Seperti biasa, setiap mobil mungil kesayanganku melaju di ruas tol menuju tempat kerjaku, secercah rindu mengusik perasaanku. Aku rindu seseorang menelponku hanya untuk bicara hal-hal tak penting, “Sampai mana?.. Jangan lupa makan?... Nggak usah buru-buru…. Istirahat dulu…”, pesan istriku setiap kali aku pergi bekerja.
Air mata selalu meleleh mengenang momen remeh itu. Momen yang berubah menjadi begitu berharga setelah dia tiada. Di tengah perjalanan adalah momen wajib bagiku untuk menangis, menumpahkan air mata kehilangan sepuas hatiku. Selain itu, saat-saat sendirian di manapun wajah cantik itu mengusik kerinduanku. Tak seorangpun tahu ritual ini kecuali lembaran-lembaran tisu di mobilku, yang setia mengusap bersih air mataku saat aku hampir sampai ke tempat tujuan.
Turun dari mobil pagi itu, seperti biasa aku ubah air mukaku dengan berjuta senyum, menyapa rekan-rekan kerja dan kenalan di kantorku seakan dunia selalu baik-baik saja.
Belum lama aku duduk di meja kerjaku tiba-tiba datang seorang wanita muda, yang dari gayanya menggendong tas ransel dan menentang laptop sepertinya mahasiswa pascasarjana.-
“Permisi bapak, apakah prof Rahmat ada di sini?” tanyanya sopan.
“Ruang kantor beliau tidak di sini. Di pascasarjana”, jawabku.
“Di sebelah mana, ya” tanyanya Kembali.
“Di samping rektorat, lantai tiga”, jawabku. Sejenak dia hanya terdiam dan malah duduk di hadapanku.
"Permisi, boleh duduk, bapak?", pintanya meminta ijin.
"Silakan" sahutku
“Dari mana?” tanyaku berbasa-basi.