Hidup dalam Gelombang Pikiran yang Tak Pernah Reda
Dalam era serba digital seperti sekarang, kita hidup dalam arus informasi yang tiada henti. Bangun pagi, notifikasi sudah memenuhi layar gawai. Belum sempat mencuci muka, pikiran sudah melayang ke pesan WhatsApp yang belum dibalas, email dari atasan, atau berita yang menyesakkan dada. Di sela-sela aktivitas, kepala terasa penuh. Tidur pun tak benar-benar lelap. Seolah-olah pikiran tak pernah punya waktu untuk diam, hening, atau benar-benar istirahat. Inilah gejala overthinking---fenomena yang kian lazim, namun jarang disadari dampaknya.
Overthinking bukan sekadar berpikir keras atau dalam. Ini adalah kondisi ketika seseorang berpikir secara berlebihan tentang sesuatu, seringkali tanpa ujung, berputar-putar di kepala tanpa solusi. Jika dibiarkan, ia bisa merusak kesehatan mental, menurunkan produktivitas, bahkan merusak relasi sosial.
Lalu, mengapa overthinking begitu lekat dengan masyarakat digital masa kini? Bagaimana cara menghadapinya?
Apa Itu Overthinking?
Secara psikologis, overthinking adalah kecenderungan untuk terlalu banyak menganalisis, mengkritik, atau membayangkan skenario dari suatu kejadian, baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi. Hal ini sering memunculkan perasaan cemas, khawatir, hingga putus asa.
Ada dua bentuk overthinking yang umum terjadi:
Rumination (pengulangan masa lalu):
Terus mengulang kejadian masa lalu di kepala---kesalahan yang dibuat, hal yang seharusnya tidak dikatakan, atau keputusan yang disesali.Worrying (kekhawatiran masa depan):
Menghabiskan waktu memikirkan apa yang mungkin terjadi, membayangkan skenario terburuk, atau menebak-nebak reaksi orang lain.
Keduanya tidak produktif. Alih-alih mencari solusi, otak hanya berputar-putar di ruang hampa yang tidak membawa ke mana-mana.
Mengapa Overthinking Marak di Era Digital?