PengantarÂ
Konflik yang melanda Sudan pada tahun 2023 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang mencuri perhatian dunia. Perang saudara ini bermula dari ketegangan antara Pasukan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces, SAF) yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces, RSF) di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo.Â
Konflik ini dipicu oleh perebutan kekuasaan dan kegagalan transisi menuju pemerintahan sipil setelah kudeta militer pada 2021.Â
Dampaknya sangat menghancurkan, dengan ribuan korban jiwa, jutaan warga sipil terpaksa mengungsi, dan kerusakan infrastruktur yang meluas. Kekerasan yang sistematis terhadap warga sipil, termasuk serangan udara dan pembunuhan massal, memperburuk krisis kemanusiaan dan memunculkan seruan mendesak untuk intervensi internasional.
Dalam konteks ini, konsep Responsibility to Protect (R2P) menjadi relevan. R2P adalah doktrin yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2005, yang menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.Â
Jika negara gagal melakukannya, tanggung jawab tersebut beralih kepada komunitas internasional untuk campur tangan, baik melalui langkah-langkah diplomatik, kemanusiaan, atau militer sesuai dengan piagam PBB. Prinsip ini bertujuan mencegah eskalasi konflik yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan global.
Analisis Penerapan R2P di Sudan
Prinsip-Prinsip R2P dalam Konflik Sudan
Responsibility to Protect (R2P) merupakan konsep normatif yang diadopsi dalam KTT Dunia 2005 oleh PBB, yang bertujuan untuk mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam konflik Sudan, khususnya di Darfur, prinsip R2P seharusnya diterapkan melalui tiga pilar utama:
Pilar I: Negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi penduduknya dari kejahatan berat. Pemerintah Sudan, dalam hal ini, seharusnya mengatasi akar konflik, seperti diskriminasi etnis, ketidaksetaraan sumber daya, dan pelanggaran HAM.
Pilar II: Komunitas internasional harus membantu negara meningkatkan kapasitasnya dalam melindungi warga sipil. Bantuan berupa diplomasi, mediasi, dan dukungan pembangunan sangat krusial dalam mencegah eskalasi konflik.
Pilar III: Jika negara gagal melindungi warganya, komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk melakukan intervensi kolektif, baik secara preventif maupun melalui tindakan langsung, dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB.
Teori vs. Praktik Penerapan R2P di Sudan
Dalam kasus Sudan, khususnya di Darfur, komunitas internasional telah mengakui bahwa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi sejak awal 2000-an. Namun, penerapan R2P dalam praktiknya masih terbatas.
Keterlibatan Internasional: Dewan Keamanan PBB mengesahkan beberapa resolusi, termasuk pengiriman pasukan perdamaian melalui misi UNAMID (United Nations--African Union Mission in Darfur). Misi ini bertujuan untuk melindungi warga sipil, memfasilitasi bantuan kemanusiaan, dan mendukung perjanjian damai. Namun, efektivitasnya terbatas karena kurangnya sumber daya dan dukungan politik yang solid.
Sanksi dan Tindakan Hukum: Komunitas internasional menjatuhkan sanksi kepada individu tertentu dan membawa Presiden Omar al-Bashir ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan genosida. Namun, eksekusi sanksi ini seringkali terhambat oleh keberpihakan politik dan kurangnya konsensus global.
Kegagalan Penuh Pilar III: Ketika kekerasan meningkat, termasuk selama krisis terbaru pada 2023 antara SAF (Sudanese Armed Forces) dan RSF (Rapid Support Forces), intervensi militer internasional tidak pernah benar-benar diwujudkan, meski pelanggaran HAM terus berlanjut.
Tantangan dan Hambatan dalam Penerapan R2P di Sudan
Penerapan Responsibility to Protect (R2P) di Sudan menghadapi berbagai tantangan besar, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politik, keterlibatan Dewan Keamanan PBB yang sering terhambat oleh veto dari anggota tetap seperti Rusia dan China menjadi penghalang signifikan untuk mengambil tindakan tegas.
