Mohon tunggu...
Nayla Rezqia
Nayla Rezqia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Resume 2

11 September 2025   20:48 Diperbarui: 12 September 2025   20:46 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kerusuhan sebagai Bahasa yang Putus: Membaca Tragedi, Arogansi Elite, dan Solusi Komunikasi Kritis. Oleh: Study Rizal L. Kontu

Artikel ini membahas tentang demostrasi yang digunakan sebagai bentuk aspirasi dari masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya. demonstrasi dapat dipahami sebagai salah satu kegiatan untuk menyampaikan aspirasi atau menentang kebijakan suatu pihak, baik itu dari organisasi ataupun pemerintah.  Namun demostrasi bisa kehilangan rasionalitasnya dan berubah menjadi kerusuhan, seperti pembakaran gedung DPRD, penjarahan rumah dewan, ataupun perusakan fasilitas yang dilakukan sehingga merugikan banyak orang. Kerusuhan yang terjadi bisa dipahami sebagai bentuk kekecewaan serta kesenjangan komunikasi antara masyarakat biasa dan elite atau kelompok kecil yang punya kekuasaan dan pengaruh terutama pejabat politik, anggota dewan, aparat tinggi, ataupun orang-orang yang berada dalam lingkar kekuasaan. Serta simbol kekuasaan yang dianggap menghina publik,

Tragedi Affan Kurniawan, seperti yang disebutkan dalam bersama, bahwa driver ojol telah tewas saat demo terjadi, hal ini menjadi simbol bahwa rakyat kecil kerap jadi korban konflik politik. Sementara itu, joget di tengah penderitaan rakyat atau pernyataan yang disebut "tolol sedunia" memperlebar jurang komunikasi. Kerusuhan sendiri merupakan paradoks: rakyat marah pada negara, tetapi yang dirusak justru fasilitas publik milik bersama.

Di dalam artikel menjelaskan bahwa solusi dalam hal ini,
1.   bahwa elite harus sadar bahwa apa pun yang mereka ucapkan atau lakukan bukan hal biasa, tapi dianggap sebagai komunikasi politik.
2.   negara wajib membuka ruang aspirasi yang nyata, pemerintah jangan cuma formalitas (sekadar dengar lalu diabaikan), tapi benar-benar menyediakan wadah agar rakyat bisa menyampaikan keluhan, kritik, ataupun usulan.
3.   Aparat perlu mengedepankan pendekatan humanis, yaitu polisi atau aparat keamanan jangan langsung represif (gas air mata, tembakan, kekerasan), tapi mendahulukan dengan cara persuasif, dialog, dan melindungi rakyat agar mereka tidak semakin trauma terhadap negara.
4.   Masyarakat sipil harus menyalurkan amarah ke arah konstruktif, bukan anarki, kekecewaan rakyat yang terjadi Jangan sampai amarah berubah jadi kerusuhan, yang mengakibatkan perusasakan fasilitas publik, yang merugikan rakyat maupun negara.

Ulasan pribadi:
Menurut saya, artikel ini mengingatkan bahwa demonstrasi bukan sekadar keributan, tapi suara rakyat yang sering tidak didengar. Namun kalau berubah jadi anarki, bahkan kerusuhan serta perusakan fasilitas, justru rakyat sendiri yang rugi. Elite politik juga harus hati-hati dengan ucapan dan sikap, Solusinya, negara perlu benar-benar mendengar, aparat lebih humanis, dan rakyat menyalurkan protes dengan cara damai.

Nama: Nayla Rezqia Anitria

NIM: 12405041040033

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun