Hari itu hari Selasa. Aku, Zia, seperti biasa bangun pagi-pagi sekali, sekitar pukul lima. Udara pagi masih sejuk dan tenang. Setelah meregangkan badan dan menguap panjang, aku segera menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan salat subuh. Selesai salat, aku langsung mandi, kemudian mengenakan seragam putih biru.
Mama sudah menyiapkan sarapan favoritku: nasi goreng dengan telur dadar. Aku makan dengan lahap, sambil sesekali ngobrol dengan Papa yang juga sedang bersiap ke kantor. Setelah selesai, aku mengambil tasku dan memastikan semua buku dan perlengkapan sudah masuk. Pukul enam lewat tiga puluh, aku berpamitan dan berjalan kaki ke sekolah.
Di jalan, aku bertemu Keisya dan Zania, dua sahabatku. Kami berjalan bersama sambil ngobrol ringan. Setibanya di sekolah, suasana sudah mulai ramai. Kami melihat Naura sedang duduk di depan kelas dan langsung menghampirinya. Kami sempat mengobrol sebentar sebelum bel apel pagi dibunyikan.
Seperti biasa, semua siswa berkumpul di lapangan untuk apel pagi. Kami berbaris sesuai kelas. MC dari kelas sebelah memimpin acara. Guru-guru berdiri di sisi lapangan, mengamati barisan yang perlahan mulai rapi. Setelah sambutan dan pengumuman dari guru, apel pagi selesai sekitar pukul 07.30. Kami kembali ke kelas untuk memulai pelajaran hari itu.
Jam pertama adalah matematika, disusul pelajaran bahasa Indonesia. Aku berusaha fokus dan mencatat semua materi yang dijelaskan. Waktu terasa berjalan cepat. Bel istirahat pun berbunyi. Aku dan teman-teman langsung ke kantin. Aku membeli roti cokelat dan es krim oreo. Kami duduk di bawah pohon besar dekat lapangan, menikmati waktu istirahat sambil bercanda ringan.
Setelah istirahat, kami kembali ke kelas. Pelajaran berlangsung cukup tenang. Hingga akhirnya, waktu dzuhur tiba. Semua siswa dan siswi bersiap menuju mushola. Tapi aku, Keisya, Naura, dan Zania tidak ikut salat karena sedang berhalangan. Kami memilih berdiam diri di kelasku sembari menunggu teman-teman selesai salat.
Tak lama, kami melihat Ipul berjalan ke arah kami---bukan ke mushola. Kami langsung heran.
"Eh, Pul! Kok nggak salat?" aku bertanya sambil mengangkat alis.
Ipul terlihat santai. "Lagi males aja," katanya singkat.
Kami tertawa kecil mendengarnya. Aku tahu seharusnya tidak menanggapi begitu saja, tapi entah kenapa suasana saat itu terasa santai, dan dari situlah semuanya mulai.
"Yah, Pul. Udah pendek, malas pula," gurau Keisya sambil tertawa pelan.