 Konflik kepentingan geopolitik ini menciptakan kebuntuan dalam merespons krisis yang memerlukan intervensi segera.Â
Di sisi lain, pemerintah Sudan, terutama selama era Omar al-Bashir, menggunakan kedaulatan nasional sebagai tameng untuk menolak intervensi internasional, meskipun terjadi pelanggaran HAM berat. Ketidakstabilan internal, yang semakin diperburuk oleh konflik kekuasaan antara Sudan Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF), memperburuk situasi dengan menciptakan kekacauan politik yang sulit diredakan melalui pendekatan internasional.
Secara ekonomi, Sudan menghadapi hambatan besar akibat kemiskinan struktural dan ketergantungan pada ekspor sumber daya seperti minyak dan emas, yang sering kali menjadi sumber utama konflik. Sanksi ekonomi yang diterapkan terhadap rezim otoriter Sudan oleh negara-negara Barat memperparah krisis ekonomi, menciptakan penderitaan bagi masyarakat sipil yang sudah terpinggirkan.Â
Kekurangan sumber daya juga menghambat efektivitas misi perdamaian internasional seperti UNAMID, yang tidak mampu menyediakan perlindungan memadai bagi warga sipil di wilayah konflik. Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam di Sudan turut memperbesar kesenjangan sosial dan memicu ketegangan etnis, terutama di Darfur, di mana kelompok minoritas non-Arab menjadi korban diskriminasi dan kekerasan sistematis.
Dari sisi sosial, ketegangan berbasis identitas menjadi salah satu akar konflik yang sulit diatasi. Marginalisasi kelompok etnis tertentu dan meningkatnya migrasi akibat konflik menghasilkan tekanan sosial baik di dalam negeri maupun di negara-negara tetangga seperti Chad dan Sudan Selatan.Â
Meskipun PBB dan organisasi regional seperti Uni Afrika (AU) telah berupaya mengatasi tantangan ini melalui resolusi perdamaian, pengiriman misi kemanusiaan, dan mediasi, keterbatasan kapasitas dan dukungan politik internasional membuat hasilnya tidak maksimal. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memberikan sanksi dan mendukung penyelidikan kejahatan perang, namun pendekatan mereka sering dianggap reaktif dan tidak konsisten.
 Sementara itu, Uni Afrika, meski berperan penting dalam dialog regional, masih bergantung pada dukungan donor asing untuk menjalankan operasinya. Tanpa reformasi dalam mekanisme global dan upaya kolektif yang lebih kuat, penerapan R2P di Sudan akan terus menghadapi hambatan serius, meninggalkan warga sipil dalam situasi rentan.
KesimpulanÂ
Konflik Sudan tahun 2023 menjadi gambaran nyata tantangan dalam menerapkan prinsip Responsibility to Protect (R2P) untuk melindungi warga sipil dari kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Meskipun prinsip ini menawarkan tiga pilar utama---tanggung jawab negara, bantuan komunitas internasional, dan intervensi kolektif---implementasinya di Sudan terbukti sulit.Â
Upaya seperti resolusi PBB, misi perdamaian UNAMID, dan pemberian sanksi kepada individu yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan tidak memberikan hasil signifikan. Keterbatasan ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya, dinamika politik global yang rumit, serta konflik kepentingan antara negara-negara besar.
Tantangan utama penerapan R2P di Sudan mencakup kebuntuan politik di Dewan Keamanan PBB akibat hak veto anggota tetap, serta ketidakstabilan internal Sudan yang semakin diperburuk oleh konflik antara faksi militer.Â
Selain itu, masalah sosial dan ekonomi seperti diskriminasi etnis, ketidakadilan distribusi sumber daya, dan dampak buruk sanksi ekonomi memperparah krisis. Marginalisasi sosial dan tekanan geopolitik regional juga membuat situasi semakin kompleks, menjadikan Sudan medan konflik yang sulit ditangani dengan pendekatan internasional yang ada saat ini.
Keberhasilan R2P di masa depan membutuhkan reformasi mendalam pada mekanisme global, terutama penguatan kapasitas Dewan Keamanan PBB untuk menghindari kebuntuan politik. Upaya kolaboratif yang lebih kuat antara aktor internasional dan regional diperlukan untuk mengatasi akar penyebab konflik, seperti ketidakadilan struktural dan diskriminasi sosial.Â
Konflik Sudan menyoroti pentingnya tanggung jawab kolektif komunitas internasional dalam mencegah tragedi kemanusiaan dan menegakkan prinsip perlindungan global secara efektif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI