Mohon tunggu...
Nadiya Putri Rusjdi
Nadiya Putri Rusjdi Mohon Tunggu... @narichifleur

Saya adalah seorang event styling, floral stylist, sekaligus penulis reflektif. Lewat platform Narichifleur, saya menciptakan dekorasi bunga yang tak sekadar indah, tapi juga menyentuh sisi emosional manusia. Hobi saya menulis, menyusun rangkaian bunga, dan membangun ruang healing untuk perempuan yang ingin bangkit dengan cara yang lembut namun berdaya. Topik favorit saya meliputi: refleksi diri, kehidupan ibu tunggal, healing lewat seni dan simbolisme bunga, spiritualitas praktis, hingga self-design dengan teknologi. Saya percaya bahwa setiap cerita perempuan, sekecil apa pun, layak didengar. Kompasiana adalah ruang saya untuk berbagi serpihan proses, pelajaran, dan harapan agar siapa pun yang membaca tahu bahwa ia tidak sendirian. Mari berproses hingga mendapatkan hasil akhir kehidupan yang indah, sebagaimana merangkai bunga satu persatu, untuk kemudian menjadi satu rangkaian akhir yang indah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kami Berpisah untuk Bertumbuh : Cerita dari Gerbang Asrama

14 Juli 2025   22:14 Diperbarui: 14 Juli 2025   22:29 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber pribadi; IG :@narichifleur  

Juli: Musim Anak Masuk Sekolah, dan Ibu Masuk Diri

Juli datang seperti biasa dengan seragam baru, tas baru, harapan baru. Media sosial ramai dengan wajah-wajah kecil yang semangat memasuki hari pertama sekolah. Saya juga mengalami hal itu. Tapi bukan sekadar antar anak ke sekolah.

Saya mengantarnya ke asrama. 

Dan untuk pertama kalinya dalam perjalanan saya sebagai ibu tunggal, rumah terasa benar-benar sunyi.

 Percakapan Awal: Kenapa Harus Berubah?

"Ma... kenapa ya? Kan aku udah nyaman hidup di rumah?"

Ia bertanya sambil tidak melihat ke arah mata saya, tidak ada air mata. Hanya nada bingung. Jujur.

Saya diam sejenak. Lalu menjawab:

"Karena hidup bukan soal nyaman, Nak... tapi soal berkembang."

Dan kalimat itu ternyata bukan hanya untuk dia. Tapi juga untuk saya.

Karena sesungguhnya, yang keluar dari zona nyaman hari itu bukan hanya dia. Tapi saya juga.

 Zona Nyaman dan Detachment: Pelajaran Dua Arah

Banyak orang mengira, yang sedang belajar di masa ini hanyalah si anak. Padahal... ibunya juga sedang belajar diam-diam. Dulu, saya merasa aman dalam rutinitas menyiapkan sarapan, mengingatkan jadwal belajar, menyelipkan camilan kecil ke tas sekolahnya. Semua itu membuat saya merasa "berfungsi".

Sekarang, saya harus belajar duduk sendiri di meja makan. Belajar tidak selalu tahu kabarnya setiap jam. Dan tetap percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Inilah latihan detachment. Melepas, tapi tidak menjauh.

Mencintai, tanpa harus mengendalikan.

Hadir, tanpa selalu muncul.

 

 Emotional Anchor: Cinta yang Tidak Harus Melekat

Saya tahu saya tidak akan bisa menjaganya secara langsung. Maka saya titipkan bagian dari diri saya dengan cara yang lebih halus.

Di dalam agendanya, saya sisipkan beberapa tulisan tangan. Kalimat-kalimat pendek, bukan pesan dramatis, tapi peneguh kecil saat ia mulai ragu:

"Kalau kamu merasa sendiri, kamu tidak benar-benar sendiri.  Ama selalu mendoakanmu."

"Tenang bukan berarti lemah. Diam bukan berarti kalah."

"Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan."

 Surat Darurat dari Ama , baca kalau sedang sedih.. dan lain-lain

Saya juga memberikan sebotol kecil aromatherapy peppermint, aroma yang kami biasa pakai di rumah ketika ia gelisah saat belajar, saat demam, atau saat grogi sebelum tampil.

"Kalau kamu mulai nggak nyaman, gelisah, atau kepala pusing... pakai ini. Tarik napas pelan-pelan. Mama juga biasa begitu," saya bilang. Benda kecil itu bukan sekadar wewangian. Ia adalah emotional anchor, sebuah pengingat bahwa meski saya tak ada secara fisik, rasa tenang yang kami bangun bersama tetap bisa ia bawa kemana pun.

 Proses Dalam: Otot Jiwa yang Terbangun

Beberapa hari setelah kepergiannya, saya merasakan ruang kosong. Bukan kesepian, tapi ruang. Dan dari ruang itu, perlahan saya mulai mengenali sesuatu:

Ada bagian dalam diri saya yang lama tidak saya latih. Seperti "otot", tapi bukan tubuh. Kekuatan batin yaitu sabar, boundaries, kepercayaan, ikhlas, yang selama ini tidak terlalu saya beri ruang untuk tumbuh.

Saya belum bisa bercerita banyak soal itu. Tapi satu hal yang saya tahu: detachment yang lahir dari cinta adalah jalan pulang saya ke diri sendiri.

 

 Percakapan Terakhir: Siapa yang Belajar?

"Kalau aku rindu, gimana Ma?"

"Kirim doa. Atau bayangkan Mama lagi duduk baca buku," jawab saya.

"Ama juga rindu. Tapi Ama juga lagi belajar."

"Belajar apa?"

Saya tersenyum. "Belajar jadi perempuan yang bukan cuma jadi ibu. Tapi juga jadi diri sendiri."

 Penutup: Dua Arah Pertumbuhan

Hari itu, kami berpisah di depan gerbang asrama. Tidak ada drama. Tidak ada linangan air mata.

Tapi ada satu hal yang sangat terasa: Kami berdua sedang tumbuh.

Dia,  ke dunia luar.

Saya, ke dalam diri yang pernah saya tunda.

Zona nyaman kami masing-masing sedang diuji. Bukan untuk ditinggalkan, tapi untuk diperluas. Karena cinta sejati memang tak selalu tentang kedekatan... 

tapi tentang kesadaran dan keikhlasan untuk melihat yang kita cintai menjadi versi terbaiknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun