih sebagai Presiden dalam sidang umum 1999 membuat beberapa kebijakan penting yang belum dilakukan oleh Habibie pada masanya untuk menyelesaikan problematika orde baru seperti pembubaran Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media dan pembubaran Departemen Sosial yang korup.

Selain itu, ia kembali memulihkan hubungan dengan RRt dan menyelesaikan masalah Gerakan Aceh Merdeka dan Operasi Papua Merdeka. Aceh dan Irian Jaya diberikan otonomi khusus termasuk Pergantian nama dari Irian menjadi Papua serta tetap pengibaran Bendera Bintang Kejora.

Gus Dur benar-benar bertekad menyelesaikan problem-problem warisan orde baru seperti pelanggaran HAM dan korupsi. Wiranto diminta mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor-Timur. 

Gus Dur memecat Jusuf Kalla yang menjabat sebagai Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan pada saat itu. Kemudian Laksamana Sukardi pun mengikuti jejak Jusuf Kalla, dipecat dari jabatannya sebagai Menteri Negara BUMN.

Menurut Gus Dur, Jusuf Kalla dan Sukardi terjerat dalam kasus korupsi, meskipun tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung keputusannya tersebut.

Akibat dari semuanya ini, hubungan Gus Dur dengan beberapa politisi tidak membaik. Golkar dan PDI-P mulai menjauh dan berubah haluan untuk menjatuhkan Gus Dur.

Ditengah lawan politik yang semakin banyak, Gus Dur tetap bekerja untuk mereformasi sistem pemerintahan dan politik di Indonesia. Salah satu agenda pentingnya adalah reformasi militer dengan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik.

Reformasi itu ditandai dengan pengangkatan Agus Wirahadikusumah sebagai Panglima Kostrad. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Yayasan Dharma Putra yang memiliki hubungan dengan Kostrad.

Rupanya, usaha Gus Dur melalui kehadiran Agus di Kostrad ditentang habis-habisan oleh TNI. Saat itu, Gus Dur mulai merasakan tekanan-tekanan untuk mencopot Agus dari jabatannya. Akan tetapi, Gus Dur tetap bersikeras untuk mengangkat Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sehingga tekanan pun semakin menjadi-jadi sehingga rencana tersebut gagal dilakukan.

Salah satu dari tekanan-tekanan TNI adalah mempersenjatai laskar jihad untuk membantu orang muslim dalam konflik agama di Maluku. Darurat militer pun terjadi di Maluku. Pengibaran Bendera Bintang Kejora di Papua yang menuai pro-kontra dan serangan bom terhadap beberapa gereja di sejumlah kota di Indonesia.

Akibatnya, banyak elit politik yang mulai berusaha untuk melengserkan Gus Dur. Salah satunya adalah Amin Rais. Meskipun demikian, Megawati masih membela Gus Dur dan Akbar Tandjung masih memilih menunggu pemilihan umum 2004.

Amin Rais yang sedang menyusun petisi untuk pemakzulan Gus Dur berjalan seiring dengan usaha Gus Dur untuk menghapus DPR. Oposisi terus berusaha melengserkan Gus Dur, disisi lain Demonstran NU tetap mempertahankan Gus Dur.

Gus Dur pun melawan dengan mencopot pihak-pihak oposisi di Kabinet seperti Yusril Ihza Mahendra dan Nurmahmudi Ismail yang mendukung permintaan pengunduran diri Gus Dur.

Kabinet Gus Dur mulai goyah berbanding terbalik dengan semakin kuatnya MPR mendukung pengunduran diri Gus Dur sebagai presiden. Akhirnya, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri meski Gus Dur sempat bersikeras untuk tidak meninggalkan kursi kepresidenan.

Megawati menggantikan Gus Dur merupakan sebuah harapan baru untuk melakukan stabilisasi dan normalisasi kondisi politik, hukum dan keamanan yang merupakan problem peninggalan pemerintahan sebelumnya. Berhasil. Hubungan pemerintah dengan legislatif kembali pulih dan hubungan TNI dengan pemerintah pun kembali normal.

Beberapa prestasi menandai masa jabatan Megawati berhasil menjawab problematika Indonesia yang sebenarnya. Melakukan pemerataan pembangunan dengan membentuk provinsi baru berdasarkan kebutuhan yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Indonesia berhasil keluar dari IMF sebagai bukti bahwa Indonesia sudah keluar dari krisis ekonomi.

Melakukan pemberantasan KKN diantaranya dengan keberanian memenjarakan pasukan korupsi Orde Baru (Tommy Soehato, Bob Hasan dan Probosutedjo) dan mendirikan KPK sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi.

Bukan hanya itu, masih banyak prestasi Megawati yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian, politik hukum dan keamanan di Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Tahun 2004, SBY melanjutkan agenda reformasi yang belum 100% diselesaikan seperti korupsi, pelanggaran HAM dan pemerataan pembangunan. Perbaikan pendidikan melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin.

Pemberantasan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sebagai prioritas penting dalam masa kepemimpinannya. Namun, Hambalang dan Century tidak dapat diselesaikan.

Pelanggaran HAM pada tahun 1998 tidak dapat diselesaikan. Pembangunan Indonesia Centris tidak terlihat. Munculnya kasus terorisme global pun tidak dapat diselesaikan, penanggulangan bahaya narkoba, perjudian, dan perdagangan manusia juga masih menjadi problem yang berkepanjangan.

Di tangan Jokowi, ada tekad revolusi mental. Pemberantasan korupsi, pemerataan pembangunan: infrastruktur pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya termasuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

Satu periode telah selesai, Jokowi telah membangun sebuah stigma Indonesia Centris dengan menghapus pembangunan Jawa Centris. Pembangunan infrastruktur lebih bertolak ke dalam. Papua merasakan BBM yang murah, pembangunan Ring Papua, Trans Papua, beberapa bendungan di NTT, beberapa Tol di Jawa dan Kalimantan merupakan secuil prestasi ratusan prestasi gemilang Jokowi.

Indonesia Butuh Reformasi Baru

Jokowi yang telah menghabiskan periode pertamanya menyisakan beberapa pekerjaan rumah seperti kasus pelanggaran HAM dan pemberantasan korupsi. Bukan rahasia lagi, jika kedua hal ini merupakan kegagalan-kegagalan Jokowi di periode yang pertama.

Namun, masih ada periode kedua yang merupakan harapan kita bersama kepada Jokowi untuk menggenapi janji-janjinya.

Reformasi yang sudah berjalan selama 21 tahun masih belum menemui titik kesempurnaan. Kelihatannya masih ada serba-serbi orde baru yang terselip dalam beberapa masalah, pengambilan keputusan dan pembuatan UU yang akhirnya menuai pro-kontra.

Masalah Novel Baswedan yang merupakan sebuah kasus serius masih menjadi misteri hingga saat ini, keputusan-keputusan mendukung pembuatan UU yang dinilai tidak sesuai prosedur seperti UU KPK yang bukan Prolegnas dan beberapa kasus kritik yang dianggap makar dalam RUU KUHP disebut sebagai bayang-bayang orde baru yang terlihat.

Akibatnya, demonstrasi besar-besaran pun terjadi, menuntut pemerintah untuk mengeluarkan Perppu demi pembatalan pengesahan UU KPK dan membatalkan RUU KUHP yang dianggap tidak memihak kepada kaum minoritas.

Pro-kontra terus terjadi berjalan seiring dengan kasus Papua yang cukup kompleks. Demonstran pun menuntut pemerintah untuk menuntaskan kasus Papua.

Demonstrasi oleh mahasiswa ditunggangi oleh sekelompok orang untuk menjatuhkan Jokowi sehingga mahasiswa dinilai melakukan upaya penjatuhan Jokowi seperti runtuhnya orde lama dan orde baru.

Akan tetapi, sebetulnya penilaian ini merupakan sebuah tafsiran yang kurang tepat. Pasalnya, tujuan utama demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa bukan upaya melengserkan Jokowi.

Saya melihat sebuah pola yang terjadi dalam sejarah perbaikan sistem politik dan pemerintahan Indonesia. Dua puluh satu tahun orde lama berkuasa dan berakhir dengan demonstrasi besar-besaran karena masalah ekonomi, politik, hukum dan keamanan. Tiga puluh dua tahun, orde baru berkuasa pun tidak menyelesaikan problematika orde lama sehingga diakhiri dengan demonstrasi besar-besaran. Saat ini, Indonesia berada dalam usia Dua puluh satu tahun Reformasi, problematika orde baru pun masih ada sehingga Reformasi harus diakhiri entah itu demonstrasi atau apapun itu, untuk memasuki sebuah era yang baru.

Jika orde lama berganti orde baru, reformasi harusnya berganti menjadi reformasi baru. Lalu, apakah Presiden Jokowi harus dilengserkan? Tidak.

Hal yang paling penting adalah memulai sebuah era yang baru, reformasi baru dalam sistem pemerintahan Jokowi  dengan mencoret para kroni orde baru dalam kabinet pemerintahan sehingga dalam agenda pembangunan termasuk pemberantasan korupsi dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak ada bayang-bayang orde baru yang menghalanginya.

Kesempatan Jokowi saat ini adalah membentuk sebuah kabinet yang memiliki kapasitas yang baik untuk melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa memasukkan unsur-unsur kepentingan politik.

Harusnya kabinet yang terbentuk adalah kabinet Zaken yang bebas dari partai politik tetapi jika tidak maka setidaknya politisi yang mengisi kabinet haruslah orang yang profesional.

Mungkinkah demonstrasi besar-besaran yang baru saja terjadi adalah tanda akhir reformasi dan awal reformasi baru di Indonesia? Jawabannya ada di tangan Jokowi terutama penerbitan Perppu untuk membatalkan UU KPK, keputusan penundaan atau pembatalan pengesahan RUU KUHP, penyelesaian kasus pelanggaran HAM, kasus Novel Baswedan, masalah Papua dan yang terpenting adalah pembentukan Kabinet.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat; Lima; Enam; Tujuh; Delapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun