Jalanan tidak pernah sepi apalagi pada siang menjelang pukul 12 00. Beberapa truk tampak melaju di jalanan dengan muatan penuh. Sementara itu, satu dua motor ada yang dengan santainya menyalip dari kiri. Pemandangan yang kerap menyulut kengerian.
"Mengapa sih ngeri segala? Mamanya Tania dulu juga langsung mau. Ada saja alasannya dalam memburuku. Katanya aku tampanlah, aku beruntung jika memilih dirinyalah, akhirnya aku memilihnya."
"Karena Oom diburukah?" Boy penasaran juga akhirnya.
"Iya. Saat itu aku lagi sibuk mengais rezeki, nggak punya waktu untuk memburu perempuan. Ina, mamanya Tania itu yang rajin merayuku. Mengirimi surat-surat cinta dengan kertas warna-warni dan wangi."
"Selain itu, karena bu Ina cantik."
Pak Wira tertawa menepuk bahu Boy,
"Tahu apa Kamu tentang kata cantik, Boy?" sambil kembali menepuk bahu Boy, "Kita ini kan lelaki. Sangat jauh berbeda dalam memaknai kecantikan dengan para perempuan. Kiblat kecantikan bagi kaum perempuan adalah tren mode. Dulu, wanita cantik itu yang gaya busana dan rambutnya seperti Marilyn Monroe. Lalu berubah tinggi kurus seperti Twiggy. Kini mereka lagi suka pada gaya Korea. Potongan rambutnya, busananya, kalau bisa akan meniru gaya itu."
"Tapi dulu semasa muda tante Ina tentu cantik."
"Justru saat itu Ina tidak dianggap cantik. Kecantikan pada masa mudaku justru wanita-wanita yang berkulit sawo, yang tampak manis dan anggun, juga keibuan seperti lagu Rano Karno "Kau yang Kusayang" yang ngetop kala itu. Gaya Ina yang agresif dan kulitnya putih memucat itu justru tidak cantik. Beberapa teman malah menggoda,'Kok memilih dia sih? Kulitnya putih pucat gitu. Memang enak?' Hehehe. Warna kulit yang era kini malah diburu wanita. Berapa banyak tawaran pemutih kulit bertebaran?"
"Tante Ina malah cantik dong, Oom. Kenapa Oom malah menduakannya?"
"Itu karakterku, Boy."