Setelah anak-anak mulai besar, tanpa sadar justeru aku yang kini sering didera kesepian, sering larut dalam kehampaan dan merasa ditinggalkan . Tidak ada lagi gemuruh sorak-sorai anak-anakku yang sebelumnya menyambutku bagai pahlawan setiap kali aku pulang dari bekerja. Kini mereka seperti tidak membutuhkanku. Anak-anakku memiliki dunia mereka sendiri-sendiri bahkan satu sama lain saling terpisah.
Setiap pulang ke rumah, hanya sepi dan sunyi menyapa, ditambah kehampaan batin seorang laki-laki yang dulu merasa memiliki segalanya, tapi kini serasa tak punya siapa-siapa. Rumah yang dulu selalu ramai, kini tak ubahnya gedung terbengkelai tanpa penghuni. Bahkan saat pulang kerja aku lebih suka mampir berlama-lama di warung makan atau rest area sekedar mengusir sepi.
Sekitar setahun terakhir, entah mengapa kondisi fisikku terasa semakin menurun, menjadi mudah kelah, tanpa daya. Tubuhku yang sebelumnya hampir tak pernah sakit tiba-tiba terasa rapuh dan lemah. Beberapa kali tekanan darahku naik jauh di atas normal hingga jatuh sakit ditemani kesendirian dan tanpa seorapun peduli.
“Seharusnya kamu menikah lagi, biar ada yang urus kamu”, desak ibu, saudara, kerabat dan teman-teman saat kebetulan tahu kondisiku.
“Aku nggak pernah memikirkan itu. Tugasku tinggal satu, mengantarkan anak-anak mandiri”, jawabku setiap kali mereka memberi saran padaku. Begitu seringnya nasehat itu, sampai-sampai kadang aku merasa emosi mendengarnya.
Entah karena bisikan kerabatku atau dari mana, saat aku kembali jatuh sakit tiba-tiba anakku mengatakan hal yang sama.
“Kita nggak masalah kalau papah nikah lagi”, ucap anak sulungku suatu ketika dan diamini adik-adiknya.
“Kita nggak tahu bagaimana jagain papah, tetapi papah harus selalu sehat”, ucap anak keduaku serius.
“Sudahlah nggak usah ngomong aneh-aneh. Papah nggak apa-apa. cuma kecapekan aja”, jawabku.
“Tugas papah cuma satu, mengantarkan kalian sampai bisa hidup mandiri”, tegasku.