Di kampungku, di ujung kabupaten, keramahan adalah semacam "mata uang" sosial. Setiap pertemuan di jalan adalah lomba tak resmi: siapa yang lebih dulu menyapa. Hadiahnya adalah kehangatan yang meletup bagai bara di dada.
Bahkan pada orang asing, warga kampung bisa menunjukkan kehangatan yang sama. Egalitarianisme dalam bentuk paling sederhana---tak peduli siapa yang lewat, entah tetangga dekat atau pendatang baru, semua disapa dengan nada ramah.
"Pagi, Mang!" "Mangga, Mak!"---sapaan itu meluncur deras seperti aliran irigasi di musim hujan. Pada beberapa momentum, malah kerap terjadi "insiden" tabrakan sapa. Dua mulut membuka pada detik yang sama, sapaan pun bertubrukan di udara. Untungnya, tak pernah ada korban. Malah sering jadi bahan cerita berulang.
Salah satunya cerita berdasarkan insiden trabrakan sapa antara Mang Dudung dan Mak Rasinah.
Suatu pagi, selepas tak ada lagi kokok ayam tapi embun masih bergayut di daun,
Mang Dudung bergegas meneguk sisa kopi di cangkirnya lalu melangkah keluar. Di rumah yang berjarak lima atap darinya, Mak Rasinah meninggalkan aroma kayu bakar di dapur dan bersiap menuju pasar. Mereka bertemu di tikungan kecil---dan, seperti biasa, tabrakan sapa pun terjadi.
Mang Dudung: "Pa---"
 Ema Rasinah: "Pa---"
Suara mereka bertabrakan di udara. Keduanya terhenti, bingung siapa yang harus melanjutkan.
 Mang Dudung menggaruk kepala, Mak Rasinah membetulkan selendang keranang belanjanya.
Mang Dudung: "Eh... saya tadi mau bilang 'pagi'."
 Ema Rasinah: "Lho, saya juga...."
Lalu keduanya malah tertawa, sambil saling mengulang "pagi" tiga kali, seperti radio yang sinyalnya tersendat: "Pagi! Pagi... pagi."
Namun, entah sejak kapan, tradisi itu mulai pudar. Sapaan yang dulu mengalir kini seperti sungai di musim kemarau: kering, tersendat, bahkan hilang. Orang-orang kini lebih sering menunggu disapa ketimbang berinisiatif menyapa duluan.