Malam itu setelah anak-anak tidur, paksu memberitahuku isi chat sahabat-sahabatnya.
"Wah, ternyata Pak Doktor Sayuti lagi batuk, lagi gak makan gorengan, Umi!" paksu menyebut salah satu sahabatnya.
Aku cuma manggut-manggut. Dalam hati heran juga, kemarin waktu datang di gubuk kami, kelihatan baik-baik saja.
"Pak Doktor Bambang katanya kalau perlu cemilan mau datang ke sini, Umi!" paksu memberiku laporan.
"Alhamdulillah," ujarku. Mudah-mudahan ada rezekinya anak-anak.
Berturut-turut paksu membacakan bunyi chat dari para sahabatnya, yang rata-rata akan datang membeli. Harapan pun melambung.
Satu hari, berlalu. Dua hari, hingga seminggu berlalu. kresek masih utuh. Kami masih bersabar, menunggu, barangkali ada yang membeli dagangan kami. Tetapi, memang belum ada rezekinya.
"Umi, pingin makan sama rengginang!" Yusi, si bungsu merengek.
Hari itu, kami tak memasak apa-apa, karena uang habis, sebagian dijadikan modal dagangan.
"Gimana, Pak?"
Kutatap Paksu.
"Ya, boleh, makan sajalah. Satu dua bungkus, gapapa!" paksu mengambil satu bungkus, dan diserahkannya padaku.
Hari itu, kami makan dengan lauk rengginang. Besoknya, dan besoknya lagi, dengan gorengan yang ada. Satu persatu, dagangan masuk ke perut.
"Gimana, nih, Pak, gorengannya takut basi," ujarku pada hari keduabelas. Makanan dari kampung memang asli, tanpa pengawet. Dan tentunya cepet basi dan melempem.
Paksu merenung. Sekilas, tampak cahaya keikhlasan di sana.
"Kita bagikan saja Umi!" ujarnya yakin.
Aku pun setuju dengan idenya. Paksu segera mencopot tulisan yang ia tempel pada kaca jendela
Hari itu, anak-anak ditugasi mengantarkan oleh-oleh dari kampung ke tetangga, dan sahabat-sahabat paksu.
Ternyata, berjualan itu susah kalau bukan ahlinya. Yang mudah adalah berbagi, dan mencari berkah. Dalam sekejap, bungkusan cemilan yang memenuhi meja tamu kami, habis.
Esoknya, paksu memperlihatkan chat dari tetangga dan sahabat-sahabatnya, yang telah menerima bingkisan.
"Mantap, Taz," bunyi chatnya.
"Kriuk-kriuknya langsung diserbu!"
Disertai emoji jempol.