Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (10)

15 Juli 2020   08:19 Diperbarui: 15 Juli 2020   08:23 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Itu karena papamu masih berpikiran tradisional. Masih patriarkis, lelakilah yang harus mencari nafkah. Aku nggak akan membiarkan Kamu bernasib seperti papamu, yang berjuang lama untuk membayar cicilan KPR. Anakku harus berharga di mata lelaki. Nanti kalau Tania sudah dapat Kaujinakkan, menjelang pernikahan, akan ada rumah baru untuk Kalian."

"Wah, jadi nggak nyaman nih Oom. Bukankah aku juga bekerja nantinya? Aku kan juga ingin bisa membeli rumah untuk keluargaku."

"Jika Kalian bisa saling suka tanpa tendensi ke arah materi, anggap saja pemberianku itu untuk menyenangkan Tania. Ia perempuan. Semua perempuan sama saja. Ingin segera memiliki segalanya begitu memutuskan menikah. Jika hal itu bisa diperoleh secepatnya, entah dari orangtuanya, suaminya, atau upayanya sendiri, baguslah itu."

"Saya sih suka sama dia. Ulah cueknya malah menantang naluri saya sebagai lelaki untuk semakin penasaran. Andaikan kelak ia pun suka pada saya, berarti kami harus menikah muda nih Oom."

"Umur kan hanya angka. Umur akan tua dengan sendirinya tanpa diupayakan. Tapi kematangan mental dan kedewasaan harus dipersiapkan. Jika Kamu merasa sudah siap dan dewasa untuk menikah, mengapa tidak? Tapi...

"Tapi, Kamu harus ada penghasilan dululah, Boy. Bekerja pada era milenial ini kan nggak harus ngantor. Asalkan Kamu ada penghasilan yang halal untuk menghidupi keluarga, baiklah itu."

"Tentulah Oom. Kalau urusan itu saya sudah memikirkan sejak awal kuliah. Apalagi saya anak sulung. Masih ada dua orang adik yang juga harus saya bantu untuk mandiri. Kasihan papa. Sama sekali tidak berbakat bisnis seperti Oom. Lucunya, Papa tetap melarang mama membantu mencari nafkah di luar rumah, padahal mama orangnya pekerja keras. Setiap hari membuat kue-kue kering yang dititipkan di toko-toko dan ditawarkan online. 

Saya nggak tega membiarkan mama terus-terusan begitu, sedangkan papa bukannya pemalas, tapi gampang banget putus asa jika gagal mengais rezeki. Saya ini anak, tapi terpaksa berpikir dewasa menghadapi kondisi psikologis papa. Mengais rezeki nggak mahir tapi isteri bekerja di luar rumah pun keberatan." (bersambung)

        NB Novel bersambung dari Senin sampai Jumat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun