Selain itu, kebenaran dalam nalar irfani tidak diukur dari logika atau bukti fisik semata, melainkan dari kesesuaian antara pengalaman spiritual dan ajaran agama. Karena itu, peran seorang guru spiritual (mursyid) sangat penting untuk membimbing agar pengetahuan yang diperoleh tetap benar dan tidak menyimpang. Dalam pandangan sufi, mursyid menjadi penghubung antara pengalaman batin seorang murid dan kebenaran Ilahi (Farhan & Arafat, 2021).
Nalar irfani juga menekankan pentingnya kebersihan hati (tazkiyah al-qalb) sebagai syarat utama dalam mencari pengetahuan sejati. Hati yang bebas dari kesombongan, iri, dan cinta dunia akan menjadi wadah bagi cahaya Ilahi. Dalam ajaran tasawuf, hati dianggap sebagai tempat menerima pengetahuan langsung dari Tuhan, dan hanya orang yang menjaga kebersihan batinnya yang mampu merasakan pancaran makrifat(Jannah, 2021).
Metode irfani juga menekankan pengalaman langsung atau penyaksian batin (kasyf). Jenis pengetahuan ini tidak diperoleh melalui bahasa atau akal pikiran, tetapi melalui pengalaman spiritual yang diberikan langsung oleh Allah. Pengalaman tersebut dapat berupa ilham, inspirasi, atau intuisi yang menyingkap hakikat sejati di balik realitas yang tampak secara lahiriah(Farhan & Arafat, 2021).
Terakhir, nalar irfani memiliki sifat simbolik dan isyari (metaforis). Artinya, ia membuka peluang bagi pemahaman makna batin dari teks-teks keagamaan, terutama Al-Qur'an. Dalam pandangan ini, makna lahiriah hanya dianggap sebagai lapisan luar dari kebenaran yang lebih dalam. Melalui tafsir isyari, seorang arif dapat memahami pesan Ilahi dengan cara yang melampaui batas logika tekstual, namun tetap menghormati makna zahir yang terkandung di dalamnya(Azmin, 2023).
3. Perbandingan: Nalar Bayani, Burhani, dan Irfani
Dalam tradisi keilmuan Islam, dikenal tiga bentuk nalar utama, yaitu bayani, burhani, dan irfani. Nalar bayani menekankan penafsiran teks dan dalil-dalil agama sebagai sumber utama pengetahuan. Nalar burhani lebih mengandalkan akal dan logika rasional untuk membuktikan kebenaran. Sementara itu, nalar irfani menempatkan pengalaman batin dan intuisi spiritual sebagai sumber utama pengetahuan(Farabi dkk., 2021).
Ketiga pendekatan ini sebenarnya saling melengkapi. Nalar bayani menjaga keotentikan teks wahyu, nalar burhani memastikan pengetahuan tetap logis dan sistematis, sedangkan nalar irfani memperkaya pemahaman dengan dimensi spiritual yang mendalam. Dengan menggabungkan ketiganya, pemahaman terhadap ilmu dan agama bisa menjadi lebih utuh dan seimbang(Farabi dkk., 2021).
4. Implikasi teoritis dan praktis
Secara teoritis, nalar irfani memperluas cara pandang kita terhadap pengetahuan. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan melalui penelitian dan logika, tetapi juga melalui pengalaman spiritual yang jujur dan mendalam. Hal ini menantang pandangan modern yang sering kali hanya menganggap valid pengetahuan yang bisa dibuktikan secara empiris(Hendrizal dkk., 2024).
Secara praktis, pendekatan irfani dapat diterapkan dalam pendidikan Islam, pengajaran akhlak, serta pembinaan spiritual. Dengan menggabungkan akal, hati, dan pengalaman batin, proses belajar tidak hanya menghasilkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kedewasaan spiritual. Namun, perlu diingat bahwa pendekatan ini memerlukan bimbingan yang tepat, agar tidak terjebak pada pengalaman subjektif yang sulit diverifikasi(Hendrizal dkk., 2024).
Kesimpulan