Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

"Sugar Coating" demi Jabatan Idaman, Wajar atau Justru Berbahaya?

6 Oktober 2025   08:22 Diperbarui: 6 Oktober 2025   08:33 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia kerja modern atau organisasi, keterampilan komunikasi menjadi salah satu kunci kesuksesan. Banyak orang percaya bahwa cara berbicara yang lembut, penuh sopan santun, dan mampu menyenangkan hati atasan adalah bentuk profesionalitas. Namun, ketika gaya komunikasi itu berubah menjadi "sugar coating", yaitu membungkus kebenaran dengan kata-kata manis demi kepentingan pribadi, muncul pertanyaan penting: apakah hal itu masih wajar, atau justru berbahaya bagi budaya organisasi?

Apa Itu Sugar Coating dalam Dunia Kerja

Istilah sugar coating berasal dari kata "coating" (lapisan) dan "sugar" (gula), yang berarti "melapisi dengan gula". Dalam konteks komunikasi, maknanya merujuk pada kebiasaan menyampaikan sesuatu dengan cara yang sangat lembut, bahkan sampai menutupi kebenaran agar terdengar menyenangkan.

Dalam praktik sehari-hari di kantor, sugar coating bisa terlihat dalam berbagai bentuk. 

Misalnya, seorang bawahan yang selalu memuji atasan secara berlebihan agar terlihat loyal, atau seseorang yang menahan kritik demi menjaga hubungan baik. Kadang, ini dilakukan bukan karena tidak berani, tapi karena ingin mendapat citra positif dan peluang promosi.

Sekilas, tindakan itu tampak wajar , siapa pun tentu ingin menjaga hubungan harmonis di tempat kerja. Tapi bila terlalu sering dilakukan, budaya kerja bisa berubah: dari jujur dan terbuka menjadi penuh kepura-puraan.

Manfaat Sugar Coating Jika Diterapkan Secara Bijak

Tidak semua sugar coating buruk. Dalam batas tertentu, gaya komunikasi yang halus memang memiliki beberapa manfaat.

Pertama, sugar coating membantu menghindari konflik. Tidak semua orang mampu menerima kritik secara langsung. Dengan memilih kata yang lembut, pesan bisa tersampaikan tanpa menyinggung perasaan. Ini penting terutama dalam lingkungan kerja yang beragam, di mana karakter setiap orang berbeda.

Kedua, komunikasi yang manis bisa menjaga keharmonisan tim. Kata-kata positif dan pujian yang tulus mampu meningkatkan semangat kerja. Suasana kantor yang penuh apresiasi biasanya lebih produktif daripada tempat yang dipenuhi nada negatif.

Ketiga, gaya berbicara yang halus juga mencerminkan kecerdasan emosional (emotional intelligence). Orang yang mampu mengatur nada bicara dan membaca situasi sosial biasanya lebih mudah membangun hubungan kerja jangka panjang.

Namun, manfaat-manfaat ini hanya berlaku jika sugar coating digunakan untuk niat baik bukan manipulasi.

Bahaya Sugar Coating demi Jabatan

Masalah muncul ketika sugar coating dijadikan alat untuk mencari jabatan, simpati, atau keuntungan pribadi. Ketika seseorang menyanjung atasan tanpa dasar, menutupi kesalahan agar terlihat sempurna, atau memuji hanya demi kepentingan karier, maka hal itu sudah masuk ke ranah ketidakjujuran profesional. Dampaknya bisa serius. 

Pertama, sugar coating yang berlebihan membuat komunikasi tidak autentik. Orang menjadi sulit membedakan antara pujian tulus dan rayuan palsu. Akibatnya, kepercayaan antarpegawai menurun.

Kedua, budaya ini bisa mengikis meritokrasi, sistem di mana promosi diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasi. Bila yang naik jabatan adalah mereka yang pandai berbasa-basi, bukan yang berprestasi, maka semangat kerja tim lain akan turun.

Ketiga, organisasi menjadi sulit berkembang. Kritik jujur dibutuhkan untuk memperbaiki sistem kerja. Tanpa keberanian menyampaikan fakta, pimpinan akan hidup dalam "gelembung manis" yang menipu, dan keputusan strategis bisa salah arah.

Pandangan Ideal: Jujur tapi Empatik

Budaya kerja yang sehat bukan berarti semua orang bebas bicara tanpa filter, melainkan mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang beradab. Kuncinya adalah keseimbangan antara kejujuran dan empati.

Seorang pegawai yang profesional harus bisa memberikan kritik secara konstruktif. Misalnya, bukan mengatakan "Ide ini buruk", tapi "Mungkin ada cara lain agar ide ini lebih efektif." Dengan begitu, pesan tetap tersampaikan tanpa merendahkan orang lain.

Pimpinan juga memiliki peran besar. Jika pemimpin hanya menghargai orang-orang yang pandai memuji, maka sugar coating akan tumbuh subur. Sebaliknya, jika pemimpin terbuka terhadap masukan dan memberi ruang dialog yang aman, bawahan akan lebih berani berbicara jujur tanpa takut kehilangan posisi.

Artinya, keberhasilan organisasi sangat tergantung pada iklim komunikasi dua arah, antara atasan dan bawahan, antara rekan sejawat, bahkan antar divisi.

Solusi agar Sugar Coating Tidak Menjadi Racun Organisasi

1. Bangun budaya keterbukaan

Setiap karyawan harus merasa aman untuk berbicara jujur. Perusahaan bisa membuat forum internal atau mekanisme umpan balik anonim agar suara bawahan tetap terdengar.

2. Tetapkan sistem penilaian berbasis kinerja

Promosi harus didasarkan pada hasil kerja dan kontribusi nyata, bukan kemampuan memoles kata-kata. Transparansi dalam evaluasi penting untuk menjaga keadilan.

3. Latih komunikasi asertif dan empatik

Asertif berarti mampu menyampaikan pendapat dengan jelas tanpa agresif. Perusahaan bisa mengadakan pelatihan agar setiap pegawai tahu cara memberi dan menerima kritik dengan sehat.

4. Pemimpin sebagai teladan

 Atasan perlu menunjukkan bahwa kritik tidak dianggap ancaman, tetapi sebagai bahan evaluasi. Ketika pimpinan bisa menerima masukan dengan lapang dada, bawahan akan meniru sikap tersebut.

5. Gunakan metode "sandwich feedback"

Mulailah dengan pujian, lalu sampaikan kritik secara spesifik, dan tutup dengan dorongan positif. Cara ini membantu pesan diterima tanpa menimbulkan perlawanan.

Antara Kata Manis dan Kejujuran

Dalam dunia kerja yang kompetitif, sugar coating memang tampak seperti strategi aman. Namun, terlalu banyak "gula" justru membuat organisasi kehilangan rasa aslinya. Kebenaran yang disembunyikan di balik pujian bisa menimbulkan keputusan salah, budaya kerja palsu, dan hilangnya integritas.

Menjaga kesopanan adalah hal baik, tapi kejujuran tetap harus menjadi pondasi utama. Sebab, jabatan yang diperoleh lewat kepura-puraan hanya akan bertahan sementara. Sementara karier yang dibangun di atas integritas akan tumbuh kuat, meski tanpa banyak kata manis.

Jadi, sugar coating boleh saja asal bukan untuk menipu, melainkan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang lebih manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun