Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Terminal Lucidity: Saat Kesadaran Kembali Menyapa di Ujung Kehidupan

11 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 10 Oktober 2025   23:15 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi psikologi eksistensial, terminal lucidity mencerminkan momen di mana kesadaran manusia mencapai puncaknya --- bukan hanya dari sisi biologis, tetapi juga spiritual. Carl Jung pernah menulis bahwa menjelang kematian, jiwa manusia berusaha menemukan penyatuan antara ego dan diri sejati (Jung, 1961). Maka, kejernihan di akhir hayat bisa dilihat sebagai bentuk "rekonsiliasi batin" antara hidup dan mati.

Dalam tradisi keagamaan, fenomena ini sering dianggap sebagai tanda bahwa jiwa seseorang telah siap untuk pergi. Banyak keluarga mengatakan bahwa setelah momen kejernihan itu, mereka merasa lebih tenang karena orang yang dicintai telah "pamit dengan damai."

Sains Belum Menyerah

Walau misterius, para ilmuwan tidak berhenti meneliti. Beberapa rumah sakit kini mulai menggunakan alat EEG (elektroensefalogram) untuk merekam aktivitas otak pasien menjelang kematian. Tujuannya sederhana: menemukan pola ilmiah dari fenomena yang selama ini hanya diceritakan dari pengalaman subjektif.

Penelitian Nahm dan rekan-rekannya pada tahun 2021 menekankan pentingnya pendekatan lintas disiplin---antara neurologi, psikologi, dan studi spiritualitas---untuk memahami terminal lucidity secara utuh. Karena bisa jadi, jawabannya tidak hanya terletak di dalam otak, tetapi juga dalam makna kesadaran itu sendiri (Nahm, 2021).

Renungan di Ujung Kehidupan

Fenomena terminal lucidity mengajarkan bahwa hidup, betapapun rapuhnya tubuh manusia, tetap menyimpan kekuatan misterius di akhir perjalanan. Dalam hitungan jam, otak yang rusak bisa menjadi jernih, hati yang lemah bisa berbicara, dan hubungan yang sempat putus bisa terhubung kembali --- sebelum semuanya kembali hening.

Bagi dunia medis, fenomena ini adalah tantangan ilmiah. Namun bagi keluarga yang menyaksikannya, terminal lucidity adalah pelukan terakhir dari cinta yang tidak bisa dijelaskan oleh logika.

Mungkin di situlah letak keindahan sekaligus misterinya: bahwa di ujung kehidupan, kesadaran justru menampakkan wajah paling sejatinya --- tenang, jernih, dan penuh makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun