Dalam tradisi keilmuan Islam, dikenal tiga bentuk nalar utama, yaitu bayani, burhani, dan irfani. Nalar bayani menekankan penafsiran teks dan dalil-dalil agama sebagai sumber utama pengetahuan. Nalar burhani lebih mengandalkan akal dan logika rasional untuk membuktikan kebenaran. Sementara itu, nalar irfani menempatkan pengalaman batin dan intuisi spiritual sebagai sumber utama pengetahuan(Farabi dkk., 2021).
Ketiga pendekatan ini sebenarnya saling melengkapi. Nalar bayani menjaga keotentikan teks wahyu, nalar burhani memastikan pengetahuan tetap logis dan sistematis, sedangkan nalar irfani memperkaya pemahaman dengan dimensi spiritual yang mendalam. Dengan menggabungkan ketiganya, pemahaman terhadap ilmu dan agama bisa menjadi lebih utuh dan seimbang(Farabi dkk., 2021).
4. Implikasi teoritis dan praktis
Secara teoritis, nalar irfani memperluas cara pandang kita terhadap pengetahuan. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan melalui penelitian dan logika, tetapi juga melalui pengalaman spiritual yang jujur dan mendalam. Hal ini menantang pandangan modern yang sering kali hanya menganggap valid pengetahuan yang bisa dibuktikan secara empiris(Hendrizal dkk., 2024).
Secara praktis, pendekatan irfani dapat diterapkan dalam pendidikan Islam, pengajaran akhlak, serta pembinaan spiritual. Dengan menggabungkan akal, hati, dan pengalaman batin, proses belajar tidak hanya menghasilkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kedewasaan spiritual. Namun, perlu diingat bahwa pendekatan ini memerlukan bimbingan yang tepat, agar tidak terjebak pada pengalaman subjektif yang sulit diverifikasi(Hendrizal dkk., 2024).
Kesimpulan
Epistemologi nalar irfani menghadirkan cara pandang yang menempatkan hati dan pengalaman batin sebagai bagian penting dalam mencari kebenaran. Ia tidak menolak logika dan bukti empiris, tetapi melengkapinya dengan dimensi spiritual yang lebih dalam. Pendekatan ini menegaskan bahwa pengetahuan sejati bukan hanya hasil berpikir, melainkan juga hasil penyucian jiwa dan kedekatan dengan Tuhan.
Dengan memahami nalar irfani, kita diajak untuk melihat ilmu dan kehidupan secara lebih utuh, yaitu dengan menggabungkan rasio, pengalaman, dan spiritualitas. Ketika tiga jenis nalar dalam Islam (bayani, burhani, dan irfani) dapat digunakan secara seimbang, tradisi keilmuan Islam akan berkembang menjadi sistem pengetahuan yang tidak hanya cerdas secara akal, tetapi juga bijak secara hati.
Daftar Pustaka
Abshor, M. U. (2018). EPISTEMOLOGI IRFANI (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik). Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alquran dan Tafsir, 3(2), 249. https://doi.org/10.32505/tibyan.v3i2.649
Azmin, S. (2023). NALAR 'IRFANI DALAM PENAFSIRAN: STUDI TAFSIR SUFI 'ISYARI SAHL AL-TUSTARY. Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 11(2), 281--304. https://doi.org/10.21274/kontem.2023.11.2.281-304
