Hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah semestinya menjadi poros penting dalam keberlangsungan pemerintahan yang efektif di tingkat lokal. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit pasangan kepala daerah dan wakilnya yang justru terjebak dalam konflik internal hingga menyebabkan perpecahan.Â
Fenomena ini dikenal dengan istilah "pisah ranjang"---relasi yang retak meskipun masih menjabat bersama secara formal.
Salah satu contoh nyata dari situasi tersebut terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, ketika Bupati Ade Sugianto dan Wakil Bupati Cecep Nurul Yakin secara terbuka menunjukkan perbedaan pandangan dan arah politik, yang berujung pada gugatan hukum hingga keputusan Mahkamah Konstitusi.
Penyebab Ketidakharmonisan: Politik, Kekuasaan, dan Ambisi
Kasus di Kabupaten Tasikmalaya mencerminkan penyebab umum konflik antara kepala daerah dan wakilnya:
Koalisi Politik yang Rentan Pecah Ade dan Cecep terpilih dalam satu perahu politik pada Pilkada 2020, namun menjelang Pilkada 2024, keduanya mengambil arah politik yang berbeda. Cecep mencalonkan diri sebagai bupati dari koalisi partai yang berbeda, meninggalkan Ade yang tetap mencoba melanjutkan jabatannya. Perbedaan dukungan partai dan strategi politik ini menjadi titik awal ketegangan yang membesar.
Minimnya Kewenangan Wakil Kepala Daerah
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, wakil kepala daerah hanya bertugas jika diberi pelimpahan oleh kepala daerah. Dalam banyak kasus, ini menciptakan ketimpangan peran yang bisa menimbulkan frustrasi, terutama ketika wakil merasa tak diberi ruang untuk berkontribusi maksimal.
Ambisi Politik Pribadi
Banyak wakil kepala daerah melihat posisi mereka sebagai batu loncatan menuju jabatan kepala daerah. Cecep, misalnya, memutuskan maju sebagai calon bupati dengan pasangan politik baru, menunjukkan bahwa loyalitas bisa tergeser oleh ambisi individu.
Kasus Kabupaten Tasikmalaya: Retaknya Duet Ade--Cecep
Hubungan Ade Sugianto dan Cecep Nurul Yakin mulai memanas saat Cecep menyatakan tidak akan mendampingi Ade lagi di Pilkada 2024. Bahkan, Cecep secara terbuka mengkritik kepemimpinan Ade dan menyatakan pasangan sebelumnya "tidak ideal".
Ketegangan berubah menjadi konflik hukum saat Cecep dan pasangannya, Asep Sopari Al-Ayubi, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, menolak pencalonan Ade Sugianto dengan dalih telah menjabat dua periode.Â
MK akhirnya mendiskualifikasi Ade dan memerintahkan pemungutan suara ulang tanpa dirinya. Ini menunjukkan konflik yang awalnya politis berubah menjadi konstitusional.