Bayangkan apabila ada seseorang yang telah lama terbaring lemah karena Alzheimer. Bertahun-tahun ia tak lagi mengenali anak-anaknya, tak bisa berbicara, bahkan tak lagi memberi respons pada panggilan nama. Namun, pada suatu sore yang hening, tiba-tiba ia membuka mata, tersenyum, dan menyebut nama anaknya dengan jelas. Ia berbicara seperti dulu---penuh kasih, penuh ingatan. Beberapa jam kemudian, ia tertidur, dan untuk selamanya tidak bangun lagi.
Â
Fenomena inilah yang oleh para ilmuwan disebut terminal lucidity, sebuah kejernihan pikiran yang datang sesaat sebelum kematian. Saya sendiri pernah menyaksikannya di keluarga sendiri dan sering juga dialami oleh beberapa keluarga dekat dan informasi dari teman saat menceritakan nya kepada saya. Hal tersebut membuat saya ingin mengetahui lebih dalam tentang fenomena terminal lucidity tersebut dalam kacamata sainsÂ
Kejernihan yang Muncul di Ambang Perpisahan
Terminal lucidity bukan sekadar cerita sentimental. Dalam dunia medis, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kembalinya kesadaran secara mendadak pada orang yang sebelumnya tidak sadar atau mengalami gangguan kognitif berat.Â
Fenomena ini bisa terjadi pada pasien Alzheimer, stroke, koma, bahkan gangguan mental kronis. Aneh tapi nyata, mereka tiba-tiba sadar, berbicara dengan lancar, dan tampak seperti "diri mereka yang dulu" --- hanya untuk meninggal dunia tak lama kemudian.
Psikiater Bruce Greyson dari University of Virginia dan peneliti Michael Nahm pertama kali mengkaji fenomena ini secara ilmiah pada tahun 2009. Dalam laporannya, mereka menemukan banyak kesamaan: kejernihan muncul menjelang kematian, terjadi spontan, dan sering kali disertai ketenangan luar biasa. (Nahm & Greyson, 2009).
Antara Medis dan Keajaiban
Secara medis, terminal lucidity masih menjadi misteri. Beberapa teori mencoba menjelaskan, namun belum ada yang benar-benar memuaskan. Salah satu dugaan adalah bahwa otak manusia mengalami lonjakan aktivitas listrik sesaat sebelum kematian. Gelombang gamma di otak, yang biasanya terkait dengan kesadaran tinggi, meningkat drastis pada menit-menit terakhir hidup seseorang (Borjigin et al., 2023).
Ada juga yang menduga bahwa menjelang akhir hayat, otak melepaskan neurotransmiter seperti dopamin dan endorfin dalam jumlah besar. Pelepasan zat ini bisa memberikan efek "kejernihan sesaat", seperti kilasan terakhir dari mesin biologis yang bekerja maksimal sebelum benar-benar berhenti.
Namun, bagi banyak keluarga yang menyaksikannya langsung, fenomena ini terasa lebih dari sekadar penjelasan kimiawi. Bagi mereka, kejernihan di akhir hidup itu seperti "hadiah terakhir" dari orang yang mereka cintai --- kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal dengan damai.
Cerita dari Ruang Perawatan
Dalam salah satu kisah yang didokumentasikan oleh Nahm (2012), seorang perempuan tua penderita Alzheimer yang tak bisa berbicara selama bertahun-tahun tiba-tiba memanggil nama anaknya dan berkata, "Kau sudah dewasa sekarang, Nak. Aku bangga padamu." Tak lama setelah itu, ia tertidur dan meninggal dunia malam itu juga. Begitu juga beberapa kasus yang mirip sama dialami oleh keluarga dan beberapa kisah keluarga teman saya
Peristiwa seperti ini membuat banyak dokter dan perawat di ruang paliatif percaya bahwa terminal lucidity bukan hal langka. Mereka menyaksikan sendiri pasien yang seolah "bangkit" sebentar, bicara, bahkan tertawa, sebelum akhirnya tenang untuk selamanya.
Makna Psikologis dan Spiritual
Bagi psikologi eksistensial, terminal lucidity mencerminkan momen di mana kesadaran manusia mencapai puncaknya --- bukan hanya dari sisi biologis, tetapi juga spiritual. Carl Jung pernah menulis bahwa menjelang kematian, jiwa manusia berusaha menemukan penyatuan antara ego dan diri sejati (Jung, 1961). Maka, kejernihan di akhir hayat bisa dilihat sebagai bentuk "rekonsiliasi batin" antara hidup dan mati.
Dalam tradisi keagamaan, fenomena ini sering dianggap sebagai tanda bahwa jiwa seseorang telah siap untuk pergi. Banyak keluarga mengatakan bahwa setelah momen kejernihan itu, mereka merasa lebih tenang karena orang yang dicintai telah "pamit dengan damai."
Sains Belum Menyerah
Walau misterius, para ilmuwan tidak berhenti meneliti. Beberapa rumah sakit kini mulai menggunakan alat EEG (elektroensefalogram) untuk merekam aktivitas otak pasien menjelang kematian. Tujuannya sederhana: menemukan pola ilmiah dari fenomena yang selama ini hanya diceritakan dari pengalaman subjektif.
Penelitian Nahm dan rekan-rekannya pada tahun 2021 menekankan pentingnya pendekatan lintas disiplin---antara neurologi, psikologi, dan studi spiritualitas---untuk memahami terminal lucidity secara utuh. Karena bisa jadi, jawabannya tidak hanya terletak di dalam otak, tetapi juga dalam makna kesadaran itu sendiri (Nahm, 2021).
Renungan di Ujung Kehidupan
Fenomena terminal lucidity mengajarkan bahwa hidup, betapapun rapuhnya tubuh manusia, tetap menyimpan kekuatan misterius di akhir perjalanan. Dalam hitungan jam, otak yang rusak bisa menjadi jernih, hati yang lemah bisa berbicara, dan hubungan yang sempat putus bisa terhubung kembali --- sebelum semuanya kembali hening.
Bagi dunia medis, fenomena ini adalah tantangan ilmiah. Namun bagi keluarga yang menyaksikannya, terminal lucidity adalah pelukan terakhir dari cinta yang tidak bisa dijelaskan oleh logika.
Mungkin di situlah letak keindahan sekaligus misterinya: bahwa di ujung kehidupan, kesadaran justru menampakkan wajah paling sejatinya --- tenang, jernih, dan penuh makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI