Mohon tunggu...
Nenden Nur Amalia
Nenden Nur Amalia Mohon Tunggu... Mahasasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercubuana -Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Nenden Nur Amalia NIM 55524110004 Univeritas Mercubuana Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si. Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB2: Pendidikan Habitus Perpajakan Trans-Substansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (Dosen Pengampu Prof Dr. Apollo M.Si Ak) -NIM 55524110004

24 Juni 2025   22:29 Diperbarui: 24 Juni 2025   22:41 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alegori Goa (sumber: Modul dosen Prof Apollo)

Kritik terhadap Pendidikan Melalui Paideia Plato dan Habitus Ki Hadjar Dewantara

Kritik KHD terhadap konsep Paideia (sumber: modul Dosen prof Apollo)
Kritik KHD terhadap konsep Paideia (sumber: modul Dosen prof Apollo)

Dalam konteks cita-cita membentuk warga negara yang berbudi luhur, Paideia memang menawarkan visi yang begitu luhur. Namun, di sinilah relevansi untuk membandingkannya dengan pemikiran tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara, menjadi sangat penting. Meskipun memiliki tujuan mulia dalam membentuk manusia yang utuh dan ideal, konsep Paideia memiliki beberapa aspek yang patut dikritisi secara mendalam, terutama jika dilihat dari kacamata filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang sangat berakar pada konteks kebangsaan dan kemanusiaan universal yang lebih inklusif. Perbandingan ini akan membuka ruang refleksi yang krusial, khususnya dalam upaya kita membentuk habitus perpajakan yang trans-substansial dalam masyarakat Indonesia.

Ki Hajar Dewantara, sebagai pelopor pendidikan nasional Indonesia, senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemerdekaan, kerakyatan, dan kebudayaan. Meskipun ia mungkin mengapresiasi visi Paideia dalam membentuk manusia yang utuh dan berbudi, pemikirannya akan dengan tegas mengkritik beberapa aspek fundamental dari Paideia, terutama jika diterapkan tanpa filter di konteks Indonesia. Kritik ini tidak bertujuan merendahkan Paideia, melainkan untuk memperjelas batas-batas dan relevansinya dalam konteks yang berbeda, sekaligus menawarkan jalan yang lebih relevan untuk pembentukan habitus perpajakan.

Pertama, kritik utama Ki Hajar Dewantara terhadap Paideia akan tertuju pada sifat elitisme yang melekat padanya. Paideia, dalam banyak interpretasinya, cenderung diperuntukkan bagi kelas sosial tertentu atau calon pemimpin yang dianggap memiliki potensi istimewa. Ini sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan untuk semua (demokratis) yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Baginya, pendidikan adalah hak dasar setiap individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau asal-usul. Jika Paideia diadaptasi secara mentah, dikhawatirkan pembentukan habitus perpajakan hanya akan menyasar kelompok tertentu, sementara mayoritas masyarakat dibiarkan teralienasi dari pemahaman dan kesadaran pajak yang mendalam. Dalam konteks Indonesia, pembentukan habitus perpajakan yang trans-substansial menuntut partisipasi dan pemahaman kolektif seluruh lapisan masyarakat. Pajak adalah tanggung jawab bersama, dan kesadaran atasnya harus ditumbuhkan secara merata, bukan hanya pada segelintir elit.

Kedua, Ki Hajar Dewantara akan mengkritik potensi sentralisasi dan dogma dalam Paideia yang berorientasi pada pembentukan "manusia ideal" dengan standar yang mungkin kaku. Paideia, dalam upaya mencapai kesempurnaan, bisa saja jatuh pada penyeragaman atau doktrinasi tentang bagaimana individu harus berpikir dan bertindak. Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara sangat menekankan kemandirian, kebebasan berpikir, dan pengembangan kodrat anak yang unik dan beragam. Ia menentang keras sistem pendidikan yang memaksakan pengetahuan atau perilaku tanpa menumbuhkan kesadaran dari dalam diri. Ini sangat relevan dengan pembentukan habitus perpajakan. Kesadaran pajak yang sejati tidak bisa dibangun di atas dasar paksaan atau doktrinasi semata. Agar perpajakan menjadi "trans-substansial"---yaitu, melekat sebagai bagian dari identitas dan kesadaran batin---masyarakat harus memahami dan menerima urgensi serta manfaat pajak secara merdeka, bukan karena takut sanksi atau diwajibkan secara buta. Pendekatan Ki Hajar Dewantara yang membebaskan akal budi akan mendorong warga negara untuk secara aktif bernalar mengapa pajak itu penting, sehingga kepatuhan timbul dari kesadaran, bukan keterpaksaan.

Ketiga, dan tidak kalah penting, adalah perbedaan dalam kontekstualisasi budaya. Paideia adalah produk dari konteks sosio-kultural Yunani Kuno. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara sangat menjunjung tinggi pentingnya pendidikan yang sesuai dengan akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa sendiri. Baginya, pendidikan harus menjadi sarana untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa. Mengadopsi konsep asing secara mentah tanpa adaptasi bisa menyebabkan alienasi dan ketidakrelevanan. Dalam upaya membentuk habitus perpajakan di Indonesia, pendekatan ini berarti bahwa pendidikan pajak harus diintegrasikan dengan nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial. Pajak bukan hanya kewajiban finansial, tetapi juga manifestasi dari semangat kebersamaan dalam membangun bangsa. Ki Hajar Dewantara akan menekankan bahwa kesadaran pajak akan lebih kuat tertanam jika ia dikaitkan dengan narasi kebangsaan dan budaya gotong royong, bukan sekadar peniruan sistem dari luar.

Dengan demikian, meskipun Paideia menginspirasi gagasan manusia utuh, pendekatan Ki Hajar Dewantara, dengan segala kritiknya terhadap Paideia, justru lebih relevan dan aplikatif untuk membentuk habitus perpajakan yang trans-substansial di Indonesia. Model pendidikan Ki Hajar Dewantara yang inklusif, memerdekakan, berpusat pada peserta didik, dan berakar pada budaya bangsa akan menjadi fondasi yang kokoh. Ini memungkinkan internalisasi nilai-nilai perpajakan secara sukarela dan mendalam oleh seluruh warga negara, mengubah kewajiban menjadi kesadaran kolektif yang merdeka dan bermartabat.

Jika pendidikan perpajakan hanya mengadopsi pendekatan "Paideia" yang kaku, yang hanya berfokus pada:

  • Perintah dan Ancaman: Wajib pajak hanya mematuhi karena takut denda atau sanksi, bukan karena kesadaran intrinsik. Ini menciptakan kepatuhan yang rapuh dan tidak berkelanjutan, mirip dengan seseorang yang tidak bekerja jika tidak ada yang memerintah atau mengancam.
  • Mendewakan Intelektual dan Aturan Teknis: Edukasi pajak hanya berfokus pada pasal-pasal undang-undang, perhitungan yang rumit, dan formalitas. Hal ini bisa "mengabaikan kecerdasan akal budi"  wajib pajak untuk memahami esensi dan makna filosofis di balik kewajiban pajak. Akibatnya, wajib pajak mungkin tahu "apa" yang harus dilakukan, tetapi tidak mengerti "mengapa".
  • Kurang Imajinasi/Kreativitas Positif: Pendekatan kaku ini tidak mendorong wajib pajak untuk berpikir kreatif tentang bagaimana mereka bisa berkontribusi lebih baik, atau bagaimana sistem pajak bisa ditingkatkan. Sebaliknya, bisa memicu "kreativitas" negatif dalam bentuk penghindaran pajak yang tidak etis atau ilegal.
  • Keutamaan Diri Sendiri/Materialisme: Jika fokusnya hanya pada "apa yang bisa saya dapatkan" atau "bagaimana saya bisa membayar sesedikit mungkin", ini mencerminkan orientasi materialisme yang dikritik oleh Ki Hadjar Dewantara. Ini bertentangan dengan semangat gotong royong dan kontribusi untuk bangsa yang seharusnya terkandung dalam pajak.

Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang mengusulkan model pendidikan yang mendorong kemerdekaan belajar, mengembangkan bakat dan potensi , serta berdasarkan konsep "Taman" yang alami, gembira, dan bebas dengan arahan. Ini sangat relevan untuk membentuk Habitus Perpajakan yang positif:

  • Mengembangkan Bakat dan Potensi Wajib Pajak: Alih-alih hanya memberi perintah, pendidikan perpajakan harus mengidentifikasi dan mengembangkan potensi kepatuhan intrinsik wajib pajak. Misalnya, dengan menyajikan informasi pajak dalam berbagai format yang sesuai dengan gaya belajar berbeda, atau memberikan pilihan cara pelaporan yang fleksibel.
  • Pendidik Mengembangkan Potensi Siswa/Mahasiswa/Peserta Didik: Aparat pajak atau edukator harus berperan sebagai pendidik yang mengembangkan potensi kesadaran pajak masyarakat. Ini bisa melalui program bimbingan, konsultasi yang personal, atau lokakarya interaktif yang mendorong pemahaman mendalam, bukan sekadar transfer informasi satu arah.
  • Siswa/Mahasiswa Diarahkan Sesuai Bakatnya: Edukasi pajak bisa disesuaikan dengan segmen wajib pajak (misalnya, UMKM, karyawan, profesional, korporasi). Materi dan metode disesuaikan agar relevan dengan bakat dan kebutuhan spesifik mereka.
  • Siswa/Mahasiswa Perlu Belajar Merdeka (Memilih Sendiri): Wajib pajak harus diberi kebebasan untuk memahami pajak dari berbagai sumber, bertanya, dan mencari pemahaman pribadi, sehingga mereka merasa memiliki proses belajar pajak mereka sendiri. Ini membangun rasa tanggung jawab, bukan paksaan.
  • Pendekatan "Taman" (Alami, Gembira, Bermain, Kebebasan): Pendidikan perpajakan bisa dibuat lebih menyenangkan dan tidak menakutkan. Misalnya, melalui simulasi, permainan edukasi, atau kampanye yang kreatif dan positif yang menekankan manfaat pajak bagi masyarakat, bukan hanya sanksi.

Begitupun dengan Tiga Visi Utama Ki Hadjar Dewantara:

  • Ing Ngarsa Sung Tuladha (Tiruan atau contoh, atau seni, mimesis): Otoritas pajak harus memberikan contoh nyata dalam transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan prima. Ketika masyarakat melihat pemerintah mengelola pajak dengan baik dan hasilnya terlihat, mereka akan lebih terdorong untuk meniru kepatuhan tersebut. Ini adalah "mimesis" atau peniruan dari perilaku yang baik.
  • Ing Madya Mangun Karsa (memberikan motivasi): Pemerintah harus aktif berada di tengah masyarakat, memberikan motivasi, dan membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pajak. Ini bisa melalui dialog, kampanye inspiratif, atau program yang melibatkan komunitas.
  • Tut Wuri Handayani (fungsi pendidik Guru): Setelah memberikan contoh dan motivasi, pemerintah bertindak sebagai "guru" yang mendukung dan mendorong wajib pajak dari belakang. Ini termasuk menyediakan sistem yang mudah, layanan bantuan yang responsif, dan regulasi yang jelas untuk memfasilitasi kepatuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun