Mohon tunggu...
Nenden Nur Amalia
Nenden Nur Amalia Mohon Tunggu... Mahasasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercubuana -Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Nenden Nur Amalia NIM 55524110004 Univeritas Mercubuana Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si. Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB2: Pendidikan Habitus Perpajakan Trans-Substansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (Dosen Pengampu Prof Dr. Apollo M.Si Ak) -NIM 55524110004

24 Juni 2025   22:29 Diperbarui: 24 Juni 2025   22:41 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indikator Pendidikan Merdeka KHD (Modul Dosen Prof Apollo)

Pendidikan Habitus Perpajakan: Ini berarti kita ingin membentuk kebiasaan atau "naluri" masyarakat (habitus) yang baik terkait perpajakan melalui pendidikan. Tujuan akhirnya adalah masyarakat sadar dan patuh membayar pajak secara sukarela, bukan karena paksaan.

Trans-substansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara: "Trans-substansi" di sini berarti kita "meminjam" atau menerapkan teori/filosofi pemikiran Ki Hadjar Dewantara ke dalam konteks perpajakan. Jadi, bagaimana nilai-nilai dan prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara bisa relevan dan diterapkan untuk membentuk habitus perpajakan yang positif di masyarakat.

Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan Panca Darma (Lima Asas). Menurut (Glori, 2024), Kelima asas tersebut adalah Asas Kodrat Alam, Asas Kemerdekaan, Asas Kebudayaan, Asas Kebangsaan, dan Asas Kemanusiaan.

1. Asas Kodrat Alam

Asas ini memandang manusia sebagai bagian dari alam semesta yang tunduk pada hukum alam, namun dianugerahi akal budi untuk mengelola kehidupannya. Artinya mendidik sesuai dengan potensi dan sifat dasar individu. Setiap orang punya bakat dan kecenderungan. Dalam perpajakan, ini bisa berarti bahwa pendidikan atau sosialisasi pajak harus disesuaikan dengan kondisi, profesi, atau tingkat pemahaman masyarakat yang berbeda-beda. Misalnya, edukasi pajak untuk UMKM akan berbeda dengan edukasi untuk korporasi besar. Hal ini akan mengembangkan potensi kepatuhan alami sesuai dengan kapasitas tiap-tiap individu atau entitas.

2. Asas Kemerdekaan

Asas ini menekankan pentingnya kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup, serta upaya membentuk manusia menjadi pribadi yang bebas dan bertanggung jawab. Dalam konteks perpajakan, ini bisa berarti bahwa masyarakat harusnya memiliki kesadaran dan kemauan sendiri untuk membayar pajak (kemerdekaan belajar pajak), bukan hanya karena diwajibkan atau diancam denda. Pendidikan perpajakan harus bisa menumbuhkan kesadaran ini.

3. Asas kebudayaan

Asas ini mengakui manusia sebagai makhluk berbudaya yang terus berdinamika dalam pembentukan budi pekerti. Pendidikan harus berlandaskan nilai-nilai budaya karena kebudayaan adalah ciri khas manusia yang terus berkembang. Ki Hadjar Dewantara melihat kebudayaan bangsa Indonesia sebagai penunjuk arah untuk mencapai keharmonisan sosial, dan asas ini menekankan perlunya memelihara nilai-nilai budaya nasional. Dalam perpajakan, ini bisa berarti mengaitkan pajak dengan nilai-nilai budaya Indonesia seperti gotong royong, kebersamaan, atau kontribusi untuk negara. Pajak sebagai bentuk partisipasi membangun bangsa.

4. Asas Kebangsaan

Asas ini menegaskan bahwa seseorang harus merasa satu dengan bangsanya tanpa bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Ki Hadjar Dewantara memperjuangkan asas ini untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi berdasarkan daerah, suku, keturunan, atau agama. Rasa kebangsaan, baginya, adalah bagian dari batin manusia yang tumbuh dari rasa diri, keluarga, hingga menjadi rasa hidup bersama, yang terwujud dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan diri sendiri. Pajak merupakan wujud nyata dari kontribusi warga negara untuk pembangunan bangsanya. Pendidikan perpajakan harus bisa menanamkan pemahaman bahwa membayar pajak adalah bagian dari rasa kebangsaan.

5. Asas Kemanusiaan

Asas ini menegaskan bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks perpajakan, ini berarti sistem dan edukasi pajak harus adil, tidak memberatkan (dalam batas wajar), dan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Menghindari praktik pajak yang tidak manusiawi atau eksploitatif.

Terdapat 3 semboyan Pendidikan yang sangat terkenal dari Ki Hajar Dewantara, yaitu "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani"

1. Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di depan memberi teladan)

Ing Ngarsa Sung Tuladha mengandung makna, sebagai pamong (pendidik) adalah orang yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai "central figure" (Ruth et al., 2023). Artinya seorang pemimpin atau pendidik (dalam hal ini, pemerintah atau otoritas pajak) harus bisa memberikan contoh yang baik. Jika pemerintah transparan, akuntabel dalam penggunaan pajak, dan tidak korupsi, maka masyarakat akan lebih percaya dan patuh. Pendidikan perpajakan juga harus dimulai dari teladan yang baik dari pihak yang mengedukasi.

2. Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun kemauan/semangat):

Menurut Ruth et al (2023) konsep ini menekankan peran pendidik sebagai mitra belajar yang peka, aktif, dinamis, dan responsif terhadap segala perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran, terutama yang terkait dengan situasi dan kebutuhan peserta didik, atau dalam hal ini adalah wajib pajak. Pemerintah harus bisa membangun motivasi dan semangat dari tengah-tengah. Otoritas pajak atau edukator harus bisa berinteraksi aktif dengan masyarakat, mendorong kesadaran dan kemauan mereka untuk membayar pajak, bukan hanya memerintah. Mereka harus terlibat dalam dialog dan membangun partisipasi.

3. Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan)

Tut Wuri Handayani adalah slogan utama dalam pendidikan di Indonesia. Slogan ini berarti "di belakang harus mendukung" dan menekankan peran guru sebagai motivator dan pendukung bagi peserta didik. Artinya pemerintah harus mendukung dan memfasilitasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban pajaknya, misalnya dengan sistem yang mudah, sosialisasi yang efektif, dan layanan yang baik. Ini adalah peran pendukung dan pemberdaya.

Ki Hadjar Dewantara mengkritik keras pendidikan tradisional yang mengandalkan perintah, ancaman, dan ketertiban. Menurutnya, metode semacam ini memiliki dampak negatif yang signifikan, seperti:

a. Menghilangkan inisiatif: Peserta didik tidak akan bekerja atau belajar tanpa adanya perintah atau ancaman dari pihak lain. Mereka menjadi pasif dan hanya bergerak jika ada dorongan eksternal.

b. Menghambat kreativitas: Sistem pendidikan semacam ini cenderung mengabaikan kecerdasan akal budi dan mematikan potensi kreatif peserta didik. Mereka hanya dilatih untuk mengikuti instruksi, bukan untuk berpikir mandiri dan menghasilkan ide-ide baru.

c. Mengurangi imajinasi: Pendidikan yang terlalu fokus pada aspek intelektual semata akan membuat peserta didik kurang imajinasi. Mereka mungkin pandai secara akademis, tetapi kehilangan kemampuan untuk berinovasi dan berimajinasi.

d. Mendorong sifat individualis dan materialistis: Metode ini secara tidak langsung dapat mengutamakan diri sendiri dan materialisme. Peserta didik mungkin hanya termotivasi oleh imbalan atau menghindari hukuman, bukan karena keinginan tulus untuk belajar atau berkontribusi.

Maka jika dikaitkan dengan pajak, artinya jika pendidikan perpajakan hanya didasarkan pada ancaman denda atau sanksi, masyarakat mungkin hanya akan patuh karena takut, bukan karena kesadaran. Ini tidak akan membentuk habitus yang berkelanjutan. Yang terjadi adalah masyarakat tidak kreatif mencari solusi kepatuhan pajak, hanya menunggu perintah, dan mungkin hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa peduli kontribusi pada negara.

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus mengembangkan bakat, potensi siswa, dan siswa perlu belajar merdeka (memilih sendiri). Konsep "Taman" berarti pendidikan harus alami, gembira, dan memberikan kebebasan dengan arahan. Ini mengusulkan pendekatan edukasi perpajakan yang lebih humanis dan partisipatif. Masyarakat harus diberi pemahaman yang utuh tentang pajak (apa, mengapa, bagaimana) agar mereka merasa "merdeka" dalam memahami dan menjalankan kewajiban mereka. Mereka harus diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan memahami esensi pajak, bukan hanya dijejali aturan.

Kemerdekaan Belajar KHD (sumber: Modul dosen Prof Apollo)
Kemerdekaan Belajar KHD (sumber: Modul dosen Prof Apollo)

Lalu apa yang menjadi tujuan dari Pendidikan itu sendiri? Ki Hajar Dewantara merumuskan 3 tujuan luhur dari Pendidikan, yang dikenal dengan Tri Rahayu.

1. Memayu Hayuning Sarira (memelihara kebaikan diri sendiri): Pendidikan bertujuan untuk menciptakan kebaikan-kebaikan bagi diri sendiri. Kesadaran pajak dimulai dari diri sendiri, dari pemahaman bahwa pajak adalah kewajiban pribadi yang akan membawa kebaikan bagi diri sendiri (melalui fasilitas publik yang dibiayai pajak).

2. Memayu Hayuning Bangsa (memelihara kebaikan bangsa): Pendidikan bertujuan untuk untuk terciptanya kebaikan dan kesejahteraan bangsa. Sejalan dengan fungsi pajak sebagai alat utama negara untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan bangsa. Membayar pajak adalah wujud nyata memelihara kebaikan bangsa.

3. Memayu Hayuning Bawana (memelihara kebaikan seluruh alam semesta): Lingkup yang lebih luas, menunjukkan bahwa kontribusi pajak juga bisa berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan global secara tidak langsung.

Tujuan Pendidikan, 3 N dan 3 Nga, dan Sistem Among KHD (sumber: Modul Dosen Prof Apollo)
Tujuan Pendidikan, 3 N dan 3 Nga, dan Sistem Among KHD (sumber: Modul Dosen Prof Apollo)

Terdapat konsep Tri N dan Tri Nga yang diajarkan Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa diantaranya adalah Niteni, Nirokke, Nambahi dan Ngerti, Ngrasa, Ngakoni.

Niteni adalah proses kognitif atau pikiran manusia, berasal dari kata "titen", yang menunjuk pada kemampuan secara cermat  mengenali,  dan  menangkap  makna  (sifat, ciri,prosedur,  kebenaran)  dari  suatu  objek  yang  diamati, dengan cara memperhatikan, membandingkan, mengamati secara  saksama,   jeli   dan   mendalam  serta   melibatkan seluruh indra (Nisa et al., 2019 dalamm Andayani et al., 2021). Artinya masyarakat mengamati contoh kepatuhan pajak dari orang lain atau dari bagaimana pemerintah menggunakan pajak. Selajutnya, tahap niroake atau meniru adalah tahapan kelanjutan   dari tahap   pengamatan. Konsep "niroake"atau  "niruaken"  berarti  meniru. Selaras dengan ungkapan tesebut, nirokke adalah menirukan apa yang diajarkan melalui model/contoh/teladan   sumber   belajar (Andayani et al., 2021). Artinya masyarakat mulai meniru perilaku patuh pajak. Dan nambahi" berarti menambahkan atau  dapat diterjemahkan sebagai meniru dan mengembangkan. Sehingga masyarakat tidak hanya patuh, tapi juga aktif mencari informasi, memberikan masukan, atau bahkan menyumbang ide untuk perbaikan sistem pajak.

Menurut Siregar et al (2022), Ngerti adalah suatu kondisi di mana seseorang dapat memahami informasi atau pengetahuan yang telah diperolehnya. Ini adalah tahap pemahaman rasional, dimana manusia memahami konsep, aturan, dan pentingnya sesuatu secara logis. Pada tahap ini, masyarakat memahami aturan dan pentingnya pajak secara rasional. Mereka mengerti mengapa pajak diperlukan dan bagaimana sistem pajak bekerja.

Kemudian Ngrasa, yang berarti perasaan, dapat membuat masyarakat lebih sensitif, bertanggung jawab, dan sadar akan apa yang telah mereka terima. Untuk detail lebih lanjut, tahap-tahap Ngrasa dapat disusun sebagai berikut: (1) nampa: menerima apa adanya tanpa memproses, (2) merespons: bereaksi atau berinteraksi dengan pemrosesan, (3) nyondro: menilai atau mengkritik, (4) mengumpulkan: mengorganisir, menyusun atau membangun nilai-nilai yang diterima, (5) menjadi milik: internalisasi atau karakterisasi (membangun identitas, membangun kepribadian, mengkarakterisasi, mempersonalisasi, dan memsymbolisasi. Fase ini bertujuan untuk membuat masyarakat lebih bertanggung jawab dan memiliki rasa untuk memberikan yang terbaik (Djohar & Istiningsih, 2017 dalam Siregar et al., 2022). Tahap ini melibatkan internalisasi emosional dan moral. Setelah memahami secara kognitif, individu mulai merasakan dampak, manfaat, atau tanggung jawab yang terkait dengan pengetahuan tersebut. Ini melibatkan kesadaran batin dan nilai-nilai pribadi.

Berlatih apa yang telah kita pelajari berarti memahaminya. Nglakoni memiliki strata atau tahap perbaikan kualitas dari tahap yang sederhana hingga tahap yang kompleks: Pemodelan, Rekayasa, Mencapai akurasi dari percobaan dan kesalahan, Artikulas dan Naturalisme. (Djohar & Istiningsih, 2017 dalam Siregar et al., 2022). Pada tahap ini, seseorang akan mempraktikkan segala yang telah mereka pelajari. Keberhasilan dalam menerapkan konsep Tri Nga adalah ketika seseorang telah memahami semua konsep dan teori pembelajaran melalui pikiran, kemudian merasakan dan hidup dengan perasaan mereka, dan dapat melaksanakan atau menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam kehidupan masyarakat. Setelah mengerti dan merasa bertanggung jawab, masyarakat mengakui kewajiban pajak mereka dan secara aktif melaksanakannya, yaitu dengan membayar pajak.

Ki Hajar Dewantara pun memperkenalkan sistem Among. Sistem Among adalah filosofi pendidikan yang berpusat pada upaya mendidik kodrat anak. Ini adalah pendekatan pengasuhan yang holistik dan berorientasi pada pengembangan diri peserta didik. Sistem ini memiliki tiga prinsip utama:

1. Momong (Merawat dengan Cinta)

Istilah "Momong" dalam bahasa Jawa mengacu pada proses pengasuhan yang dilakukan dengan penuh cinta dan keikhlasan, serta mengubah rutinitas atau kebiasaan menjadi Tindakan yang baik, yang dilakukan dengan harapan dan doa. Dampak dari pengasuhan yang penuh kasih sayang ini mendorong anak untuk tumbuh menjadi individu yang bagus dan selalu menentukan sesuatu yang benar dan tepat (Mahmudah et al., 2024). Artinya diperlukan pendekatan yang penuh kasih sayang dan perhatian dalam mengedukasi wajib pajak

2. Among (Memberi contoh)

Konsep "Among" dalam budaya Jawa menekankan pentingnya memberikan contoh perilaku baik dan buruk tanpa menghilangkan kebebasan anak untuk berproses berdasarkan dengan kodratnya dalam perasaan hati yang merdeka (Mahmudah et al., 2024). Konsep ini seperti "Ing Ngarsa Sung Tuladha", memberikan teladan yang baik.

3. Ngemong (Merawat, menjaga)

Ngemong berasal dari bahasa Jawa yang artinya menggambarkan upaya merawat, memelihara, dan memberikan dorongan kepada anak untuk mengembangkan sikap disiplin dan tanggung jawab pada dirinya sendiri, sejalan dengan nilai-nilai yang sesuai dengan kodratnya (Mahmudah et al., 2024). Dalam hal perpajakan, pemerintah mendampingi dan membimbing wajib pajak agar mereka dapat menjalankan kewajiban pajaknya dengan benar.

Ki Hajar Dewantara menggagas Pendidikan Merdeka, yaitu sebuah konsep pendidikan yang menekankan pada pembebasan individu untuk berkembang sesuai dengan kodratnya, tanpa paksaan dan tekanan. Ini bukan hanya tentang kebebasan fisik, tetapi juga kebebasan batin dan spiritual yang menghasilkan pribadi yang utuh dan mandiri. Berikut adalah indikator-indikatornya:

A. Kualitas Pribadi yang Teguh

Indikator ini menggambarkan kualitas individu dalam memegang prinsip dan menghasilkan karya:

  • Tetep (punya pendirian): Individu memiliki sikap yang konsisten dan tidak mudah goyah oleh pengaruh luar. Mereka tahu apa yang mereka yakini dan pertahankan. Sehingga seorang wajib pajak yang memiliki "Pendidikan Merdeka" akan memiliki pendirian yang teguh bahwa membayar pajak adalah kewajiban dan kontribusi penting bagi negara.
  • Mantep (teguh pendirian): Menunjukkan keteguhan dalam memegang prinsip dan keyakinan. Ini adalah level yang lebih dalam dari "tetep", di mana pendirian itu kokoh dan tidak tergoyahkan. Meskipun ada kendala atau godaan, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip kepatuhan. Keteguhan ini datang dari pemahaman yang mendalam, bukan sekadar paksaan.
  • Antep (berkualitas): Hasil dari pendirian yang teguh adalah kualitas dalam tindakan dan karya. Individu tidak hanya berpendirian, tetapi juga menghasilkan sesuatu yang bernilai dan berbobot. Ini berarti mereka tidak hanya membayar, tetapi juga membayar dengan benar, tepat waktu, dan memahami implikasi dari setiap kewajiban pajak mereka. Mereka mungkin juga aktif mencari informasi atau bertanya untuk memastikan kepatuhan yang optimal.

B.  Karakter dan Keilmuan yang Matang

Indikator ini menguraikan karakter yang kuat dan kedalaman ilmu:

  • Ngandel (berprinsip): Individu yang memiliki prinsip hidup yang jelas dan menjadi pedoman dalam setiap tindakan. Wajib pajak yang merdeka berprinsip pada kejujuran dan integritas dalam urusan perpajakan. Mereka percaya pada pentingnya pajak dan bertindak sesuai prinsip tersebut.
  • Kendel (berani): Mereka memiliki keberanian untuk bertindak sesuai prinsip, menghadapi tantangan, dan membela kebenaran. Mereka berani menghadapi dan menyelesaikan kewajiban pajaknya, tidak menunda atau menghindar. Mungkin juga berani bertanya atau mengadvokasi hak-hak mereka sebagai wajib pajak jika merasa ada ketidakadilan. Mereka tidak takut akan kompleksitas atau birokrasi perpajakan karena didasari pemahaman yang kuat.
  • Kandel (luas ilmunya): Menunjukkan bahwa individu memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Keberanian mereka tidak buta, melainkan didasari oleh pemahaman yang komprehensif. Artinya wajib pajak ini memiliki pengetahuan yang luas tentang peraturan perpajakan yang berlaku bagi mereka. Mereka terus belajar dan memperbarui informasi terkait pajak sehingga tidak mudah salah atau keliru dalam menjalankan kewajiban.
  • Bandel (tahan uji): Ini berarti individu tahan banting dan mampu menghadapi berbagai cobaan atau rintangan. Mereka tidak mudah menyerah dan terus belajar dari pengalaman. Mereka tahan uji terhadap berbagai tantangan dalam perpajakan, seperti perubahan aturan, kesulitan teknis, atau tekanan dari lingkungan. Mereka tetap patuh meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit atau membingungkan.

C.  Neng-ning-Nung-Nang, Gong: Ini adalah tahapan spiritual dan mental yang mendalam, dan jika dikaitkan dengan pajak, bisa diinterpretasikan sebagai berikut:

  • Neng (meneng tentram lahir batin) dalam Pajak: Wajib pajak mencapai ketenangan lahir dan batin karena telah menyelesaikan kewajiban pajaknya dengan benar. Tidak ada lagi beban pikiran atau kekhawatiran terkait potensi masalah pajak.
  • Ning/wening (bening jernih tahu benar salah) dalam Pajak: Mereka memiliki pemahaman yang jernih dan bening tentang apa yang benar dan salah dalam praktik perpajakan. Mereka mampu membedakan antara tindakan patuh dan pelanggaran. Kejernihan ini muncul dari pemahaman mendalam dan prinsip yang kuat.
  • Nung (hanung) kuat sentosa, kokoh lahir batin dalam Pajak: Wajib pajak ini memiliki kekuatan dan kekokohan mental serta moral dalam menghadapi kewajiban pajak. Mereka tidak tergoda untuk melakukan penghindaran pajak ilegal karena kekuatan prinsip dan keyakinan mereka.
  • Nang (menang) mendapat hak, kekuasaan, berhasil dalam Pajak: Mereka "menang" dalam artian berhasil memenuhi kewajiban pajaknya dengan baik, sehingga mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang patuh. Keberhasilan ini juga bisa berarti kontribusi mereka melalui pajak turut membuat negara "menang" dalam pembangunan.
  • Gong (Agung), memuliakan Tuhan dalam Pajak: Ini adalah level tertinggi, di mana pembayaran pajak bukan hanya sekadar kewajiban duniawi, tetapi juga dipandang sebagai bentuk ibadah atau pengabdian kepada Tuhan melalui kontribusi untuk kesejahteraan bersama dan pembangunan negara. Ada nilai spiritual yang melekat pada kepatuhan pajak.

Indikator Pendidikan Merdeka KHD (Modul Dosen Prof Apollo)
Indikator Pendidikan Merdeka KHD (Modul Dosen Prof Apollo)

Konsep Paideia: Pendidikan Komprehensif Bangsa Yunani Kuno

Paideia adalah sebuah konsep pendidikan dan pelatihan yang mendalam, berakar kuat dalam kebudayaan Yunani klasik dan Helenistik. Berasal dari kata Yunani "pais, paidos" yang berarti "pendidikan" atau "belajar", Paideia jauh melampaui sekadar pengajaran akademis; ia merupakan sebuah sistem holistik yang bertujuan untuk membentuk manusia seutuhnya, baik secara fisik, intelektual, moral, maupun spiritual.

Konsep Paideia (sumber: Modul Dosen Prof Apollo)
Konsep Paideia (sumber: Modul Dosen Prof Apollo)
 

Dalam Paideia, kurikulum dirancang untuk mencetak warga negara yang terdidik dan mampu berkontribusi aktif dalam masyarakat. Mata pelajaran yang diajarkan sangat beragam dan saling melengkapi, meliputi:

  • Pengembangan Fisik: Melalui senam, individu dilatih untuk memiliki tubuh yang sehat dan kuat.
  • Penguasaan Bahasa dan Komunikasi: Pelajaran tata bahasa dan retorika (seni berpidato persuasif) sangat ditekankan untuk memungkinkan individu berkomunikasi secara efektif dan memengaruhi publik.
  • Pengembangan Berpikir Kritis: Dialektika (metode diskusi logis), logika, dan matematika diajarkan untuk mengasah kemampuan penalaran, analisis, dan pemecahan masalah.
  • Apresiasi Seni dan Pengetahuan Alam: Musik menumbuhkan kepekaan estetika dan harmoni, sementara geografi dan sejarah alam memperluas pemahaman tentang dunia di sekitar mereka.
  • Refleksi Eksistensial: Puncak dari Paideia adalah filsafat, yang mendorong individu untuk merenungkan makna kehidupan, etika, pengetahuan, dan realitas.

Seiring waktu, konsep Paideia ini berevolusi dan dikenal dalam bahasa Latin sebagai Humanitas. Seperti yang diungkapkan oleh Cicero, seorang orator dan filsuf Romawi, Humanitas secara harfiah berarti "sifat alami manusia." Dengan demikian, Paideia tidak hanya menjadi sistem pendidikan, melainkan sebuah model ideal untuk pembentukan karakter dan kecakapan manusiawi yang kemudian banyak memengaruhi institusi pendidikan dan pemikiran di dunia Barat, meletakkan dasar bagi apa yang kita kenal sekarang sebagai studi humaniora. Paideia adalah upaya monumental untuk mencapai kesempurnaan manusia melalui pendidikan yang terintegrasi dan mendalam.

Apa itu Paideia (sumber: Modul Dosen Prof Apollo)
Apa itu Paideia (sumber: Modul Dosen Prof Apollo)

Paideia, yang kerap diterjemahkan sebagai "pendidikan" atau "pembentukan", sejatinya melampaui makna harfiahnya. Ia adalah sebuah proses holistik yang bertujuan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, meliputi aspek intelektual, moral, fisik, dan sosial, demi mencapai keutamaan (arete) dan menjadi warga negara yang ideal dalam polis (negara-kota).

Konsep Paideia mengajarkan bahwa pendidikan bukanlah sekadar transmisi pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan sebuah perjalanan panjang pembentukan jiwa. Seperti diibaratkan Pendidikan adalah proses bolak balik naik turun goa  Individu yang terdidik secara Paideia diharapkan mampu mencapai pemahaman yang komprehensif tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Mereka dilatih untuk berpikir kritis, memiliki integritas moral, menguasai diri, serta mampu berkontribusi aktif dalam kehidupan publik. Gambaran "filsuf raja" Plato adalah manifestasi puncak dari tujuan Paideia ini: seorang pemimpin yang bijaksana dan adil, mampu menuntun masyarakat menuju tatanan yang harmonis dan benar. Dengan demikian, Paideia tidak hanya mempersiapkan individu untuk profesi tertentu, melainkan untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan berpartisipasi dalam konstruksi masyarakat yang ideal.

Alegori Gua: Dari Bayangan Menuju Cahaya Kebenaran

Alegori Gua adalah salah satu gambaran paling ikonik dan berpengaruh dalam sejarah filsafat, yang dikisahkan Plato dalam Buku VII "Republik." Alegori ini berfungsi sebagai metafora kuat untuk kondisi manusia dan tujuan pendidikan.

Bayangkan sekelompok manusia yang sejak lahir terbelenggu dalam sebuah gua. Mereka duduk menghadap dinding belakang gua, dengan leher dan kaki terikat sehingga tidak bisa menoleh ke samping atau ke belakang. Di belakang mereka, terdapat api yang menyala, dan di antara api dan para tawanan, ada jalan setapak di mana orang-orang membawa berbagai patung dan objek di atas kepala mereka. Cahaya dari api memproyeksikan bayangan objek-objek ini ke dinding yang dilihat para tawanan. Bagi para tawanan ini, bayangan-bayangan yang menari di dinding itulah satu-satunya "kenyataan" yang mereka ketahui. Mereka mungkin bahkan menciptakan permainan, mengidentifikasi dan memprediksi pola bayangan, meyakini bahwa itu adalah pengetahuan sejati.

Namun, suatu hari, salah satu tawanan berhasil melepaskan diri dari belenggunya. Dengan susah payah, ia berbalik, melihat api, dan kemudian dengan perlahan dan menyakitkan, ia mendaki jalan keluar dari gua menuju dunia luar. Awalnya, matanya akan terasa silau oleh cahaya matahari yang menyengat. Ia mungkin merasa bingung dan tidak nyaman, merindukan kegelapan yang familiar di dalam gua. Namun, seiring waktu, matanya terbiasa. Ia mulai melihat objek-objek nyata---pohon, bunga, hewan, dan akhirnya matahari itu sendiri. Ia menyadari bahwa objek-objek yang ia lihat di luar gua adalah realitas sejati, dan bayangan di dalam gua hanyalah tiruan yang samar dan tidak sempurna.

Setelah tercerahkan oleh kebenaran di dunia luar, orang yang telah bebas ini merasa terpanggil untuk kembali ke gua. Ia ingin membebaskan rekan-rekannya dari ilusi dan menunjukkan kepada mereka cahaya kebenaran. Namun, ketika ia kembali ke gua, matanya kembali sulit beradaptasi dengan kegelapan. Ia mungkin terlihat canggung, bingung, dan bahkan "gila" di mata para tawanan yang masih terbiasa dengan bayangan. Ketika ia mencoba menjelaskan bahwa ada dunia yang lebih nyata di luar, dan bahwa bayangan yang mereka lihat hanyalah ilusi, para tawanan mungkin akan menertawakannya, meragukan kewarasannya, dan bahkan mungkin mengancam untuk membunuhnya jika ia mencoba melepaskan mereka.

Makna Filosofis Alegori Gua

Alegori ini adalah kritik pedas Plato terhadap manusia yang terjebak dalam doxa---pengetahuan dangkal yang berbasis pada indra dan opini semata. Dinding gua dengan bayangan-bayangannya melambangkan dunia fisik yang kita persepsi melalui indra, dunia yang berubah-ubah, tidak stabil, dan seringkali menipu. Api di belakang mereka melambangkan sumber cahaya yang terbatas dan tidak sempurna, mirip dengan cara kita sering mengandalkan informasi yang tidak lengkap atau terdistorsi.

Pelepasan dari belenggu dan pendakian keluar gua melambangkan proses pendidikan (paideia). Ini adalah perjalanan yang sulit dan tidak nyaman, menuntut keberanian dan ketekunan. Cahaya matahari di luar gua melambangkan "Idea of the Good"---sumber tertinggi dari kebenaran, keindahan, dan keadilan, yang hanya dapat dicapai melalui episteme, yaitu pengetahuan sejati yang diperoleh lewat rasio dan refleksi mendalam.

Kembalinya orang yang tercerahkan ke gua melambangkan tanggung jawab filsuf atau pendidik untuk membimbing orang lain menuju kebenaran. Namun, respons para tawanan menunjukkan betapa sulitnya mengubah pandangan orang yang telah lama terbiasa dengan ilusi. Mereka mungkin menolak kebenaran karena rasa takut, ketidaknyamanan, atau karena ilusi telah menjadi identitas mereka. Ini menyoroti tantangan dalam pendidikan, di mana seseorang yang telah melihat kebenaran seringkali harus menghadapi resistensi dari mereka yang masih nyaman dalam ketidaktahuan.

Alegori Goa (sumber: Modul dosen Prof Apollo)
Alegori Goa (sumber: Modul dosen Prof Apollo)
Garis Terbagi: Tingkatan Pengetahuan

Untuk lebih mengelaborasi perbedaan antara doxa dan episteme, Plato memperkenalkan konsep Garis Terbagi. Ini adalah model hirarkis yang membagi seluruh spektrum realitas dan pengetahuan menjadi empat tingkatan, dipisahkan oleh garis imajiner.

1. Dunia Sensibel (Doxa): Wilayah Opini dan Ilusi

Bagian bawah garis mewakili Dunia Sensibel (Doxa), atau dunia opini. Ini adalah dunia yang kita alami melalui indra kita, yang bersifat sementara, tidak sempurna, dan seringkali menipu.

a. Eikasia (Ilusi/Persepsi Palsu): Ini adalah tingkatan terendah, setara dengan bayangan di dinding gua. Pada tingkat ini, individu hanya memiliki bayangan atau ilusi tentang realitas. Pengetahuan mereka didasarkan pada persepsi yang tidak kritis, rumor, dan informasi yang tidak terverifikasi. Contoh yang relevan saat ini adalah "informasi media yang tanpa filter kritis." Individu yang berada pada tingkat Eikasia menerima apa pun yang mereka dengar atau lihat tanpa mempertanyakan kebenarannya, terjebak dalam penampilan semata. Mereka mungkin mengikuti tren tanpa memahami substansinya, atau percaya pada desas-desus yang tidak berdasar.

b. Pistis (Keyakinan): Tingkatan ini lebih tinggi dari Eikasia, setara dengan melihat objek-objek fisik di dalam gua (seperti patung yang dibawa di depan api). Pada Pistis, seseorang memiliki keyakinan terhadap objek nyata yang ada di dunia fisik, seperti pohon, meja, atau manusia. Mereka percaya pada keberadaan dan realitas hal-hal ini, tetapi pemahaman mereka masih dangkal. Mereka belum mampu memahami makna yang lebih dalam, esensi, atau Ide di balik objek-objek tersebut. Misalnya, mereka mungkin tahu apa itu "keadilan" dari contoh-contoh spesifik, tetapi tidak memahami esensi keadilan itu sendiri secara universal. Mereka menerima fakta tanpa analisis kritis yang mendalam.

2. Dunia Intelligibel (Episteme): Wilayah Pengetahuan Sejati

Bagian atas garis mewakili Dunia Intelligibel (Episteme), atau dunia pengetahuan sejati. Ini adalah dunia Form (Ide) yang abadi, tidak berubah, dan hanya dapat diakses melalui akal budi.

a. Dianoia (Pemikiran Rasional): Tingkatan ini adalah awal dari episteme, setara dengan melihat api di dalam gua atau mulai menyesuaikan diri dengan cahaya setelah keluar gua. Dianoia dicirikan oleh pemikiran diskursif dan pemahaman atas konsep-konsep abstrak seperti matematika dan logika. Di sini, individu mulai menggunakan nalar untuk menarik kesimpulan dari hipotesis dan membangun argumen yang koheren. Seorang matematikawan, misalnya, bekerja dengan angka dan bangun ruang yang tidak ada secara fisik, tetapi konsep-konsep itu nyata di ranah akal budi. Namun, pada tahap ini, pengetahuan masih bergantung pada asumsi atau aksioma yang diterima tanpa pembuktian lebih lanjut. Ini adalah langkah penting, tetapi belum mencapai pemahaman intuitif sepenuhnya.

b. Noesis (Pengetahuan Tertinggi): Ini adalah tingkatan pengetahuan tertinggi, puncak dari Garis Terbagi, setara dengan melihat matahari di luar gua. Pada Noesis, individu mencapai pemahaman langsung dan kontemplasi terhadap Ide-ide (Form), khususnya "Idea of the Good." Idea of the Good adalah sumber dari semua kebenaran, keindahan, dan kebaikan, yang menerangi semua Ide lainnya. Pada tingkat ini, individu tidak lagi bergantung pada hipotesis, melainkan memiliki pemahaman intuitif dan langsung tentang realitas tertinggi. Ini adalah puncak kebijaksanaan, di mana seseorang tidak hanya mengetahui "apa" melainkan juga "mengapa" dari segala sesuatu, memahami keterkaitan universal dan prinsip-prinsip abadi.

Paideia: Perjalanan Menuju Kebijaksanaan

Paideia adalah istilah Yunani kuno yang sering diterjemahkan sebagai "pendidikan" atau "pembentukan karakter." Dalam konteks Garis Terbagi, Paideia adalah perjalanan dari bawah ke atas---dari Eikasia menuju Noesis. Ini adalah proses membimbing jiwa manusia dari imajinasi dan ilusi menuju kontemplasi, dari kebingungan dan opini dangkal menuju kebijaksanaan sejati. Tujuan Paideia bukanlah sekadar mengisi otak dengan informasi, melainkan mengubah seluruh orientasi jiwa, memalingkannya dari dunia bayangan menuju cahaya kebenaran. Ini adalah transformasi fundamental dalam cara seseorang memandang dan berinteraksi dengan realitas.

Tripartit Jiwa: Pendidikan sebagai Penataan Internal

Selain Garis Terbagi, Plato juga meyakini bahwa jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian yang berbeda, yang harus diatur dengan benar agar individu dapat mencapai keharmonisan dan keutamaan. Pendidikan memainkan peran kunci dalam menata bagian-bagian jiwa ini.

Tripartit Jiwa (sumber: Modul dosen Prof Apollo)
Tripartit Jiwa (sumber: Modul dosen Prof Apollo)

a. Rasional (Logistikon): Ini adalah bagian jiwa yang berpikir, bernalar, dan mencari kebenaran. Logistikon adalah akal budi, pusat kebijaksanaan, dan bagian yang seharusnya memimpin dan mengarahkan seluruh jiwa. Fungsi utamanya adalah memahami Ide-ide, membedakan antara yang baik dan buruk, dan membuat keputusan berdasarkan penalaran logis.

b. Spirited (Thumos): Bagian ini adalah pusat dari semangat, keberanian, kehormatan, ambisi, dan kehendak. Thumos adalah bagian yang dapat merasakan kemarahan terhadap ketidakadilan atau kebanggaan atas pencapaian. Jika dilatih dengan benar, Thumos berfungsi sebagai sekutu akal, memberikan dorongan dan energi untuk mengikuti apa yang diputuskan oleh Logistikon. Misalnya, keberanian untuk menghadapi kesulitan dalam mengejar kebenaran atau ketekunan dalam menjalankan tugas.

c. Appetitive (Epithumia): Ini adalah bagian jiwa yang didorong oleh hasrat dan keinginan dasar atau primer, seperti lapar, haus, kebutuhan seksual, dan keinginan akan kekayaan, kesenangan materi, atau kekuasaan. Epithumia seringkali bersifat impulsif dan dapat menjadi sumber ketidakseimbangan jika tidak dikendalikan.

Kritik terhadap Pendidikan Melalui Paideia Plato dan Habitus Ki Hadjar Dewantara

Kritik KHD terhadap konsep Paideia (sumber: modul Dosen prof Apollo)
Kritik KHD terhadap konsep Paideia (sumber: modul Dosen prof Apollo)

Dalam konteks cita-cita membentuk warga negara yang berbudi luhur, Paideia memang menawarkan visi yang begitu luhur. Namun, di sinilah relevansi untuk membandingkannya dengan pemikiran tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara, menjadi sangat penting. Meskipun memiliki tujuan mulia dalam membentuk manusia yang utuh dan ideal, konsep Paideia memiliki beberapa aspek yang patut dikritisi secara mendalam, terutama jika dilihat dari kacamata filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang sangat berakar pada konteks kebangsaan dan kemanusiaan universal yang lebih inklusif. Perbandingan ini akan membuka ruang refleksi yang krusial, khususnya dalam upaya kita membentuk habitus perpajakan yang trans-substansial dalam masyarakat Indonesia.

Ki Hajar Dewantara, sebagai pelopor pendidikan nasional Indonesia, senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemerdekaan, kerakyatan, dan kebudayaan. Meskipun ia mungkin mengapresiasi visi Paideia dalam membentuk manusia yang utuh dan berbudi, pemikirannya akan dengan tegas mengkritik beberapa aspek fundamental dari Paideia, terutama jika diterapkan tanpa filter di konteks Indonesia. Kritik ini tidak bertujuan merendahkan Paideia, melainkan untuk memperjelas batas-batas dan relevansinya dalam konteks yang berbeda, sekaligus menawarkan jalan yang lebih relevan untuk pembentukan habitus perpajakan.

Pertama, kritik utama Ki Hajar Dewantara terhadap Paideia akan tertuju pada sifat elitisme yang melekat padanya. Paideia, dalam banyak interpretasinya, cenderung diperuntukkan bagi kelas sosial tertentu atau calon pemimpin yang dianggap memiliki potensi istimewa. Ini sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan untuk semua (demokratis) yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Baginya, pendidikan adalah hak dasar setiap individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau asal-usul. Jika Paideia diadaptasi secara mentah, dikhawatirkan pembentukan habitus perpajakan hanya akan menyasar kelompok tertentu, sementara mayoritas masyarakat dibiarkan teralienasi dari pemahaman dan kesadaran pajak yang mendalam. Dalam konteks Indonesia, pembentukan habitus perpajakan yang trans-substansial menuntut partisipasi dan pemahaman kolektif seluruh lapisan masyarakat. Pajak adalah tanggung jawab bersama, dan kesadaran atasnya harus ditumbuhkan secara merata, bukan hanya pada segelintir elit.

Kedua, Ki Hajar Dewantara akan mengkritik potensi sentralisasi dan dogma dalam Paideia yang berorientasi pada pembentukan "manusia ideal" dengan standar yang mungkin kaku. Paideia, dalam upaya mencapai kesempurnaan, bisa saja jatuh pada penyeragaman atau doktrinasi tentang bagaimana individu harus berpikir dan bertindak. Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara sangat menekankan kemandirian, kebebasan berpikir, dan pengembangan kodrat anak yang unik dan beragam. Ia menentang keras sistem pendidikan yang memaksakan pengetahuan atau perilaku tanpa menumbuhkan kesadaran dari dalam diri. Ini sangat relevan dengan pembentukan habitus perpajakan. Kesadaran pajak yang sejati tidak bisa dibangun di atas dasar paksaan atau doktrinasi semata. Agar perpajakan menjadi "trans-substansial"---yaitu, melekat sebagai bagian dari identitas dan kesadaran batin---masyarakat harus memahami dan menerima urgensi serta manfaat pajak secara merdeka, bukan karena takut sanksi atau diwajibkan secara buta. Pendekatan Ki Hajar Dewantara yang membebaskan akal budi akan mendorong warga negara untuk secara aktif bernalar mengapa pajak itu penting, sehingga kepatuhan timbul dari kesadaran, bukan keterpaksaan.

Ketiga, dan tidak kalah penting, adalah perbedaan dalam kontekstualisasi budaya. Paideia adalah produk dari konteks sosio-kultural Yunani Kuno. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara sangat menjunjung tinggi pentingnya pendidikan yang sesuai dengan akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa sendiri. Baginya, pendidikan harus menjadi sarana untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa. Mengadopsi konsep asing secara mentah tanpa adaptasi bisa menyebabkan alienasi dan ketidakrelevanan. Dalam upaya membentuk habitus perpajakan di Indonesia, pendekatan ini berarti bahwa pendidikan pajak harus diintegrasikan dengan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial. Pajak bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga manifestasi dari semangat kebersamaan dalam membangun bangsa. Ki Hajar Dewantara akan menekankan bahwa kesadaran pajak akan lebih kuat tertanam jika ia dikaitkan dengan narasi kebangsaan dan budaya gotong royong, bukan sekadar peniruan sistem dari luar.

Dengan demikian, meskipun Paideia menginspirasi gagasan manusia utuh, pendekatan Ki Hajar Dewantara, dengan segala kritiknya terhadap Paideia, justru lebih relevan dan aplikatif untuk membentuk habitus perpajakan yang trans-substansial di Indonesia. Model pendidikan Ki Hajar Dewantara yang inklusif, memerdekakan, berpusat pada peserta didik, dan berakar pada budaya bangsa akan menjadi fondasi yang kokoh. Ini memungkinkan internalisasi nilai-nilai perpajakan secara sukarela dan mendalam oleh seluruh warga negara, mengubah kewajiban menjadi kesadaran kolektif yang merdeka dan bermartabat.

Jika pendidikan perpajakan hanya mengadopsi pendekatan "Paideia" yang kaku, yang hanya berfokus pada:

  • Perintah dan Ancaman: Wajib pajak hanya mematuhi karena takut denda atau sanksi, bukan karena kesadaran intrinsik. Ini menciptakan kepatuhan yang rapuh dan tidak berkelanjutan, mirip dengan seseorang yang tidak bekerja jika tidak ada yang memerintah atau mengancam.
  • Mendewakan Intelektual dan Aturan Teknis: Edukasi pajak hanya berfokus pada pasal-pasal undang-undang, perhitungan yang rumit, dan formalitas. Hal ini bisa "mengabaikan kecerdasan akal budi"  wajib pajak untuk memahami esensi dan makna filosofis di balik kewajiban pajak. Akibatnya, wajib pajak mungkin tahu "apa" yang harus dilakukan, tetapi tidak mengerti "mengapa".
  • Kurang Imajinasi/Kreativitas Positif: Pendekatan kaku ini tidak mendorong wajib pajak untuk berpikir kreatif tentang bagaimana mereka bisa berkontribusi lebih baik, atau bagaimana sistem pajak bisa ditingkatkan. Sebaliknya, bisa memicu "kreativitas" negatif dalam bentuk penghindaran pajak yang tidak etis atau ilegal.
  • Keutamaan Diri Sendiri/Materialisme: Jika fokusnya hanya pada "apa yang bisa saya dapatkan" atau "bagaimana saya bisa membayar sesedikit mungkin", ini mencerminkan orientasi materialisme yang dikritik oleh Ki Hadjar Dewantara. Ini bertentangan dengan semangat gotong royong dan kontribusi untuk bangsa yang seharusnya terkandung dalam pajak.

Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang mengusulkan model pendidikan yang mendorong kemerdekaan belajar, mengembangkan bakat dan potensi , serta berdasarkan konsep "Taman" yang alami, gembira, dan bebas dengan arahan. Ini sangat relevan untuk membentuk Habitus Perpajakan yang positif:

  • Mengembangkan Bakat dan Potensi Wajib Pajak: Alih-alih hanya memberi perintah, pendidikan perpajakan harus mengidentifikasi dan mengembangkan potensi kepatuhan intrinsik wajib pajak. Misalnya, dengan menyajikan informasi pajak dalam berbagai format yang sesuai dengan gaya belajar berbeda, atau memberikan pilihan cara pelaporan yang fleksibel.
  • Pendidik Mengembangkan Potensi Siswa/Mahasiswa/Peserta Didik: Aparat pajak atau edukator harus berperan sebagai pendidik yang mengembangkan potensi kesadaran pajak masyarakat. Ini bisa melalui program bimbingan, konsultasi yang personal, atau lokakarya interaktif yang mendorong pemahaman mendalam, bukan sekadar transfer informasi satu arah.
  • Siswa/Mahasiswa Diarahkan Sesuai Bakatnya: Edukasi pajak bisa disesuaikan dengan segmen wajib pajak (misalnya, UMKM, karyawan, profesional, korporasi). Materi dan metode disesuaikan agar relevan dengan bakat dan kebutuhan spesifik mereka.
  • Siswa/Mahasiswa Perlu Belajar Merdeka (Memilih Sendiri): Wajib pajak harus diberi kebebasan untuk memahami pajak dari berbagai sumber, bertanya, dan mencari pemahaman pribadi, sehingga mereka merasa memiliki proses belajar pajak mereka sendiri. Ini membangun rasa tanggung jawab, bukan paksaan.
  • Pendekatan "Taman" (Alami, Gembira, Bermain, Kebebasan): Pendidikan perpajakan bisa dibuat lebih menyenangkan dan tidak menakutkan. Misalnya, melalui simulasi, permainan edukasi, atau kampanye yang kreatif dan positif yang menekankan manfaat pajak bagi masyarakat, bukan hanya sanksi.

Begitupun dengan Tiga Visi Utama Ki Hadjar Dewantara:

  • Ing Ngarsa Sung Tuladha (Tiruan atau contoh, atau seni, mimesis): Otoritas pajak harus memberikan contoh nyata dalam transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan prima. Ketika masyarakat melihat pemerintah mengelola pajak dengan baik dan hasilnya terlihat, mereka akan lebih terdorong untuk meniru kepatuhan tersebut. Ini adalah "mimesis" atau peniruan dari perilaku yang baik.
  • Ing Madya Mangun Karsa (memberikan motivasi): Pemerintah harus aktif berada di tengah masyarakat, memberikan motivasi, dan membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pajak. Ini bisa melalui dialog, kampanye inspiratif, atau program yang melibatkan komunitas.
  • Tut Wuri Handayani (fungsi pendidik Guru): Setelah memberikan contoh dan motivasi, pemerintah bertindak sebagai "guru" yang mendukung dan mendorong wajib pajak dari belakang. Ini termasuk menyediakan sistem yang mudah, layanan bantuan yang responsif, dan regulasi yang jelas untuk memfasilitasi kepatuhan.

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa metode paideia memiliki dampak negative, yaitu individu cenderung tidak memiliki inisiatif atau hanya bekerja jika ada perintah atau ancaman, mengabaikan kecerdasan akal budi, mendewakan intelektual semata, mengurangi imajinasi, serta mendorong egoisme dan materialisme. Dalam konteks perpajakan, jika sistem atau edukasi pajak mengadopsi pendekatan kaku yang dikritik Ki Hadjar Dewantara ini, maka akan muncul "Problem Ignorance". Wajib pajak mungkin hanya akan mematuhi aturan karena takut sanksi atau denda, bukan karena kesadaran intrinsik. Ini akan menghasilkan kepatuhan semu yang rapuh, tanpa inisiatif, dan hanya berfokus pada minimalisasi beban pribadi (materialisme), bukan pada kontribusi untuk bangsa. Kepatuhan seperti ini tidak akan pernah menjadi "habitus" yang mengakar. Pendidikan sejati bukanlah menjejalkan informasi, tetapi membebaskan manusia dari kebodohan, membimbingnya pada kebijaksanaan, serta menumbuhkan kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.

Sumber Referensi: 

Andayani, A. S., Subekti, H., Ayu, D., Sari, P., Ipa, J., Matematika, F., Ilmu, D., Alam, P., Kunci, K., Niteni, :, Dewantara, K. H., & Sains, P. (2021). Relevansi Konsep Niteni, Nirokke, Nambahi dari Ajaran Ki Hajar Dewantara dalam Konteks Pembelajaran Sains. Pensa E-Jurnal: Pendidikan Sains, 9(1), 1--6. https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/pensa/index

Glori, A. (2024, September 3). Panca Matra Ki Hajar Dwantara tentang Pendidikan. Gurusiana.Id.

Mahmudah, I., Fahreza, M. A., & Akhsan, H. (2024). Konsep Sistem Among dalam Membentuk Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Menurut Pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Al Madrasah Jurnal Pendidikan Madrasah Ibtidaiya, 8(3), 1113. https://doi.org/10.35931/am.v8i3.3539

Ruth, B., Novia, R., & Surhayati, H. (2023). Perspektif Semboyan Pendidikan Ing Ngarsa Sung Tuladha, IngMadya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani dalam Kurikulum Merdeka. Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran, 6(4), 3673--3678.

Siregar, N., Risnita, R., Nisa, A. F., & Putri, F. A. (2022). Tri Nga (Ngerti, Ngrasa, Nglakoni) Based Teaching Practice Assessment Model. Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian Dan Kajian Kepustakaan Di Bidang Pendidikan, Pengajaran Dan Pembelajaran, 8(4), 997. https://doi.org/10.33394/jk.v8i4.6243

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun