Wilujeng pun melangkahkan kakinya keluar kelas. Ia menatap langit yang tadinya melukiskan senja sekarang berubah menumpahkan warna abu-abu pekat. Langkahnya beriringan dengan air asin yang turun seakan ikut menangisi apa yang Wilujeng alami hari ini.
Keesokan harinya, lapangan rindang depan sekolah Garda Cita telah penuh oleh ribuan manusia. Wilujeng dengan sigap membawa Bendera dilengkapi senyum manis dibibirnya. Tapi takdir memang unik, ia membuat Wilujeng kehilangan kesadaran dan terjatuh diiringi teriakkan semua orang yang ada disana.
Petugas PMR menepuk lengan gadis paskibra itu pelan, “Jeng, kamu istirahat disini saja, ya! Habis ini surat izinnya aku antarkan ke kelasmu.”
Wilujeng pun menyandarkan punggungnya dan berkata, “Eum, tolong sampaikan pada keempat sahabatku, makalahnya ada di tas bagian depan.”
“Siap, Jeng. Akan ku sampaikan nanti,” Balas petugas PMR tersebut yang tak lain merupakan teman kelasnya saat dibangku Sekolah Menengah Pertama.
Wilujeng tersenyum dengan sorot mata lemas, “Terima kasih banyak, ya.”
Laras termenung setelah mendapati pesan dari Wilujeng. Rasa bersalahnya kian menggebu. Nuraninya berkata untuk bertemu Wilujeng dengan membawa tiga sahabatnya yang lain. Namun, perasa gengsi lagi-lagi menghinggapi dirinya.
Setelah bergulat dengan ribuan kemungkinan dan prasangka di hati dan pikirannya. Laras melangkahkan kakinya ke kantor guru dan menyerahkan makalah yang telah dikerjakan sepenuh hati oleh gadis paskibra dari kota Sleman itu kepada sang guru. Setelah itu, ia menghampiri ketiga sahabatnya dan menyampaikan pesan Wilujeng yang ia dapat dari petugas PMR saat bel istirahat pertama bergema.
“Wilujeng sakit, nanti pas istirahat kedua mau menjenguk dia, tidak?” Laras memulai percakapan.
Ningrum menunduk dan membalas dengan lirih, “Ayo, sejujurnya aku ingin meminta maaf padanya. Tapi, aku cukup sakit hati dengan ucapan yang ia lontarkan kemarin.”
Bayu pun ikut mengungkapkan pendapatnya, “Baiklah, aku juga.”