Pagi itu, saat perjalanan menuju Desa Tegalwaru, ada getaran semangat yang berbeda di dalam diri saya. Sebagai seorang awardee Sobat Bumi, saya sudah terbiasa dengan aksi-aksi lingkungan, tapi kali ini terasa lebih personal.Â
"Tanam Harapan, Panen Kemandirian"Â dari tema ini saya ingin melihat langsung bagaimana harapan itu bisa tumbuh di tengah-tengah komunitas.
Setibanya di sana, pemandangan itu menghangatkan hati. Saya melihat energi yang luar biasa dari berbagai wajah yang berkumpul: para pemuda desa yang penuh rasa ingin tahu, ibu-ibu dari kelompok ketahanan pangan yang siap menyerap ilmu, hingga para bapak petani dan jajaran pemerintah desa yang hadir penuh dukungan. Kami semua ada di sana, siap menjadi bagian dari cerita yang sama.
Kreativitas di Lahan Sempit, Belajar dari Para Ahli
Sesi berbagi ilmu dimulai, dan saya ikut terhanyut dalam antusiasme mereka. Momen pertama yang menyentak saya adalah ketika Bapak Dr. Endang Gunawan, S.P., M.Si., seorang dosen dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB University, mulai berbicara. Beliau tidak hanya memaparkan teori, tetapi juga membangkitkan imajinasi kami semua.
Jangan jadikan lahan sempit sebagai alasan. Dengan vertikultur, dinding rumah pun bisa menjadi kebun sayur kita. Kuncinya adalah kesabaran, dimulai dari penyemaian bibit yang benar selama 1-2 minggu hingga ia cukup kuat untuk dipindahkan.
Kata-kata itu seolah membuka sebuah pintu di benak saya; bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan pemicu kreativitas. Saya bisa melihat efek yang sama pada para peserta lain. Mereka saling berbisik dan mengangguk setuju, raut wajah mereka menunjukkan betapa menariknya metode vertikultur ini.Â
Kemudian, Bapak Abdul Rohman Abi, A.Md. menunjukkan pada kami keajaiban dalam sebuah ember melalui Budikdamber (Budidaya Ikan dalam Ember). Yang paling saya ingat adalah pesannya yang sederhana namun penuh makna.Â
Lele ini juga makhluk hidup, jangan langsung dimasukkan. Biarkan kantung benihnya mengapung dulu 5-10 menit di dalam ember. Biarkan mereka beradaptasi dengan 'rumah' barunya, agar tidak stres dan bisa tumbuh sehat.Â
Saya melihat para peserta manggut-manggut serempak. Kami semua belajar pelajaran berharga tentang empati dari sebuah tindakan kecil. Pesan sederhana itu ternyata memantik gelombang antusiasme yang luar biasa. Begitu sesi materi usai, para peserta langsung menghujani Pak Abi dengan pertanyaan. Mereka tidak hanya penasaran soal efektivitas Budikdamber, tetapi sudah berpikir jauh ke depan seperti bagaimana kelanjutan kerja sama untuk pasokan bibit lele. Semangat mereka begitu nyata, menunjukkan bahwa ilmu yang baru mereka dapatkan bukan sekadar wawasan, melainkan sebuah rencana aksi yang siap dieksekusi.
Dari Teori Menjadi Aksi Penuh MaknaÂ
Momen paling berkesan bagi saya adalah saat kami semua melakukan aksi implementasi. Teori yang baru kami dengar kini menjadi aksi nyata. Bukan lagi sekadar konsep, saya melihat sendiri bagaimana harapan itu benar-benar kami tanam bersama. Dalam beberapa jam yang penuh tawa dan kerja sama, kami berhasil:
Memasang 5 unit alat Budikdamber sebagai solusi pangan di lahan terbatas.
Menginstal 2 unit alat Vertikultur yang siap membuat dinding kosong menjadi produktif.
Menanam 50 pohon Trembesi sebagai investasi oksigen untuk masa depan desa.
Menebar 100 bibit hortikultura dan 100 bibit lele di dalam ember-ember harapan sebagai sumber gizi keluarga.
Mendengar langsung testimoni dari para peserta membuat hati saya bergetar. "Senang sekali, sangat bermanfaat," ujar seorang ibu sambil tersenyum. "Mudah-mudahan nanti bisa diterapkan di rumah, jadi nggak usah beli-beli lagi, tinggal metik." Ucapan itu bukan sekadar pujian, melainkan bukti bahwa harapan yang kami tanam hari itu telah mulai berakar.
Puncak dari pengalaman saya hari itu adalah saat pembagian bioslurry. Saya baru tahu bahwa pupuk organik cair itu adalah hasil dari program Biogas Desa Berdikari yang sudah berjalan di sana. Seketika, saya melihat sebuah lingkaran kebaikan yang utuh. Limbah ternak menjadi biogas, ampasnya menjadi pupuk, dan pupuk itu kini akan menyuburkan sayuran dan ikan yang akan dipanen warga. Sebuah kemandirian sejati.
Pulang dari Desa Tegalwaru saya bukan hanya mendapatkan foto-foto kegiatan, tetapi dengan sebuah pemahaman baru di hati. Hari itu saya menyaksikan bahwa menanam satu bibit di pekarangan bukan sekadar soal pangan, tapi soal menumbuhkan martabat. Melepas satu benih lele di dalam ember bukan sekadar soal gizi, tapi soal merawat kehidupan.
#AksiSobatBumi1
#BeasiswaSobatBumi
#KompetisiArtikelSOBI
#BumiKuAsriPanganBerdikari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI