4. Penguatan Karakter Â
  Melalui proses askesis (latihan), mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai kebajikan, seperti kejujuran, ketekunan, dan kepedulian, hingga menjadi bagian dari kepribadian sehari-hari.
Relevansi dengan Nilai Nusantara Â
Etika eudaimonia memiliki kesesuaian dengan nilai budaya Nusantara. Misalnya, dalam falsafah Jawa dikenal ungkapan "Suwung ing Pamrih, Rame ing Gawe" yang berarti "tidak mementingkan diri sendiri, tetapi sibuk bekerja demi kepentingan bersama".
Nilai ini sejalan dengan Aristoteles yang menekankan keterlibatan sosial sebagai bagian dari kebahagiaan. Mahasiswa yang hanya mengejar kebahagiaan pribadi tanpa peduli pada masyarakat tidak akan mencapai eudaimonia. Kebahagiaan justru hadir ketika seseorang mengembangkan diri sambil berkontribusi pada komunitas.
Refleksi Kehidupan Mahasiswa Â
Penerapan etika eudaimonia dapat dilihat dalam situasi nyata mahasiswa:
- Saat menghadapi ujian: mahasiswa berintegritas dengan belajar sungguh-sungguh, bukan mencontek. Â
- Dalam organisasi kampus: mahasiswa belajar kepemimpinan, empati, dan kerja sama, bukan hanya mengejar posisi. Â
- Saat menyiapkan karier: mahasiswa tidak hanya mengejar pekerjaan bergaji tinggi, tetapi juga mempertimbangkan makna dan kontribusi sosial. Â
- Dalam kehidupan pribadi: mahasiswa menjaga keseimbangan antara akademik, relasi sosial, dan kesehatan mental.
Refleksi ini menunjukkan bahwa eudaimonia bukan hanya teori filsafat, tetapi pedoman praktis dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa.
Eudaimonia sebagai Tujuan Sarjana Berbahagia Â
Bila mahasiswa memahami etika eudaimonia, ia tidak akan mudah tergoda oleh pencapaian superfisial semata. Kekayaan, popularitas, atau kedudukan hanyalah fortuna --- sesuatu yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Sebaliknya, kebahagiaan yang sejati muncul ketika: Â
- Ilmu yang diperoleh digunakan untuk kebaikan. Â
- Kepribadian ditempa dengan nilai kebajikan. Â
- Kehidupan sosial dijalani dengan tanggung jawab.
Dengan demikian, transfigurasi diri bukanlah sekadar perubahan pengetahuan, melainkan perubahan eksistensial menuju pribadi yang utuh.
Penutup Â
Etika Eudaimonia Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah hadiah instan, melainkan hasil dari pengembangan diri secara berkesinambungan. Sebagai mahasiswa, menghayati eudaimonia berarti menata diri agar unggul secara akademik, berkarakter dalam moralitas, serta peduli terhadap sesama.
Menjadi sarjana berbahagia adalah tujuan mulia: bukan hanya mengejar gelar, melainkan mengupayakan kehidupan yang penuh makna. Dengan membiasakan diri hidup dalam kebajikan, mahasiswa akan mampu menghadapi tantangan hidup, tetap teguh dalam integritas, dan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat.