Mohon tunggu...
Natasha yosefani
Natasha yosefani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Si Dul "Bukan" Anak Betawi

1 Oktober 2021   10:15 Diperbarui: 1 Oktober 2021   15:11 1591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/

Judul: Si Dul Anak Jakarta

Penulis: Aman Datuk Madjoindo

Penerbit: Balai Pustaka

Cetakan: ke 23 tahun 2001

Tebal Buku: 86 halaman

ISBN: 979-407-239-7

Abdul Hamid atau yang biasa dipanggil si Dul, merupakan anak Betawi yang hidup di kampung Jakarta. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya dalam keluarga kecil yang sederhana dan harmonis. Ayahnya merupakan seorang supir bus dan terkenal akan kebaikannya. Di kampung yang sama, tinggal pula kakek dan nenek Dul. Kakek Dul, biasa dipanggil Uak Salim, merupakan guru mengaji anak-anak di kampung itu. Biasanya, sore hari setelah bermain, Dul dan teman-temannya pergi ke rumah Uak Salim untuk membaca surat kajian bersama-sama. Setelah mengaji, barulah mereka bagi tugas untuk membersihkan pekarangan rumah dan mencari pakan kambing milik Uak Salim.

Begitulah hari-harinya dihabiskan dengan bermain, mengaji dan tak jarang pula berkelahi dengan temannya. Walaupun badannya kecil, Dul memang kampiun berkelahi seperti ayahnya dulu. Tak pernah ia menangis karena kalah berkelahi. Ia dapat mengalahkan temannya, Sapii, walaupun badannya jauh lebih besar dan tinggi. Rutinitas keseharian Dul pun terus berulang, hingga suatu hari musibah datang menimpa keluarganya. Ayah Dul meninggal karena bus yang dikendarainya menabrak pohon di tepi jalan. Sejak saat itu, kehidupan Dul pun berubah.

Kepergian Ayah Dul membuat mpok Amne sangat terpukul. Sebulan lamanya mpok Amne jatuh sakit dan terbaring di tempat tidur. Semua barang dan perhiasan telah habis dijual untuk berbelanja dan membeli obat. Keinginan Dul untuk bersekolah pun terpaksa diurungkan karena adanya keterbatasan dana. Sebelum ayahnya meninggal, Dul meminta kepadanya untuk bersekolah seperti temannya, Karto. Ia ingin memakai seragam lengkap dengan dasi seperti anak sekolahan lainnya. Walaupun awalnya ayahnya ragu karena memang jarang sekali anak di kampung itu bersekolah, namun akhirnya ia diizinkan untuk bersekolah setelah lebaran. Sayangnya nasib berkata lain. Ayah Dul meninggal saat lebaran pun belum tiba.

Kondisi ekonomi Dul dan mpok Amne mulai membaik sejak mereka memutuskan untuk berjualan nasi ulam dan ketan urap. Sebenarnya mpok Amne mendapat tawaran kerja di toko obat. Namun Uak Salim tidak memberi izin. Uak Salim menganggap pekerjaan itu tidak baik karena di tempat kerja itu juga terdapat laki-laki. Pagi-pagi sekali, mpok Amne memasak semua makanan itu kemudian Dul bertugas untuk berkeliling kampung menjual dagangan itu. Dagangan mereka laris karena rasanya yang enak. Kelihaian Dul saat meneriakkan dagangannya juga membuat banyak anak tertarik membeli dagangan itu.

Selang beberapa waktu, kesedihan dari musibah yang menimpa keluarga Dul kini berangsur menjadi kebahagiaan. Ibu Dul kini telah menikah lagi dengan seorang montir. Keinginan Dul untuk bersekolah pun akhirnya tercapai saat ayah tirinya menawarkan Dul untuk bersekolah. Ayah tirinya menganggap bahwa akan menjadi baik bila anak di kampung itu banyak yang bersekolah. Dengan demikian, anak di kampung itu dapat mendapat pekerjaan yang layak dan tidak kalah saing dengan anak-anak di luar kota. Uak Salim tidak setuju dengan keputusan bahwa Dul akan bersekolah. Ia mengatakan bahwa anak Betawi cukup sholat dan mengaji saja. Namun  Dul akhirnya tetap bersekolah di pagi hari dan mengaji sore hari nya. Akhirnya ia bisa merasakan memakai seragam dan dasi seperti yang temannya pakai. Demikianlah Dul kembali menjalani harinya, makin hari makin rajin ia bersekolah dan makin bertambah ilmu yang ia dapat.

Begitulah dalam buku ini, penulis menceritakan kehidupan si Dul dengan unsur budaya Betawi yang kental. Yang membuatnya semakin menarik, penulis buku ini sendiri, yaitu Aman Datuk Madjoindo, bukanlah orang Betawi ataupun lahir di djakarta. Aman Datuk Madjoindo merupakan penulis kelahiran Sumatera Barat pada tahun 1986. Sejak kecil, ia telah bercita-cita menjadi pengarang, redaktur, juga penerjemah buku. Awal karirnya dimulai dengan menjadi guru di Padang pada tahun 1919. Lalu pada 1920 ia mulai bekerja di Balai pustaka sebagai korektor dan kemudian menjadi redaktur. Sayangnya, Aman Datuk Madjoindo sangat abai dengan kesehatannya. Ia terkena penyakit paru-paru dan harus keluar masuk Sanatorium di Bogor. Buku Si Dul Anak Jakarta pun ditulis setelah ia keluar dari Sanatorium dan dibuat untuk memenuhi keinginannya mengisi mingguan Pandji Poestaka. 

Buku yang terbit pertama kali pada tahun 1932 dengan judul Si Doel Anak Betawi ini juga telah beberapa kali diadaptasi menjadi sebuah film dan sinetron. Pada tahun 1972 buku ini diadaptasi menjadi film dengan judul “Si Doel Anak Betawi”. Dari apa yang saya tonton sekilas, memang terdapat beberapa detail berbeda antara novel asli dengan film adaptasinya. Dalam novel diceritakan bahwa ibu Dul menikah lagi dengan seorang montir. Namun dalam film adaptasi itu, ibu Dul menikah lagi dengan paman Dul. Dalam film pun memang lebih ditekankan pada nilai pendidikan dimana Dul berusaha mematahkan anggapan bahwa anak Betawi tidak perlu sekolah. Namun konflik utama seperti meninggalnya ayah Dul masih tetap dipertahankan.

Unsur Betawi yang kental menjadi salah satu kelebihan dari buku ini. Dalam bagian pendahuluan buku, Aman menjelaskan tujuannya menulis buku ini dalam dialek Betawi agar bahasa itu dapat lebih dikenal oleh orang luar Betawi dan wawasan bahasa daerah para pembaca pun semakin luas. Dalam hal ini, tujuan Aman mengenalkan budaya Betawi pun berhasil tersampaikan dengan baik melalui dialek Betawi dalam dialog ataupun budaya-budaya Betawi yang ada dalam alur cerita. Contohnya saja dalam buku itu, digunakan kata Nyak untuk panggilan ibu dan terdapat penggunaan kata aye untuk menggantikan kata saya. Selain itu saat lebaran, anak-anak di kampung itu mengenakan sarung dan terbus merah sebagai salah satu adat kampung Betawi. 

Keunggulan dari buku ini juga terdapat pada nilai moralnya. Buku ini merupakan buku yang mengandung banyak sekali amanat dan nilai-nilai tersirat. Karakter Dul yang hormat dan takut pada nyak dan babe nya menunjukkan nilai penghormatan terhadap orang tua. Sifat Dul yang dengan senang hati membantu nyak jualan juga merupakan cerminan bakti pada orangtua. Selain itu, dalam alur cerita juga terselip nasihat untuk tidak menyakiti hewan. Pada buku, nasihat ini diberikan pada Dul agar ia tidak menyiksa kambing milik engkongnya. Selain itu nilai agama juga sangat ditekankan dalam buku ini. Sifat Dul yang rajin mengaji dapat menjadi teladan bagi kita untuk menjalankan kewajiban agama masing masing. 

Namun di luar itu semua, nilai terpenting dari buku ini, menurut saya adalah pentingnya bersekolah. Dalam buku, pilihan hidup Dul untuk bersekolah merupakan suatu dobrakan terhadap stigma anak Betawi pada saat itu. Inilah mengapa dalam judul saya katakan, Dul ‘Bukan’ Anak Betawi, dimana Dul tidaklah memiliki pandangan seperti Anak Betawi biasa lain pada masa nya. Anak Betawi di kampungnya saat itu tidak mementingkan sekolah. Para orangtua, contohnya uak Salim juga beranggapan bahwa yang terpenting adalah sholat dan mengaji atau ajaran agama saja. Di sinilah hadir sosok ayah tiri Dul yang menurut saya memiliki pemikiran terbuka terhadap pendidikan sekolah. Yang menjadi menarik, karakter ayah tiri Dul ini mewakilkan pandangan orangtua modern zaman ini yang sebagian besar memandang pendidikan sebagai fondasi penting masa depan anak. Dengan menghadirkan tokoh ayah tiri ini menurut saya secara tidak langsung, penulis menyampaikan pandangannya terhadap pentingnya pendidikan. Pemikiran dari ayah tiri Dul juga secara tidak langsung mewakili pandangan penulis menanggapi masalah sosial yang ada pada saat itu dimana banyak anak kampung Betawi itu kalah saing dengan anak di kota luar. Penulis melihat rendahnya pendidikan di kampung itu menyebabkan adanya ketimpangan sosial dimana anak kampung itu nantinya berakhir mendapat pekerjaan dengan pangkat dan gaji rendah sedangkan anak kota luar lah yang mengisi jabatan-jabatan tinggi di kampung itu. Maka dari itu antusiasme Dul untuk bersekolah dan pandangan akan pentingnya sekolah merupakan nilai positif yang patut diteladani.

Sayangnya, dalam buku ini menurut saya penggunaan dialek Betawi yang cukup intens terkadang membuat buku ini cukup sulit dipahami. Terdapat beberapa kata-kata dalam dialek Betawi yang tidak dilengkapi dengan pengertiannya. Hal ini menurut saya membuat pembaca sulit pula untuk menikmati cerita karena harus mencari arti dari beberapa kata satu persatu untuk memahami buku ini. Selain itu, terdapat banyak sekali umpatan dan kata kasar dalam dialog dan adegan perkelahian. Contohnya saja saat adegan perkelahian, muncul kata umpatan seperti anjing, bangsat, dan kata-kata kurang senonoh lainnya. Hal ini menjadi disayangkan karena dapat memberi nilai buruk bagi pembaca. Selain itu, menurut saya alur pada bagian awal diceritakan cukup lambat. Konflik baru hadir pada bab bagian akhir, sehingga menurut saya bab-bab bagian awal dapat membuat pembaca cepat bosan.

Dari semua ini, Dengan mempertimbangkan segala kelebihan dan kekurangannya, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh remaja atau anak-anak. Melihat banyaknya kata kasar yang ada dalam buku ini, anak-anak yang membaca buku ini lebih baik berada dalam dampingan orang tua. Buku ini juga cocok bagi pecinta novel ringan namun tetap memiliki konflik yang cukup menarik. Banyaknya nilai-nilai kehidupan dalam buku ini menjadikan buku ini sangat cocok dibaca oleh anak-anak sehingga nilai yang terkandung dalam buku ini dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari hari. Selain itu, buku ini juga baik dibaca anak-anak karena dapat memperluas wawasan anak terhadap keragaman budaya Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun