Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kita Kehilangan Gairah terhadap Sesuatu Setelah Kita Mendapatkan Penghargaan?

8 Juni 2021   08:38 Diperbarui: 25 Juni 2021   11:36 2074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi Memasak | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Pernahkah kamu mempunyai satu hobi, misalnya memasak dan kemudian kamu mulai membagikan hasil masakan kamu kepada teman dan keluarga sebagai hadiah, dan beberapa di antaranya menyarankan agar kamu mulai menjualnya. Pernah?

Kemudian kamu mulai berpikir itu mungkin bukan ide yang buruk untuk menghasilkan uang tambahan, apalagi kamu memang hobi memasak.

Lantas, kamu membuat toko online dan memutuskan untuk memberikan harga masakan kamu dan order pun mulai berdatangan.

Namun, setelah sekian lama kamu merasa bahwa memasak bukan lagi satu hal yang menyenangkan. Hobi memasak kamu yang dulu terasa sangat kamu nikmati sekarang hanyalah sekelumit aktivitas biasa saja.

Atau pernahkah kamu mencoba hal baru dan kemudian setelah mendapatkan penghargaan dari hal baru tersebut, kamu merasa bosan dan tidak ada gairah untuk mengerjakannya lagi?

Saya pernah. Begini ceritanya, hobi saya adalah membaca dan sejak masih di sekolah dahulu, saya memang senang sekali mengoleksi dan menyusun buku buku tersebut.

Sampai pada suatu saat, impian saya untuk mempunyai perpustakaan pribadi pun tercapai. Namun, ketika saya sampai ke titik tersebut, saya merasa kehilangan sesuatu yang sebenarnya adalah alasan utama saya mencintai buku.

Saya mencintai ketidakteraturan buku-buku tersebut. Saya suka bau wangi kertas-kertas buku yang berserakan setelah saya baca dan corat-coret.

Ketika semua itu menghilang di dalam keteraturan perpustakaan pribadi, gairah saya juga ikut menghilang.

Kalau kamu pernah mengalami hal-hal di atas atau seperti yang saya alami, di dalam behavioral science hal ini disebut dengan Overjustification Effect. 

Satu fenomena yang menyebabkan ketika kamu mendapatkan penghargaan untuk hal-hal yang kamu sukai, keinginan kamu untuk melakukan lagi hal tersebut terkadang berkurang.

Apa Itu Overjustification Effect?

Dari contoh-contoh diatas, kita dapat simpulkan bahwa overjustification effect adalah pembuktian yang berlebihan dari otak kita, yang membuat otak kurang berminat lagi untuk mengambil bagian dalam aktivitas yang biasa kita nikmati, ketika ditawarkan stimulus eksternal seperti uang atau hadiah.

Semangat dan gairah kita yang sebelumnya berapi-api mengejar hal tersebut tapi ketika kita sudah berhasil, semuanya terasa biasa saja.

Padahal, proses kita melakukan dan mengejar hal-hal tersebut luar biasa usahanya. Ketika sudah berada di podium, otak kita mengirimkan sinyal "ah, biasa saja itu."

Terkadang kita tidak sadar overjustification effect ini sering sekali terjadi. Kita anggap wajar karena kita sudah diatas podium.

Overjustification effect adalah satu fenomena kognitif yang sulit dihindarkan. Overjustification effect bisa menyebabkan kita kehilangan passion dari hal yang selama ini justru kita kejar dan kita anggap sebagai tujuan.

Kehilangan passion tersebut bisa disebabkan karena kita sudah menerima penghargaan, dalam bentuk apapun, kemudian otak kita mengirimkan sinyal bias penghargaan tersebut adalah sebagai titik akhir. 

Padahal, seharusnya penghargaan tersebut menjadi titik pacu kita berikutnya. Overjustification effect juga adalah landasan utama peribahasa terkenal "uang tidak bisa membeli kebahagiaan."

Tapi, tanpa uang apakah kebahagiaan bisa terbeli? Begitu katanya.

Uang Tidak Bisa Membeli Kebahagiaan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Uang Tidak Bisa Membeli Kebahagiaan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Kerja Overjustification Effect Ini?

