Siapa yang tak mengenal sosok K. H. Wahid Hasyim? Seorang pahlwan nasional dengan sumbangsihnya terhadap negeri tercinta berupa pemikirannya yang tajam. Sebagai tokoh Islam terkemuka, K.H. Wahid Hasyim memainkan peran krusial dalam perumusan dasar negara Indonesia. Dalam perjalanan bangsa ini, beliau tercatat sebagai salah seorang amggota Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kontribusinya untuk negeri ini membuat beliau ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1960.Â
K. H. Wahid Hasyim lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914. Beliau merupakan putra kelima dari sepuluh bersaudara yang diasuh dalam lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng. Ayahnya merupakan seorang pendiri Nadhatul Ulama (NU), Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari. Menjelang masa remaja, beliau mengembara ke berbagai pesantren terkemuka di Jawa, yakni Siwalan Panji dan Lirboyo. Beliau tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga belajar menguasai bahasa Inggris dan Belanda.Â
Sejak berusia 18 tahun, K. H. Wahid Hasyim dikenal dengan semangatnya memajukan pola pikir umat. Pada saat beliau pergi menjalankan ibadah haji di tanah suci, beliau tidak hanya menimba ilmu keislaman, tetapi juga mengamati perkembangan global dari perspektif pusat dunia islam. Sepulangnya beliau dari tanah suci, beliau menjadi seorang pengajar di Tebuireng. Sebagai seorang pengajar, K. H. Wahid Hasyim muda memasukkan mata pelajaran umum di Tebuireng. Para santri tidak hanya diajarkan bahasa Arab, melainkan juga bahasa-bahasa Eropa seperti, Inggris dan Belanda yang telah dikuasainya. Meskipun sempat ditolak oleh para kiai yang lebih tua, nyatanya hal itu tak mematahkan semangatnya demi meningkatkan mutu pesantren.Â
K. H. Wahid Hasyim juga dikenal sebagai sosok yang terbuka kepada semua orang, namun beliau merupakan sosok yang tidak mudah terpengaruh dan teguh terhadap prinsip hidupnya. Peran beliau bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan jati diri bangsa Indonesia.
Pada 29 April 1945 Jepang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tempat berkumpulnya nasionalis dari berbagai kalangan. Di sinilah kerangka negara masa depan Indonesia dirumuskan, termasuk pembahasan tentang dasar negara. Salah satu perdebatan penting terjadi mengenai hubungan antara agama dan negara. Hal ini mencuat setelah Piagam Jakarta disusun oleh Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno. Piagam Jakarta memuat sila pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," yang dikenal sebagai Sila Ketuhanan "dengan tujuh kata."
Indonesia dinyatakan resmi merdeka pada 17 Agustus 1945, namun sehari setelahnya datang perwira Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan keluhan dari rakyat non-Muslim di Indonesia timur terkait keberatan atas sila dengan "tujuh kata" tersebut. Bung Hatta khawatir hal ini dapat memecah belah bangsa sejak awal kemerdekaan.Â
Maka dari itu, Bung Hatta mengundang empat tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Mohammad Hasan, dan KH Abdul Wahid Hasyim. Meskipun sebelumnya "tujuh kata" tersebut telah disetujui dalam Panitia Sembilan oleh kubu Islam dan nasionalis-sekuler, pihak Islam akhirnya memakluminya dan menerima perubahan sila itu menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa."
Ada dua versi mengenai peran KH Abdul Wahid Hasyim dalam perubahan ini. Versi pertama menyebutkan bahwa keempat tokoh Islam tersebut menyetujui penghapusan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," dan K. H. Abdul Wahid Hasyim mengusulkan penambahan kata "Yang Maha Esa" setelah "Ketuhanan." Versi kedua menyatakan bahwa usulan penambahan kata "Yang Maha Esa" sebenarnya datang dari Bung Hatta, dan K. H. Wahid Hasyim merespons bahwa frasa tersebut sesuai dengan ajaran tauhid dalam Islam serta dapat memuaskan kalangan Islam karena hanya Islam yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, sila pertama Pancasila yang disepakati menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa" agar bisa diterima oleh semua kalangan tanpa menimbulkan perpecahan di awal kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, pada tanggal 19 April 1953 K. H. Wahid Hasyim setelah mengalami kecelakaan mobil di Cimahi saat hendak menghadiri pertemuan Partai NU se-karesidenan Priangan. Dapat kita ketahui bahwa sampai di akhir hayat beliau pun masih menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI