Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Kenangan Cinta, Brown Latte

1 November 2021   13:40 Diperbarui: 1 November 2021   13:58 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Brown Latte | Foto Pexels.com/Nanamarcecilia

Brown Latte selalu dipesannya setiap malam, seakan menemani wanita tersebut menatap jendela bening yang menyeruakkan gelapnya malam.

Ia menanti kedatangan kekasihnya yang tidak akan pernah datang lagi.

"Lupakanlah", itulah saran yang akan dikatakan orang.

"Relakan saja, yang pergi tidak akan pernah kembali", pasti akan menjadi saran orang yang hanya tahu secuil dari kisahnya.

Kalau aku menuruti logika, mungkin aku akan menyarankan hal yang sama. Merelakan kekasihnya yang sudah pergi.

Akan tetapi, naluri wanitaku lebih tinggi, aku berempati pada wanita tersebut.

Karena itu, aku membiarkan dirinya tiap malam datang kesini, memesan minuman yang sama setiap harinya, untuk mengenang kehadiran kekasihnya, seakan pria yang dicintainya akan menemuinya.

Biarlah orang berkata apa tentang wanita tersebut, mereka tidak pernah tahu, terakhir ia bertemu dengan pria yang dicintainya adalah momen yang mestinya membuat ia menangis terharu, karena bahagia.

***

Sebulan yang lalu...

"Sis, Kayla tanggal 20 ulang tahun, gue pengen lamar Kayla, lu bantuin bikin surprise, dah", kata Jordi melalui telepon.

"Woke. Lu mau konsepnya kayak apa? Desainnya jangan ribet ya, takut keteteran nanti", sahutku.

"Gak ribet. Cuman bantu terima kue dari store-nya. Tar dianter. Terus nanti pas gue ma dia makan dan minum, lu tolong bawain kuenya ya. Sama pasangin lagu yang romantis,dong, apa kek. Minuman jangan lupa, Brown Latte", jawabnya.

"Kagak mau bikin sendiri?", godaku.

"Mepet waktunya, gue mesti ambil cincin dulu", sahut Jordi. Setelah mengucapkan terima kasih, ia langsung menutup teleponnya.

Aku langsung cengar-cengir sendiri.

Tidak menyangka cafe ini menjadi saksi perjalanan kisah cinta dua sejoli, dari awal Jordi dan Kayla berkenalan, hingga akan berlanjut ke jenjang hidup berikutnya.

Level hubungan mereka macam roket, menapaki keseriusan dengan kecepatan penuh.

Brown Latte selalu menjadi menu yang mereka pesan. Tidak pernah absen sekalipun kalau keduanya datang kemari.

Hampir semua langgananku, yang juga sudah menjadi teman mereka, sudah tahu mereka berdua akan selalu memesan kopi latte yang rasa manisnya dilengkapi dengan brown sugar.

***

Enam bulan yang lalu...

"Bro, gue minta bantuan dong, ajarin gue bikin Brown Latte, tar gue bayar lebih dah, itung-itung kursus!" pinta Jordi kepada Awan, sang barista sekaligus kekasihku.

"Lu mau buka caf, Jor?", tanya Awan yang pastinya oke saja mengajarkan cara membuat minuman.

"Kagak, gue pengen pedekate sama si Kayla", Jordi mengakui tanpa tendeng aling-aling, mungkin sebagai jalan pintas agar Awan segera mengajarkannya.

Ah, memang ya kalau pria sedang dimabuk cinta, ada saja akalnya untuk mendekati perempuan yang disukainya, walau baru bertemu beberapa kali saja.

Tidak heran sebenarnya kalau Jordi sampai menyukai Kayla, aku sendiri, sebagai perempuan, juga terpesona melihatnya.

Tubuhnya tinggi semampai dan gerakan tubuhnya sangat anggun.

Wajahnya sangat enak dilihat, sorot matanya sangat teduh, membuat kita yang memandang merasa nyaman dan tenang.

Wawasannya pun luas, ngobrol dengannya, nyambung terus dan kita tidak pernah kehabisan topik. Bahkan Awan yang begitu pendiam saja, bisa uplek ngobrol dengannya.

Jordi pastinya merasakan getaran yang lebih dahsyat ketika melihat Kayla.

Cara pembuatan Brown Latte yang ingin dipelajari Jordi, bukan tanpa alasan, Kayla selalu memesan minuman tersebut sejak pertama kali datang ke sini, dan sampai sekarang tidak pernah berubah.

Cemilan saja yang masih ada variasinya, tapi itu pun hanya dua, bakpao ayam panggang dan dorayaki isi tausa.

Tapi asal kalian tahu, usaha Jordi untuk membuatkan Brown Latte hanya sampai Kayla menerimanya menjadi kekasih.

Selebihnya, yaa, tinggal bilang ke Awan, "Bro, Brown Latte ya, dua!".

Memang pria, segut pas PDKT saja.

***

"Kak, tahu gak kenapa aku sama Jordi selalu pesen Brown Latte?", tanya Kayla sambil menatap kosong minuman yang berada dihadapannya.

"Karena awal lu deket sama dia gara-gara Brown Latte?", tebakku, menemaninya mengenang Jordi yang tidak akan pernah datang menemuinya lagi.

"Salah satunya. Minuman ini, satu-satunya minuman manis yang bisa aku minum, Kak. Selebihnya, kesukaan kami sangat berbeda. Aku sukanya gak terlalu manis, Jordi demen banget yang manis, sampai kadang bikin gigi aku ngilu", kenangnya sembari tersenyum getir.

Air mata menetes dari mata kanan Kayla.

Aku hanya diam, memberikan jeda dirinya mengenang Jordi. Tapi tangan kananku bergerak memberikan tepukan lembut  diatas tangannya sebagai bentuk support.

"Dia seneng banget tau, Kak, di cafe ini. Katanya nyaman, mau kerja enak, mau ngobrol enak, mau kencan juga enak", lanjut Kayla.

Mereka memang hampir setiap malam datang ke cafe ini.

Dari yang saling tidak mengenal dengan langgananku lainnya, sampai akhirnya cafeku menjadi wadah komunitas bagi setiap pelangganku yang siap berbaur.

"Ah, itu alesan aja, supaya dia bisa ketemu elu", ceplosku, karena sejak bertemu Kayla lah, Jordi selalu mampir ke cafe.

Dan kalau Kayla belum tiba atau sesudah pulang dari cafe, yang diobrolin hanya tentang Kayla, sampai aku sempat mengira pengalaman hidup Jordi dari perut mamanya hingga hari terakhirnya, hanya terkotak dengan yang namanya Kayla.

Bahan obrolan lain benar-benar tidak disentuhnya.

"Oh ya?" tatapan kosong Kayla mulai terlihat sinarnya.

"Beneran, tuh tanya aja Kak Awan", jawabku.

Semburat merah muncul di pipinya, senyum pun mengembang.

Kutemani Kayla bernostalgia tentang kekasih yang dicintainya.

Ah, beruntung aku sudah menonton Hospital Playlist, dimana Ahn Jeong Won mengatakan pada Jang Gyeo Wool, kekasihnya, bahwa sang ibu pasien selalu datang ke rumah sakit, walau anaknya sudah tiada, itu karena ingin mengenang kehadiran anaknya melalui cerita dokter dan suster yang merawat.

Malam ini kami ngobrol panjang mengenang Jordi, yang telah kembali ke pangkuan sang Pencipta, karena sebuah kecelakaan.

***

Dua puluh hari yang lalu...

Hari itu kue sudah datang dan siap untuk ditancapkan lilin. Brown Latte juga sudah kusiapkan, dan sementara taruh dikulkas dulu. Supaya tidak ketahuan Kayla.

Kayla sudah datang dengan pakaian kerjanya. Ia cantik seperti biasanya, wajahnya dipulas dengan make up yang natural.

Rambutnya sedikit digelombangkan ujungnya, menambah daya tariknya.

Jordi belum datang juga, padahal ia janji jam 7 malam akan sampai di cafe.

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30, Jordi masih belum ketahuan batang hidungnya.

"Aneh, kok dia belum datang ya?", tanya Kayla pada kami.

"Coba ditelpon deh, Kay", usul Awan yang diam-diam sudah menelepon Jordi, tapi tidak juga diangkat.

Jordi tidak pernah datang terlambat, andai terlambat pasti biasanya dia memberi kabar.

Kulihat Kayla beberapa kali meneleponnya, tapi sama sekali tidak ada sahutan.

"Kay, coba lu ke rumahnya, deh", usulku melihat waktu sudah menunjukkan pukul 20.00.

"Iya, Kay, nanti kalau Jordi sampai sini, kita langsung kasih kabar", lanjut Awan.

"Kalau ternyata ada di rumah, kasih kabar ya, Kay", aku mengingatkan pada Kayla yang langsung mengambil tasnya dan beranjak keluar dari caf.

Seringnya mereka datang kemari, membuat hubungan kami tidak sekedar bisnis ataupun teman, melainkan persahabatan.

Kayla pun hanya mengangguk kecil, langsung masuk dan menyalakan mobilnya, menembus gelapnya malam. Dari bunyi decit mobilnya, sepertinya ia tancap gas.

***

Pukul 22.00...

"Kak, Jordi kecelakaan. Meninggal", notifikasi WhatsApp dari Kayla muncul diponselku. Aku terdiam menatapnya.

Shock.

"Turut berduka, Kay. Kuat ya. Dimana rumah dukanya, Kay?", balasku.

***

Dalam rumah duka, Kayla mengenakkan pakaian putih, wajahnya pucat pasi, dengan rambut yang awut-awutan. Aku tidak yakin ia sudah mandi.

Matanya menatap kosong ke arah peti, ia hanya terdiam dan sama sekali tidak bergerak, bahkan mengedip pun nyaris tidak dilakukan.

Ibu Jordi berada disamping peti, menangis sesunggukkan tiada henti. Selama aku dan Awan disana, sang ibu sempat pingsan beberapa kali.

Ayah Jordi selalu berada disamping sang istri, menjaganya, sekaligus menahan diri agar bisa menenangkan istrinya, yang masih kaget anaknya sudah tiada.

Adik Jordi sendiri melayani tamu yang melayat, tatapannya begitu sendu. Saat menceritakan kejadian detik-detik Jordi kehilangan nyawanya, sang adik seperti menahan napas sekaligus menahan diri untuk tidak sumpah serapah pada orang yang menabraknya.

"Sialan tu orang, Kak!", cerita adik Jordi sambil memaki.

Akhirnya, Joshua, adik Jordi yang juga mengenal kami, bisa leluasa mengeluarkan unek-uneknya.

"Kalau dari saksi orang yang ngeliat, tu orang langsung keluar gang, lawan arus sambil ngebut, udah gitu lampu motornya kagak dinyalain. Kak Jordi juga pakai kecepatan tinggi. Tubrukan langsung, mental dua-duanya."

"Terus, tu orang gimana?", tanyaku.

"Luka-luka doang. Hoki banget, emak bapaknya malah marah-marah bilang Kak Jordi yang salah! Jelas-jelas para saksi aja pada bilang anaknya dia yang maen ngeloyor keluar dari gang!", nada Joshua semakin tinggi.

"Anaknya emang usia berapa?", tanya Awan.

"Lima belasan kalau gak salah, masih kecil! Belum layak bawa motor! Mana gak pake helm lagi!"

"Hebat ya orang tuanya, bisa kasih anaknya motor", sarkas temannya yang turut mendengarkan.

Rasa emosi menjalar dihatiku.

Terkadang aku miris pada kenyataan hidup. Yang jelas salah hanya luka, dan dibela mati-matian pula oleh orang tuanya yang pastinya sadar anaknya telah melakukan kesalahan.

Tidak mau larut dalam emosi, karena aku tahu keluarga Jordi tidak butuh dibuat emosi lebih lanjut, maka aku pun pamit dari grup obrolan, dan mendekati Kayla yang masih sendirian.

Aku sodorkan Brown Latte, minuman kesukaan mereka berdua.

"Minum dikit, Kay. Lu pasti gak selera makan. Seengganya lu mesti ada tenaga", kataku sembari memberi botol berbentuk bohlam padanya.

"Makasih banyak, Kak", ia meneguknya sekali.

"Kalau mau cerita, dateng aja ke cafe, atau WhatsApp aja, jam berapa pun", hiburku.

Kayla menatapku, kemudian memperlihatkan sekotak cincin.

"Ada dikantong jaketnya, Kak", Kayla berucap dengan lemah, nadanya setengah bertanya.

"Dia mau ngelamar lu, Kay. Waktu itu kita udah siapin surprise ulang tahun, sekaligus lamaran," ucapku semakin pelan, rasanya tidak tega menyelesaikan kalimat tersebut.

Kayla menatapku lama seakan menyerap dulu kalimat yang kusampaikan.

Tiba-tiba Kayla memelukku erat-erat. Tangisnya pun pecah, dan sangat pilu.

Aku lupa bagaimana suasana sekelilingku, namun aku mendengar ada beberapa orang yang turut menangis, termasuk aku sendiri.

***

"Aku gak ngerepotin kan, Kak, kalau datang kesini tiap hari?", tanya Kayla saat membayar pesanannya.

"Gak pa-pa, Kay. Dateng aja. Dengan senang hati kok kita temenin lu ngobrol, seharian disini juga gak masalah.", kataku sambil tersenyum.

"Anytime", sahut Awan yang sedang membuat minuman pesanan dari Go-Food.

Kayla pun berterima kasih dan pamit pulang, mataku mengikuti langkahnya, hingga masuk ke mobil.

Aku, Awan dan teman lainnya saja merasa sangat kehilangan, apalagi Kayla. Setidaknya disini Kayla masih bisa melampiaskan seluruh duka dan rasa kehilangannya, walau hanya dengan ditemani ngobrol, sembari meneguk Brown Latte, lambang cinta Jordi pada Kayla.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun