Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut

3 Juli 2020   06:01 Diperbarui: 3 Juli 2020   07:20 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ibunya tergabung dalam komunitas sosialita. Komunitas yang bagus sebetulnya karena dari sebutannya, berarti merupakan kelompok orang-orang yang berjiwa sosial. Akan, tetapi, jika niatnya juga untuk bersaing, tentu lain lagi. Maka, tidak mengherankan jika tampilan ibunya dalam keseharian pun tampak selalu mewah dan mahal agar bergengsi, kendati untuk itu harus mengorbankan uang SPP anaknya. Setiap kali merasa tersinggung, segebok ATM dan kartu kredit pun dikeluarkannya dari dompetnya yang bermerk buatan luar negeri.

ATM dan kartu kredit itu pun digelar satu per satu seperti kartu remi, kemudian diceritakan betapa kaya suaminya. Suaminya bekerja keras, dirinyalah yang menghabiskannya, ceritanya dengan kebanggaan. Jika sudah mengenang masa lalunya, ia pun bercerita sambil menatap kosong keluar jendela. Batinnya terluka, karena ia merasa dikhianati suaminya. Ia marah merasa telah diduakan, bahkan ditigakan, diempatkan, dilimakan, atau bisa jadi malah disepuluhkan.

Jika amarahnya sudah meledak, maka ia pun menghabiskan isi ATM dan berbelanja dengan memanfaatkan kartu kredit. Suaminya dengan rajin mengisi kartu-kartu tersebut tanpa banyak bertanya, serajin ia menyambangi para selingkuhannya. Semakin merasa dikhianati, semakin rajin pula sang nyonya menyibukkan diri dengan cara menghamburkan uang hasil kerja keras suaminya.

Akan tetapi, pada pertengkaran yang kesekian karena hobi selingkuh suaminya tak kunjung surut, malah terkesan semakin banyak saja jumlah wanita yang mengisi hari- harinya, sebanyak kucuran rezeki yang diperolehnya, sang nyonya pun pergi meninggalkan rumah suaminya. Ia pergi setelah menyembunyikan beberapa sertifikat tanah dan rumah beserta semua ATM yang baru saja diisi penuh oleh suaminya. Selain ATM pribadi, ATM suaminya pun dibawa serta. Bukan sekadar harta, kedua anaknya pun dibawanya pula.

Maka, mulailah sang nyonya mencoba peruntungan baru. Pengalaman berjuang di dunia bisnis bersama suaminya pun dicobanya. Akan tetapi, bekerja demi meraih kehidupan yang lebih baik dengan bekerja sekadar memperoleh uang demi menyambung hidup, maupun bekerja demi memuaskan segala keinginan, memang tidak sama. Jika suaminya dulu menanamkan prinsip ketat dalam hatinya, bahwa bekerja adalah meraih penghidupan yang lebih baik, disusul bekerja demi memenuhi kesenangan hidup, setelah memiliki penghidupan yang lebih baik, maka tidak demikian dengan sang nyonya.

Nyonya yang sudah terbiasa bermanja dengan bermandikan kemewahan dari hasil kerja suaminya semasa muda, bahkan semasa masih lajang, tentu tidak mudah menanamkan konsep seketat itu bagi dirinya. Baginya, bekerja adalah memenuhi kesenangan hidup. Maka, tidak ada perbaikan hidup yang diperolehnya dari hasil kerjanya. Semua uang yang diperolehnya, tidak ada yang tersisih untuk ditabung demi perbaikan kehidupan ke depan. Jika hari ini memperoleh keuntungan satu juta, uang itu juga akan segera licin tandas melayang meninggalkan isi dompetnya dengan cepat, seolah berlomba adu cepat untuk melesat dengan kecepatan cahaya. Yang tersisa hanya bekasnya, karena foto-foto saat penghamburan uang pasti bertebaran di media sosial diselingi kecantikannya yang memang tidak diragukan lagi, setara para model kosmetik.

Pemandangan yang tidak jarang dan tidak mengherankan si tuan putri adalah, ia pulang ke rumah dalam keadaan meja makan penuh makanan. Aneka buah, aneka lauk pauk, semua siap disantap dengan harga yang termasuk mahal. Isi almari ibunya pun demikian pula. Sepatu, tas, dompet, sandal, sepatu ala wedges sampai high heels pun aneka model pula. Semua bermerk dan menambah kecantikan sang ibu yang memang dasarnya cantik.  Jika hak-haknya sedemikian cepat terpenuhi, lain halnya dengan aneka kewajiban.

Semua kewajiban diabaikan seolah hal yang terlupakan. Hanya rekening listrik saja yang rajin dibayar tepat waktu karena sang ibu sangat takut akan kegelapan. PLN yang memberlakukan pemutusan saluran listrik bagi yang melalaikan kewajiban membayar, membuatnya memaksa diri untuk segera membayar tagihan rekening tersebut. Akan halnya SPP anaknya, baginya bukan hal yang penting banget untuk dikenang. Jangankan SPP, uang saku harian anak-anaknya kerap seolah dilupakannya. Jika si anak lupa meminta uang saku pada malam harinya, alamat si anak akan mencari tumpangan. Si tuan putri menumpang temannya sedangkan kakak lelakinya akan menyetop truk untuk memperoleh tumpangan gratis menuju sekolah.

Jalan hidupnya memang ironis. Jalan hidup yang membuatnya merasa dipermalukan dan akhirnya membuatnya membenci kecantikan. Kecantikan dianggapnya merupakan sebuah bencana bagi wanita, bukan karunia. Mengapa? Karena dengan adanya kecantikan, wanita menjadi bermalasan dan tidak mau sedikit bersusah payah memutar otak untuk berjuang meraih kehidupan lebih baik. Kecantikan tersebut sudah membuat kaum lelaki terhipnotis untuk memanjakannya tanpa lagi membuat si cantik berjuang untuk berpikir keras. Perjuangan lelaki dalam meraih kehidupan yang layak, bagi ibunya seolah memang layak dinikmati oleh si cantik, sehingga si cantik tidak harus bersusah payah untuk berjuang demi anak-anaknya. SPP pun seringkali terlupakan. Jika sudah demikian, anak-anak tersebut meminta ayahnya yang tanpa banyak kata mentransfer kembali hak anaknya yang sebetulnya telah dikirimkan melalui ibunya.

Maka, dalam keseharian, ia lebih suka tampil tomboy. Rambut disisir semua ke belakang dan dikuncir sekenanya. Akan tetapi, ia memang mewarisi kecantikan ibunya. Kening yang memuat lekuk bak angka tiga, membuatnya tampak indah tatkala seluruh rambut tebalnya ditarik ke belakang. Belum lagi bulu-bulu halus yang tumbuh melebat bak poni-poni yang luruh berjuntaian tak beraturan menemani alis tebalnya yang tumbuh alami. Jadilah, wajahnya menjadi mirip manekin Jepang yang rambutnya pun disisir semuanya ke belakang kemudian disanggul. Walaupun rambutnya tidak disanggul tapi dikuncir, ia masih  tampak cantik.

Dengan keindahan bentuk kening yang tidak nonong serta berlekuk bak angka tiga, alis lebat, bulu mata lentik menaungi matamya yang tajam dengan pupil berwarna hitam kecoklatan, hidung meruncing, bibirnya pun terlihat sensual, serta masih ditemani dengan warna kulit yang langsat, tentu bukan hal yang sulit baginya jika ingin bermanja kepada teman-temannya kaum lelaki. Akan tetapi, ia tidak menyukai pemanjaan itu. Penampilannya yang tomboy yang dimaksudkan menyembunyikan lekuk keseksian tubuhnya, tidak juga menyurutkan beberapa lelaki yang ingin menggodanya bahkan memanjakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun