Mohon tunggu...
Natania Valentine
Natania Valentine Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang mahasiswi

Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Kehilangan

3 Oktober 2020   07:06 Diperbarui: 3 Oktober 2020   07:28 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dok. pribadi

Pak Tono, sudah kuanggap sebagai pamanku sendiri. Paman yang menjagaiku saat ayah pergi ke luar kota apalagi sekarang ayah sudah bersama Tuhan di surga. Pakdhe adalah orang sangat unik yang berbeda dari yang lain. Aku dan pakdhe memiliki hobi yang sama yaitu mengamati dan mengoleksi kupu-kupu dari taman belakang. Aku dan pakdhe melepas rindu dengan mengobrol di taman belakang sambil mengamati kupu-kupu. Setelah puas dengan obrolan kupu-kupu, kami tutup perbincangan sore ini dengan makan malam bersama.

Bulan purnama memancarkan cahaya dengan terang, para warga berkumpul di lapangan untuk menyaksikan pertunjukkan gamelan malam ini. Tak terkecuali aku. Suara gamelan yang indah membuat hati ini tentram dan selalu teringat kota kelahiranku. Terlihat sosoknya yang kurindu sedang sibuk dengan acara ini. Ia berhilir mudik ke sana ke mari seperti setrika. Bahkan aku tidak berani untuk tegur sapa dengannya, takut mengganggunya. Aku memandanginya dan tertuju pada gerak-geriknya. Berkharisma, itu yang aku suka darinya sejak dulu kala.

Aku menikmati segelas wedang ronde hangat di pinggir lapangan sambil mendengarkan alunan gamelan jawa yang menggema di telinga.

“Ada orang kota pulang ke kampung halaman nih,” bisik seorang lelaki di telingaku.

Aku terkejut dan menumpahkan sedikit wedang ronde ke celanaku. Sial, panas pahaku. Berani-beraninya lelaki ini mengubah mood-ku yang lagi baik.

"Yaampun sorry  Ina, aku gak sengaja, panas ya maaf", ucapnya.

"Iya santai aja, gak panas kok", jawabku sambil tersenyum.

Aku mengenali bau parfumnya. Aku mengenali jelas suaranya. Aku mengenali persis bentuk bayangannya. Aku sungguh kenal dengan lesung pipitnya. Ternyata dia, sosok yang sok sibuk dari tadi, sok mondar mandir, dan sok tidak melihatku, dia Rian. Senyumnya masih sama seperti dulu, selalu kurindu.

"Yaelah, jangan cemberut mulu woe, aku dah minya maaf ni, apa harusaku beliin lagi?"candanya.

"Astaga, Ian, sebel deh, bikin kaget aja woe", jawabku.

"Ehehe iya, maaf ya, lagian kamu ngelamun aja, mikirin siapa? Mikirin aku ya? Kangen sama aku yakan?" ucap Rian sambil senyum kepedean.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun