Sejak kecil kita tak pernah jauh dari parade pertemanan. Ada si dia yang memilih menetap. Ada si dia yang memilih meninggalkan. Lalu, apa kuncinya?
Inilah sepenggal kisah ikatan lima anak manusia yang memiliki beragam watak. Saling mengisi kekurangan dan memberi warna bagaikan lima kuas pada satu kanvas.
---------------------------------------------------------------------------
Langit mulai melukiskan senja, burung-burung berterbangan kembali ke sangkarnya. Lucunya, semesta masih membuat lima anak manusia di ruang kubus itu saling bertegang rasa. Saling beradu argumen berlapis kegoisan masing-masing yang begitu ketara.
Pemuda dengan mata bulan sabit itu kembali megudarakan barisan kata, “Aku tidak bisa, aku sudah ada janji sama pacarku!”
“Maaf, aku harus menemani ibuku kerumah nenek,” Sahut gadis kucir kuda yang duduk tepat di samping papan tulis putih.
Gadis lain dengan rambut sebahu lengkap dengan baju paskibra itu menghela nafas. Kemudian, tatapan dan jarinya mengarah kepada dua kawannya yang lain, “Kalian berdua juga tidak bisa?”
Setelah retoris dari Wilujeng mengudara, pemuda bernama Bayu dan gadis bernama Ningrum kompak mengangguk.
“Memang terlihat lucu ya, kita dari dulu saling membantu dan melengkapi. Akan tetapi, mengapa sekarang hanya untuk mengerjakan satu makalah saja, tidak ada yang bisa? Apa kalian tidak khawatir dengan nilai kalian padahal besok makalahnya sudah harus dikumpulkan? Sejak awal pemberian tugas ini, tak ada satupun yang meluangkan waktu untuk kerja kelompok. Aku paham, kalian orang kaya dan berkuasa. Mudah sekali untuk membeli nilai, bukan?” Sarkas Wilujeng penuh penekanan.
Diantara Arka, Laras, Bayu, dan Ningrum tak ada satu pun dari mereka yang membalas perkataan Wilujeng. Mereka malah berbenah dan pergi meninggalkan Wilujeng yang menatap miris kepergian mereka satu persatu.