Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (27)

12 Agustus 2020   18:07 Diperbarui: 12 Agustus 2020   17:58 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

               Tania gelisah. Gerimis turun mengiringi senja itu. udara terasa tidak nyaman dan tiba-tiba saja membuat badannya meriang. Hidungnya pun mendadak terasakan seakan buntu. Begitulah yang dirasakannya tatkala kondisi tubuh tidak fit atau tengah terbebani banyak pikiran. Hujan belum lagi turun. Mungkin masih dua atau tiga jam lagi, tapi badannya sudah terasakan meriang dan mendadak pilek.

Sorot lampu mobil terlihat berhenti di depan pagar rumahnya. Ia bergegas keluar untuk membukakan pintu tanpa mencari payung kendati gerimis masih turun. Ada sedikit kecewa namun juga gembira. Yang datang bukan suaminya melainkan Lala. Ia pun segera membuka pagar dan meminta Lala memasukkan mobilnya ke dalam carport.

            "Nginap di sini ya. Aku kangen,"ujarnya sambil menggandeng lengan Lala ketika keduanya telah memasuki rumah.

            "Kok sepi?" di mana suamimu?" Lala memerhatikan rumah Tania yang terasakan sangat sepi ditambah dengan ekspresi sedih yang ditampilkan Tania.

            Ia pun menawari Lala teh atau susu coklat hangat atau kopi? Lala menjawab ingin minum coklat susu panas saja.

            "Aku mampir saja. Tidak usah repot," katanya sambil menikmati minuman hangatnya. Kehangatan yang segera menjalari tubuhnya dan untuk sesaat sanggup mengusir dingin yang menerpanya sejak tadi sore.

            "Nginap di sini saja. Sepertinya Boy tidak pulang malam ini."

            "Lho, ke mana?" Lala terkejut sampai tersedak. Ia segera meletakkan cangkir coklat susunya ke meja. Jawaban Tania bahwa Boy tidak pulang ditambah dengan ekspresi wajah Tania yang tampak sedihlah yang membuatnya tersedak. Tania menyeret kursi makan di sebelah Lala kemudian duduk di sebelahnya pula.

            "Biasalah. Anak mama," jawabnya. Sebelum Tani bercerita lebih jauh, ibu mertuanya menelepon.

            "Tania, Kamu sedang apa?" suara ibu mertuanya terdengar oleh Lala melalui speaker yang dikeraskan dari gawai Tania.

            "Sedang menunggu Boy pulang, Ma. Tadi Widuri mengatakan Boy ada di sini," jawabnya sedikit tenang setelah mendengar ibu mertuanya meneleponnya.

            "Iya tuh. Sejak sore tadi sepulang kerja ia ke sini. Sepertinya capek banget,"suara ibu Boy masih lantang terdengar sambil menengok Boy yang seolah telah tertidur pulas,"Setelah mandi, makan, lalu ngobrol di kamar bersama papanya. Kini mereka berdua malah tertidur di kamarku."

            "Kangen masa kecil mungkin, Ma. Ndusel di antara mama dan papanya,"sahut Tania tertawa. Kesedihannya menepi sesaat.

            "Mungkin saja. Sejak dulu kalau ada masalah mesti tidur bertiga di kamarku. Yang sabar menghadapi lelaki ya, Tania. Nggak lelaki muda nggak lelaki tua, semua lelaki adalah bayi gede."

            Tania tertawa lagi sebelum ibu Boy bertanya secara bersungguh-sungguh,

            "Sebetulnya ada masalah apa sih Kalian?"

            "Nggak tahu. Ma. Tadi pagi saat berangkat kerja ia nggak terlihat kalau menyimpan marah padaku tuh." Tania keheranan karena ia tidak merasa melakukan kesalahan.

            "Di kampus Kamu punya teman lelaki?" ibu Boy bertanya lagi.

            "Tentu saja, Ma. Banyak. Teman sekelompok ada dua orang," jawab Tania dengan polosnya, belum menyadari apa sesungguhnya yang terjadi.

            "Memang di antara teman sekelompokmu, ada yang lebih dekat denganmu?" ibu Boy masih bertanya lagi dengan santai.

            Tania baru menyadari yang terjadi. Ia pun tertawa tanpa mengerti bahwa Boy sebenarnya cemburu pada Ade.

            "Ada, Ma. Namanya Ade. Tiga hari yang lalu mama nanya hal itu padaku. Sekarang nanya lagi. Apakah Boy marah, Ma? Mengapa ia nggak bertanya padaku?" jawab Tania sambil mengernyitkan kening. Ia merasa selama ini Boy tidak pernah membahas hal itu kepadanya. Ia bahkan akan bercerita mengenai ajakan Ade untuk berfoto bersama bulan depan jika isterinya datang menengoknya.

            "Ia kan lelaki, Tania. Mana mau menunjukkan kecemburuannya? Lain dengan kita kaum wanita. Kalau cemburu malah ditampakkan sekalian ngambek. Jika suami atau pacar sudah berlagak minta maaf, kita pun puas dan menyudahi ngambek. Lelaki mana mau begitu? Harga diri mereka terlalu tinggi untuk menunjukkan kecemburuan. Lalu nggak pulanglah solusinya."

            "Tapi, Ma,"sela Tania,"Boy mana tahu kalau tidak kuberitahu...

            "Itu artinya, ada orang lain yang memberitahu. Yang memata-matai kedekatan Kalian."

            "Siapa kira-kira? Yang tahu masalah Ade hanya teman sekelompok kami." Tania mencoba mengingat wajah teman sekelompoknya satu per satu.