Overjustification effect ini adalah salah satu alasan di balik mengapa kita sering sekali mengeluh pekerjaan kita, padahal kita merasa passion kita ada di pekerjaan tersebut.

Bahkan ketika kita dibayar dengan sangat pantas pun, kita tetap mengeluh. Hal ini terjadi karena otak kita terpapar overjustification effect ini.

Otak kita mengirimkan sinyal untuk menghilangkan passion yang tadinya membara menjadi melempem. 

Kenapa bisa terjadi? Alasannya adalah overjustification effect ini membuat kita mengaitkan gaji kita sebagai alasan utama kita melakukan pekerjaan tersebut.

Kita sudah kehilangan passion dan digantikan uang sebagai alasan utama. Kita lupa bahwa alasan awal dulu kita bekerja keras ketika masih menjadi fresh graduate kemudian naik ke level supervisor, manager, dan bahkan head adalah karena kita cinta pekerjaan kita.

Overjustification effect membuat kita terlena bahwa dulu kita begitu menikmati pekerjaan kita. Betapa dahulu kita bersedia lembur bahkan kerja hingga larut malam karena satu alasan, yaitu passion.

Lantas bagaimana bisa terjadi overjustification effect ini? 

Mari kita berlogika untuk menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Kita ambil saja contoh membuat masakan di atas, ketika saya, misalnya pada awalnya memang senang memasak dan senang jika dipuji masakan saya enak.

Kemudian, saya mencoba menggantikan rasa senang dan pujian tersebut dalam bentuk uang, maka saya akan lupa bahwa sebenarnya penghargaan terbesar bagi saya adalah kegembiraan ketika memasak itu sendiri. 

Saya lupa bahwa penghargaan eksternal seperti order dan uang tersebut tidak akan pernah bisa menggantikan penghargaan atas nikmatnya saya memasak dan mendapat pujian atas hasil masakan saya.

Itu adalah logika pertama. Logika kedua untuk menjelaskan overjustification effect adalah bahwa ketika daya tarik dari luar dalam bentuk tersebut disodorkan ke diri kita, otak kita menjadi bias dengan menjadi percaya bahwa daya tarik dari luar tersebut adalah satu-satunya alasan kita melakukan suatu aktivitas.

Saya sendiri pernah terjebak dalam overjustification effect ini. Di salah satu titik perjalanan hidup saya, pernah di satu masa saya percaya bahwa semua hal yang saya lakukan adalah demi uang.

Padahal, pada kenyataannya saya tidak bisa membeli semuanya dengan uang. Saya dan kita semua sebagai manusia, memang butuh penghargaan atas apa yang kita lakukan. Tapi bukan berarti kita melupakan alasan kenapa kita melakukan hal tersebut.

Sama halnya dengan saat ini misalnya, saya diberikan kehormatan dan penghargaan dari tim editor Kompasiana dalam bentuk artikel saya menjadi artikel utama.

Lantas apakah saya kehilangan gairah menulis? Tentu tidak, karena saya sudah belajar untuk lepas dari jebakan overjustification effect ini, membuat saya semakin bersemangat untuk menulis dan berbagi.

Bukan hanya saja karena penghargaan tersebut, walaupun tidak bisa saya pungkiri itu merupakan daya tarik magis bagi saya, namun yang terpenting adalah saya tidak mau lupa alasan saya menulis.

Saya tidak mau lupa kenikmatan ketika setelah selesai jam kerja kantor untuk menulis dan menuangkan hasil eksplorasi pemikiran ke dalam satu bentuk alur dan argumentasi yang menyenangkan bagi saya.

Sungguh, saya tidak ingin lupa akan rasa tersebut!

Kebahagian Hakiki | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Kebahagian Hakiki | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Kita menghadapi Efek Negatif Dari Overjustification Effect Ini?

Sebenarnya dengan kita menyadari dan mengingat alasan utama kita melakukan atau mengejar sesuatu hal, bisa membantu kita untuk mempertahankan passion dan hobi kita sebagai kegiatan yang kita lakukan karena kita menikmati hal tersebut.

