Mohon tunggu...
Natasha Angel
Natasha Angel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan Berpendapat Bukanlah Alasan

2 Maret 2018   09:41 Diperbarui: 2 Maret 2018   09:51 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebebasan berpendapat atau freedom of speech merupakan hak dasar yang dimiliki semua orang, tidak terbatas kepada siapapun. Kebebasan berpendapat memungkinkan kita untuk menyuarakan aspirasi, mengemukakan ide dan mengungkapkan perasaannya. UUD 1945 menjamin hak seluruh Rakyat Indonesia untuk mempunyai kebebasan berpendapat semenjak Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.

Namun seiring berjalannya waktu, semua orang seperti lupa dan mengabaikan akan inti dari kebebasan berpendapat. Mereka sering menganggap enteng hak kebebasan berpendapat, menganggap bahwa apapun yang mereka ucapkan terlindungi dan terjamin oleh UUD 1945. Mereka lupa bahwa sebenarnya hak kebebasan berpendapat mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa ada pembatasan, kecuali dalam hal menyebarkan kejelekan.

Kebebasan berpendapat bukanlah sebuah alasan yang dapat dipakai setiap kali seseorang menyebarkan kata-kata kebencian. Kebebasan berpendapat bukan berarti seseorang dapat mencaci-maki orang lainnya hanya karena ia merasa bahwa pendapatnya layak untuk didengar tanpa menghiraukan perasaan orang yang membaca atau mendengarkan sederet lontaran kata yang tentunya menyakitkan.

Media sosial yang semakin hari bertambah penggunanya, dikecam memperparah adanya perpecahan dengan muatan ujaran kebenciannya. Contohnya pada pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, orang yang berada di belakang layar sebuah ponsel dapat dengan mudahnya menyebarkan kebenciannya kepada orang lain berdasarkan identitas agama, suku, dan etnis.

Tahun 2017 merupakan tahun maraknya kasus ujaran kebencian dan hoax. Media sosial digunakan sebagai platform atau medium yang dipakai orang-orang. Menurut data di tahun 2017 sendiri terdapat 11 kasus besar yang bersangkutan dengan hate speech sendiri. Konten negatif yang ditemukan di sosial media bahkan banyak yang menyasar kepada Presiden Joko Widodo.

Tidak berhenti sampai disana kasus ujaran kebencian kian menjamur. Mereka tidak hanya menyerang sekelompok agama, ras, dan/atau suku tertentu, tetapi juga individu-individu yang sebenarnya tidak bersalah. Banyak kasus bullyingyang terjadi di Indonesia; tidak hanya remaja yang merasakan dampaknya namun anak-anak juga ikut merasakan peer pressureyang nanti berangsur-angsur berubah menjadi bullying & harassmentjika tidak langsung ditangani.

Kerusakan fisik sangat jelas saat ujaran kebencian ini berubah menjadi kejahatan kebencian. Ketika sebuah salib dibakar di halaman depan seseorang, atau saat berjalan di jalan seseorang diserang karena dia berasal dari ras, agama, jenis kelamin yang berbeda, atau karena preferensi seksual mereka.

Ucapan kebencian harus dikendalikan. Semua orang pada dasarnya boleh menyampaikan aspirasi atau mengungkapkan perasaan tetapi lakukan di tempat yang tidak membahayakan siapa pun. Setiap individu harusnya kembali mengintrospeksi diri masing-masing atau mengingat kembali apakah kata-kata yang hendak diucapkan wajar, diperlukan, membangun atau malah merusak, membangkitkan amarah dan perpecahan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun