Dua piring hidangan pembuka sudah aku tata di atas meja makan kaca. Mamah dan papah duduk di bangku paling pojok. Abang, si sulung, masuk mengucap salam, mamah dan papah berdiri tersenyum, bahkan mamah sempat memeluk dan mengusah pipinya. Abang melirik sekilas ke arahku, tersenyum tipis lantas duduk. Mamah segera menyuruhku untuk menuang minuman di gelasnya, aku manut.
Dua menit kemudian, Rangga, si bungsu, datang dengan gaya pecicilannya yang khas. Kami sepontan menengok. Mamah dan papah lebih dulu memeluknya.
"kita mulai saja makan malamnya, Karin masih harus meeting dengan investor utama perusahannya, katanya akan menyusul."
Mamah membuka acara makan malam tahunan keluarga kami yang keempat. Itu berarti sudah empat tahun Si bungsu mulai bekerja dan meningalkan rumah --itu salah satu adat keluarga kami. semenjak hari itu, Mamah dan Papah rutin mengadakan makan malam bersama walau hanya satu tahun sekali. Alasannya klise, untuk melepas rindu. Tapi bagiku "acara pelepasan rindu" ini lebih terasa seperti ujian akhir semester. Karir dan pencapaian akan menjadi soal utama dan satu satunya untuk lulus ujian ini.
"Bagaimana pemotretan majalahmu, serangga?" si bungsu yang duduk di sebelah Papah melotot galak.
"Rangga! Namaku Rangga, Apa sekarang mulut CEO paling mahsyur di kota ini hanya bisa mengeluarkan ejekan? Sini biarku sobek mulutmu!" Si bungsu berdiri, menyondongkan tubuh ke depan, hendak memulai perang. Tapi Papah lebih dulu menahan, menyuruhnya duduk. Abang hanya tertawa kecil, tidak merasa bersalah.
Tiga puluh menit selanjutnya pemotretan si bungsu untuk salah satu majalah terkenal, menjadi topik utama obrolan mereka. iya, hanya mereka, karna aku hanya diam, sibuk melahap daging kepiting yang baru saja aku masak dan kepalaku hanya berisi kejadian 14 jam lalu.
Entah apa masalahnya, tiba-tiba seorang wanita yang berwajah ramah, memukul telak seorang lelaki bertubuh besar di ruang tunggu nasabah. Aku --salah satu Teller di sana, ikut menjerit kaget. Si lelaki besar yang terlihat tidak tahu kesalahannya, hendak membalas wanita itu dengan melayangkan pukulan. Namun, sepersekian detik sebelum itu terjadi, salah satu satpam kami dengan tangkas menghalau pukulannya, lantas mendorong tubuh lelaki itu menjauh.
"Ternyata kau memang lelaki tak tahu malu, setelah meraba-raba punggungku, dengan tanpa bersalah kau mau balik memukul wanita, hah?!"
"Jangan sembarang menuduh! Lagi pula, Anda pikir, saya mau meraba tubuh anda itu. Setidaknya, berkacalah dulu sebelum menyebar fitnah!" wanita itu malah tertawa keras, seisi bank lengang sejenak.
"Sekarang kau menghina tubuhku? Wah, bahkan di ambang perlawanan pun, kau malah membuka lagi kejelekanmu tuan mesum." Lelaki besar itu lepas dari cengkraman satpam. Amarahnya sudah sampai puncak. Aku yang berada dua meter dari sana, reflek menarik wanita itu. Pukulan lelaki besar itu telak mengenai wajahku membuat darah segar segera merembas dari ujung bibir.