Namun, saya sadar bahwa memang sulit. Apalagi ketika ada daya tarik dari luar yang sifatnya tangible, seperti uang. Rasa-rasanya kebanyakan dari kita sangat sulit untuk menolak overjustification effect ini terutama dalam bentuk uang.

Kita memang butuh uang untuk membayar segala tagihan-tagihan dan biaya hidup. Kita perlu uang sebagai modal kita menikmati hobi tersebut.

Apalagi untuk orang-orang yang mencintai hal-hal yang hanya bisa terlaksana dengan uang. Otak kita sudah lama terkungkung dalam batasan meyakini penghargaan dalam bentuk uang sebagai cara yang baik untuk memacu kita lari mengejar tujuan.

Sebagai orang yang pernah terjebak dalam overjustification effect, ada beberapa cara yang bisa sarankan untuk setidaknya mengurangi dampak efek ini, sebagai berikut:

1. Ketika kita akan mengejar sesuatu hal atau meraih passion kita, jangan berlebihan dalam membuat ekspektasi
Hal ini penting karena kebanyakan saya melihat orang-orang yang terjebak dalam overjustification effect adalah orang-orang yang berlebihan.

Berlebihan dalam ekspektasi passion mereka. Ketika pada satu titik mereka berhasil meraih passion tersebut, di situlah mereka terjebak di overjustification effect.

Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu ekspektasi. Yang ingin saya katakan adalah, aturlah ekspektasi kita sesuai dengan tahapan-tahapan yang wajar dan tidak terburu-buru.

Ini akan membantu ketika kita mencapai puncak ada proses yang dilalui, ada kenikmatan tersendiri ketika proses mencapai passion tersebut kita nikmati dan resapi.

2. Fokus kepada alasan utama kita melakukan hal tersebut
Nah, ini yang harus saya akui memang sulit. Apalagi ketika daya tarik dari luar seperti penghargaan, terutama dalam bentuk uang, akan bisa mengalihkan fokus otak kita.

Tapi, siapa sih yang tidak suka uang? Uang memang tidak membeli kebahagiaan, tapi tanpa uang tidak ada kebahagiaan. Begitu katanya.

Saya mungkin termasuk orang yang percaya bahwa ketika kita fokus kepada alasan utama, maka uang dan penghargaan lain akan datang dengan sendirinya.

Yang terpenting adalah kita harus sadar bahwa satu podium bukan berarti itu akan menjadi podium terakhir!

Mencapai Tujuan | Foto oleh RODNAE Productions dari Pexels
Mencapai Tujuan | Foto oleh RODNAE Productions dari Pexels
Kesimpulan

Uang, ketenaran, dan prestise, semua itu tampaknya mendorong kita untuk berlari lebih jauh dan lebih jauh lagi mengejar tujuan, untuk belajar lebih lama dan lebih lama lagi, dan untuk bekerja lebih keras dan lebih keras lagi.

Kita harus sadar bahwa penghargaan dan uang tidak bisa memacu untuk bekerja lebih keras kecuali jika dikaitkan dengan seberapa baik kita melakukan tugas.

Penghargaan atau uang saja tidak akan kekal membantu kita mencapai semua tujuan, karena kita akan terjebak hubungan transaksional. Kita hanya akan merasa bahwa kita hanya dibayar atau bahkan dipaksa.

Kita harus cerdas memacu diri sendiri berdasarkan daya gedor intrinsik dari dalam diri dan bukan semata-mata untuk uang.

Terakhir, temukanlah alasan sesungguhnya dari dalam diri kita sendiri dan pertahankan itu. Kelak kita akan sangat berterimakasih, betapa dalam perjalanan hidup ini kita tidak terlena mengambil seberapa banyak kembang gula, namun kita lupa menikmati perjalanan itu sendiri.

Salam Hangat.

Referensi: Deci, E. L. (1971). Effects of externally mediated rewards on intrinsic motivation. Journal of Personality and Social Psychology, Boggiano, A. K., & Ruble, D. N. (1979). Competence and the overjustification effect: A developmental study. Journal of personality and social psychology, 37(9), 1462. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun