"Ya, boleh, makan sajalah. Satu dua bungkus, gapapa!" paksu mengambil satu bungkus, dan diserahkannya padaku.
Hari itu, kami makan dengan lauk rengginang. Besoknya, dan besoknya lagi, dengan gorengan yang ada. Satu persatu, dagangan masuk ke perut.
"Gimana, nih, Pak, gorengannya takut basi," ujarku pada hari keduabelas. Makanan dari kampung memang asli, tanpa pengawet. Dan tentunya cepet basi dan melempem.
Paksu merenung. Sekilas, tampak cahaya keikhlasan di sana.
"Kita bagikan saja Umi!" ujarnya yakin.
Aku pun setuju dengan idenya. Paksu segera mencopot tulisan yang ia tempel pada kaca jendela
Hari itu, anak-anak ditugasi mengantarkan oleh-oleh dari kampung ke tetangga, dan sahabat-sahabat paksu.
Ternyata, berjualan itu susah kalau bukan ahlinya. Yang mudah adalah berbagi, dan mencari berkah. Dalam sekejap, bungkusan cemilan yang memenuhi meja tamu kami, habis.
Esoknya, paksu memperlihatkan chat dari tetangga dan sahabat-sahabatnya, yang telah menerima bingkisan.
"Mantap, Taz," bunyi chatnya.
"Kriuk-kriuknya langsung diserbu!"
Disertai emoji jempol.