            "Boy pun tahu hal itu. ia menganggap Ade terlalu buru-buru melibatkan Kamu dalam masalahnya. Masalah yang diciptakan sendiri seharusnya ia bisa mengatasi sendiri, tanpa melibatkan Kamu. Bahkan kemarin diajari Widuri cara menangkis orang yang baper," suara Ibu Boy terdengar menahan tawa.

            "Hah, ada caranya, Ma?"tania bertanya," Bagaimana caranya? Nanti akan kusampaikan pada Ade."

            "Caranya? Dimintai pulsa katanya. Kalau mau rutin ngirim pulsa berarti ia cinta."

            "Wah...wah...janganlah. Si cewek masih belum kerja Ma. Malah dimintai pulsa. Gimana sih? Hehehe." Tania tertawa geli membayangkan ide Widuri yang tak akan disampaikan kepada Ade.

            Di sebelahnya ada Lala. Ia tiba-tiba teringat Randy, kakaknya yang sering meminta uang pulsa kepada Lala. Semula uang pulsa, lalu uang bensin, berlanjut uang makan. Semuanya berdalih pinjam tapi tak dikembalikan. Sungguh, ia belum kenal betul karakter Ade yang sesungguhnya. Selugu Boy ataukah sejahil Randy? Hidupnya terasakan dikelilingi tiga lelaki dengan karakter berbeda.

            "Tapi mengapa Boy segitunya marah, Ma?" Tania bertanya lagi dengan sangat keheranan.

Ia memberi isyarat agar Lala membatalkan niatnya untuk pulang tatkala melihat Lala berdiri dari kursi kemudian melangkah menuju kamar mandi.

            "Ia secara rutin menerima kiriman foto kedekatan Kalian?"

            "Hah? Dekat bagaimana? Sebagai teman sekelompok, kami memang dekat."

            "Sering ke kantin berdua?"

            "Iya, Ma. Kalau lagi ingin makan dan kebetulan aku tidak bawa bekal."

            "Ade cerita masalahnya? Jangan-jangan ia menggiringmu untuk selingkuh dengannya?"

            "Mama, percayalah.Tentu tidak. Ia malah menghindari ajakan untuk selingkuh, mengapa malah menggiringku selingkuh?"

            "Barangkali. Kan ia lagi jauh dari isterinya, sedangkan gadis lulusan S1 itu juga jauh darinya. Wanita paling dekat dengannya saat ini kan Kamu. Tania, Kamu harus waspada."

            "Mama. Ade tidak begitu orangnya. Ia lelaki yang setia pada isteri."

            "Tapi isterinya kan jauh dan yang paling dekat dengannya saat ini kan Kamu."

            "Engak juga Ma. Di kantornya juga banyak teman wanita, Ma. Malah lebih banyak wanitanya daripada lelakinya. Walaupun mereka sibuk di bidang teknologi informasi. Tapi cewek-ceweknya cantik-cantik Ma."

            Ibu Boy sedikit tenang mendengar jawaban Tania. Walaupun demikian ia berpesan agar mereka tidak terlalu dekat karena ada orang yang memata-matai. Sosok yang belum jelas mata-mata itu musuh siapa dan bekerja untuk siapa? Semuanya masih serba gelap baginya.

            "Duh, suamiku ngambek deh, Mbak," ia menyampaikan hal yang didengarnya kepada Lala walaupun Lala pun bisa mendengarkan percakapan mereka.

            "Padahal aku sayang banget sama suamiku. Coba ia nggak melarang aku kerja, tentu aku tetap bekerja. Aku nggak tega makan uang hasil kerja kerasnya yang diperoleh dengan bertaruh nyawa," kata Tania dengan ekspresi serius.

            "Bekerja bertaruh nyawa? Sehingga Kamu nggak tega membayangkan bergantung kepada uangnya? Lalu ingin bekerja tapi dilarang? Memang suamimu sopir?" Lala menjawab dengan ekspresi tak kalah serius.

            "Nggak selalu begitu. Namanya kerja kan bertaruh nyawa, terlebih jika suamiku kerjanya bagus lalu dipromosikan naik jabatan. Tentu ada saja yang ingin menjegal. Apakah itu bukan bertaruh nyawa? Tegakah aku membayangkan menikmati uangnya dengan hanya ongkang-ongkang kaki? Tapi ia melarangku memenuhi panggilan kelulusan tes PNS hanya karena ditempatkan di lain provinsi. Saat aku jenuh hanya ongkang-ongkang kaki, aku disuruhnya kuliah. Kini ia malah cemburu pada Ade. Hmm..."

            "Hmm...tapi Kamu jauh lebih beruntung dari nasibku kan? Abangmu itu malah tega memintai uangku, padahal aku wanita dengan postur lebih kecil darinya pula. Ia selalu minta dan minta walau berdalih pinjam. Sedangkan suamimu memenuhi semua kebutuhanmu. Kamu diminta hanya ongkang-ongkang kaki kenapa malah keberatan? Sedangkan Randy mungkin malah senang jika kuminta demikian. Bahkan belum kusuruh sudah ongkang-ongkang kaki si Randy tuh. Hidup ini memang aneh."

            "Aku kuliah pakai uangnya, tapi aku juga diam-diam jualan online lho. Boy nggak tahu. Kalau tahu tentu dilarang. Aku tawarkan contoh daster dan baju-baju untuk ibu-ibu di kampus. Lumayan laris lho,"pamer Tania. (bersambung)

           

               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun