Kesabaran bukanlah tanda menyerah terhadap keadaan, tetapi bukti keteguhan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Kisah Ummu Habibah, atau Romlah binti Abu Sufyan, adalah contoh nyata bagaimana seorang mukminah bertahan dalam keimanan meskipun dikelilingi oleh cobaan berat.
Hijrah ke Habasyah: Ujian Keimanan Pertama
Ummu Habibah adalah putri dari Abu Sufyan, seorang pemimpin Quraisy yang disegani dan juga salah satu musuh utama Rasulullah ﷺ. Meskipun berasal dari keluarga yang menentang Islam, ia dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy, justru memilih untuk memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Ketika tekanan dari kaum Quraisy semakin berat, Ummu Habibah dan suaminya ikut hijrah ke negeri Habasyah untuk mencari perlindungan. Namun, ayahnya tidak tinggal diam. Ia mengirim prajurit untuk memfitnah Ummu Habibah dan suaminya di hadapan Raja Najasyi. Akan tetapi, Allah berkehendak lain—bukan hanya fitnah itu tidak berhasil, tetapi justru sang raja mendapat hidayah dan akhirnya masuk Islam.
Dunia Adalah Tempat Ujian
Ketenangan sejati bukan di dunia, melainkan di akhirat. Dunia adalah tempat ujian, dan begitu pula yang dialami Ummu Habibah.
Suatu malam, ia bermimpi melihat suaminya tenggelam disapu ombak. Ia tidak menceritakan mimpi itu kepada siapa pun, berharap itu tidak menjadi kenyataan. Namun, takdir berkata lain. Suaminya mulai terpengaruh oleh teman-temannya yang beragama Nasrani. Hingga pada akhirnya, ia mengumumkan bahwa dirinya akan meninggalkan Islam dan masuk ke dalam agama Nasrani. Ummu Habibah menangis, tetapi ia tetap teguh dalam keimanannya.
Kita belajar dari sini bahwa hidayah adalah milik Allah. Dialah yang memberi dan mencabut keimanan dari hati seseorang. Maka, sudah seharusnya kita selalu berdoa,
Ya muqollibal qulub, tsabbit qolbi ‘ala dini – Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.
Pilihan Ummu Habibah: Sabar dan Tawakal
Setelah kehilangan suaminya, Ummu Habibah dihadapkan pada dua pilihan sulit. Ia bisa tetap tinggal di negeri Habasyah sebagai seorang diri, atau kembali ke rumah ayahnya yang membenci Rasulullah ﷺ. Namun, ia memilih jalan ketiga: bersabar dan menyerahkan nasibnya kepada Allah.