Dari tulisan Bapak Drs. Study Rizal LK, MA. yang berjudul "Kerusuhan Sebagai Bahasa yang Putus: Membaca Tragedi, Arogansi Elite, dan Solusi Komunikasi Kritis" dapat membuka mata kita bahwa demonstrasi bukan sekadar aksi jalanan, melainkan pembuka jalan dari relasi komunikasi yang timpang antara rakyat dan negara. Ketika suara-suara yang seharusnya bisa disalurkan melalui jalur-jalur formal justru dipinggirkan, maka jalanan menjadi mimbar terakhir rakyat. Namun, seperti yang dikatakan dari tulisan bapak Study bahwa, saat demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, bahasa rakyat kehilangan bentuknya dan menjadi teriakan amarah yang tak lagi terstruktur, penuh luka, dan rawan dimanipulasi.
Tragedi seperti yang menimpa Affan Kurniawan adalah potret paling menyedihkan dari komunikasi politik yang gagal. Ketika rakyat kecil menjadi korban, bukan karena salah, tetapi karena negara gagal menciptakan ruang yang aman dan adil bagi mereka, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang pincang, demokrasi yang tidak melindungi warganya, terutama yang paling rentan.
Saya juga setuju bahwa komunikasi politik di negeri ini sering kali beraroma arogansi. Simbol-simbol seperti "joged di atas penderitaan" dan pernyataan yang mengejek akal sehat publik bukan sekadar masalah etika pribadi, tetapi juga masalah sistemik. Ini menandakan bahwa masih banyak dari mereka yang duduk di kursi kekuasaan tidak benar-benar memahami bahwa representasi politik bukan soal jabatan, melainkan soal amanah.
Namun, di balik semua ini, tulisan Bapak Study juga memberi kita peringatan penting bahwa kemarahan rakyat, jika tidak diarahkan secara sadar, bisa berubah menjadi tindakan yang kontraproduktif. Pembakaran fasilitas publik, perusakan, atau penjarahan bukan hanya merusak fisik kota, tetapi juga merusak solidaritas dan kesadaran kolektif kita sendiri.
Karena itu, solusi yang ditawarkan harus di mulai dari perbaikan komunikasi elite, pembukaan kanal aspirasi yang sejati, pendekatan humanis aparat, hingga pendidikan kesadaran kolektif, Â bukan sekadar idealisme. Itu adalah syarat minimum untuk menyelamatkan demokrasi kita dari kehancuran yang perlahan tapi pasti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI