Bukan karena faktor kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Bukan juga karena tidak cinta lagi. Bukan karena "pil" pahit alias pria idaman lain atau perempuan idaman lain. Bukan juga karena faktor ekonomi.Â
Jadi, lantas mengapa kawan saya memutuskan mengajukan perceraian ke pengadilan agama? Apakah tidak ada cara lain untuk mempertahankan rumah tangga? Terlebih sudah dikaruniai tiga anak?
Ternyata karena eks suaminya itu sudah tidak menafkahinya lahir dan batin selama lebih dari satu tahun. Dan, selama lebih dari satu tahun itu, eks suaminya itu tinggal di rumah orangtuanya. Bukan tinggal serumah dengannya.
Tidak ada kabar semisal menelepon kawan saya untuk memastikan kondisi dan perasaannya. Bagaimana kesehatannya, juga bagaimana kabar dan perasaan ketiga anak-anaknya.Â
Jangankan bertanya kabar, mengirimkan uang buat anak-anaknya pun tidak. Secara ketiga anaknya itu sekolah dan butuh biaya yang tidak sedikit. Membiarkan kawan saya pontang panting mencari uang sendiri tanpa suami ikut membantu. Belum lagi kebutuhan lainnya.
"Nggak usah pikirin gue deh, gue masih bisa cari duit buat kebutuhan gue, yang penting sih anak-anak ajalah. Kan itu anak-anaknya dia juga," ceritanya kala itu saat bertandang ke rumah saya.
Karena tidak ada kabar selama satu tahun lebih itu, dan tidak terlihat ada itikad baik dari eks suami, maka kawan saya pun berkonsultasi dengan ahlinya, bagaimana stasus perkawinannya di mata hukum agama.Â
Setelah bertanya-tanya, dikatakan suami yang tidak menafkahi isteri selama 6 bulan, pernikahan tetap sah, masih suami isteri, selama belum ada perkataan talak dari suami.Â
Meski demikian, isteri bisa menggugat cerai suami jika ia sudah merasa tidak kuat diabaikan. Isteri juga bisa tetap menunggu jika tetap ingin bersabar hingga suami sadar akan kelalaian dan kesalahannya.Â
Pihak isteri berhak untuk gugat cerai, ketika suaminya tidak menjalankan kewajibannya. Sebagaimana suami tidak boleh menyusahkan istrinya, maka istri juga boleh membebaskan dirinya dari kesusahan yang disebabkan kedzaliman suaminya.