Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karmapala

23 September 2019   22:44 Diperbarui: 23 September 2019   23:05 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: minanews.net

PAK GINO termangu di halaman rumahnya, meski kini sudah bukan halaman lagi. Karena kini dia hanya bisa menatap rumahnya yang roboh rata tanah memenuhi halaman. Kayu, dinding, dan genting tindih menindih dan berserakan menutup tanah. Rumah Pak Gino satu-satunya yang roboh setelah puting beliung menerjang kampungnya.

Pak Gino masih termangu, otaknya berputar mencari solusi untuk membangun kembali rumahnya. Pak Gino memang hidup sebatang kara sejak istrinya meninggal beberapa tahun lalu. Andai masih dinas seperti tahun lalu, mungkin Pak Gino tidak merasa pusing. Dia akan mudah mendapatkan uang.

Kedua anaknya bertransmigrasi dan hingga sekarang tak ada kabar dari mereka. Hari-harinya dilingkupi kesepian hati dan kesunyian batin. Uang pesangonnya sebagai 'pensiunan' anggota Tib-Um makin menipis.

"Ah, seandainya masih bekerja sebagai petugas Tib-Um."

Hati Pak Gino bertarung, ingin menyalahkan siapa karena musibah. Namun kadang berpikir bahwa itu adalah buah karma dari perbuatannya saat masih dinas. Meski cuma tenaga honorer, namun saat itu hidup Pak Gino melebihi kehidupan teman-teman di kesatuannya. Kesatuan yang kini sudah berganti nama, sejak Pak Gino 'pensiun'.

Saat bertugas Pak Gino paling ditakuti terutama para pedagang kakilima. Tak tertib sedikit saja, tak segan Pak Gino menghancurkan lapak, gerobak, kemudian mengangkutnya dengan truk. Akhirnya para pedagang tahu kemauan Pak Gino.

Secara berjamaah para pedagang kakilima selalu memberi upeti harian kepada Pak Gino. Upeti berupa 'uang ketertiban' yang nominalnya tergantung dagangan atau lapak yang dimiliki pedagang. Mungkin bagi Pak Gino tidak seberapa, namun bagi pedagang uang 5 ribu hingga 10 ribu rupiah sangatlah berarti. Terlebih mereka harus setor setiap hari, ketika Pak Gino keliling pecinan atau pasar, juga jalan-jalan yang ramai pejalan kaki dan pedagang kakilima.

***

Pernah seorang perempuan tua memaki-maki Pak Gino. Pasalnya sepele, perempuan itu telat nunggak memberi upeti. Maka dengan paksa Pak Gino mengangkut lapak dan mengankutnya dengan truk. Perempuan itu menangis sambil memaki-maki Pak Gino tiada henti. Memaki dan mengutuk Pak Gino dengan wajah penuh air mata.

Pak Gino terkejut, kenapa lamunannya sampai ke perempuan pedagang kakilima itu. Perempuan yang memakinya, mengutuknya karena lapaknya dia ambil. Perempuan itu pun tak pernah terlihat berjualan lagi di dekat pangkalan becak.

"Apakah ini kutukannya?"

"Ah bukan, ini musibah." Batin Pak Gino berperang.

"Itu dulu, ini kan sekarang. Ini bukan kutukan."

Pak Gino menghibur diri sendiri. Namun perempuan itu semakin jelas memaki-makinya. Hingga suaranya memenuhi kepala Pak Gino.

***

"Aku hanya ingin membantu mereka, dengan sedikit uang ketertiban, mereka tetap bisa berjualan dengan untung lebih banyak dari yang disetorkan padaku."

"Tapi Bapak telah menyalahgunakan wewenang. Bapak makan uang haram, keringat orang. Dosa Pak, dosa!"

Kali ini tiba-tiba muncul isterinya di mata Pak Gino. Isterinya ngomel tak henti-henti, karena Pak Gino memberi makan keluarganya dengan uang tak halal. Uang ketertiban dari para pedagang kakilima yang takut dagangannya diangkut.

"Ini imbalan Bu, bukan uang haram. Aku bekerja Bu."

"Meski sakit, aku tak ingin makan uang haram itu Pak. Silakan Bapak pakai sendiri."

Ah, isterinya kini ikut-ikutan muncul bersama perempuan tua pedagang bubur itu.

"Ini karmamu Gino, ini buah perbuatanmu!"

Perempuan itu terus memaki Pak Gino. Kemudian larilah Pak Gino ke sudut lain halaman rumahnya. Yang sebenarnya sudah bukan halaman lagi, karena rumahnya roboh.

***

Kini tak hanya perempuan tua yang memaki-maki Pak Gino, para pedagang datang satu per satu ke tengan puing-puing rumahnya. Pak Gino mencoba lari ke pojok lainnya. Hasilnya sama. Para pedagang yang telah memberi upeti kepadaanya semakin banyak berdatangan. Dengan nada beraneka mereka mencaci-maki, mengumpat, menghardik, dan mengutuk Pak Gino. Semakin lama semakin banyak, dan perempuan tua penjual bubur itu menjadi pemimpin mereka.

"Tidaaak!"

"Ini buah karmamu Gino, buah kesewenanganmu pada kami. Orang pinggiran yang mengais rejeki demi sesuap nasi. Tapi kau rampas lapak kami, gerobak kami, uang kami!"

"Tidaaak!"

"Ini karmapalamu Gino!"

Tiba-tiba Pak Gino berlari dan terjerembab di tengah puing-puing rumahnya yang bererakan.

"Tolong! Tolong! Pak Gino pingsan."

Seorang tetangga menemukan Pak Gino yang pingsan. Entah bagaimana bisa pingsan di tengah puing-puing rumahnya. Hingga Pak Gino siuman, Pak RT dan para tetangga pun masih bingung mengapa Pak Gino bisa pingsan.

Pak Gino masih sulit diajak bicara, dia seperti ketakutan dikejar-kejar sesuatu atau seseorang. Pak Gino hanya duduk di pojok halaman rumahnya, yang sebenarnya sudah bukan halaman lagi. Pandangannya kosong ke arah puing-puing rumahnya yang berserakan. Terus dipandanginya puing-puing rumahnya dengan batin yang berserakan. (*)

Magelang, September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun