Danang masih diam di sebelah Ratri. Keduanya tengah duduk di tepi kolam rumah mereka malam itu. Air kolam sesekali berpendar-pendar menerima taburan gerimis yang hilang timbul. Langit berselimut mendung kelabu. Malam tampak kelam tanpa bintang.Â
Lampu temaram yang mengitarinya menebar cahaya redup, menambah suasana yang seharusnya menenangkan. Akan tetapi, yang dirasakan Danang malah sebaliknya. Ia menyadari Ratri tengah kesal kepadanya.Â
Ia pun kebingungan mencari alasan yang membuatnya tidak lagi menyanggah ucapannya. Angin sekali lagi menebarkan hawa dingin. Ia melihat Ratri sekilas mendesis kedinginan. Maka, ia pun segera melepas jaketnya, kemudian diselimutkannya ke tubuh Ratri.
        "Kamu tidak merasa kedinginan?" Ratri menatap wajahnya. Ia menggeleng. Ia memang benar-benar tidak merasakan kedinginan, bahkan di dalam tubuhnya terasa panas oleh kekecewaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
        "Seharusnya jika Wining ingin menerapkan tradisi patriarki, harus total dong,"gerutu Ratri.
        "Total bagaimana?"
        "Bukankah ia rela berhenti menjadi sekretarismu jika Kamu menikahinya?"
        "Lalu, apa kaitannya dengan patriarki?"
        "itu berarti, ia rela bergantung kepadamu, menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk mengabdi kepadamu,"Ratri menghela napas           sebelum melanjutkan ucapannya,
        "Dengan dalih rela mengabdikan dirinya kepadamu, bagiku ia telah mendukung tradisi patriarki,"ia pun buru-buru melanjutkan,
        "Tapi ia tidak salah. Justru keinginan yang sangat cerdas. Ia tahu gajimu lebih dari cukup untuk memanjakannya. Ia bisa keluar dari            pekerjaannya, tinggal di rumah mewah dengan sekian pembantu. Perempuan mana yang tidak mau? Ia tentu sudah membayangkan           bakal menjalani kehidupan bagaikan ratu."