Upaya untuk mendorong konsumsi berkelanjutan juga dilakukan melalui
pendidikan dan penyediaan informasi. Berbagai program pendidikan dan kampanye informasi telah dirancang untuk meningkatkan kesadaran konsumen tentang dampak lingkungan dari tindakan mereka. Namun, seperti ditunjukkan oleh Barr (2007) dan Bostrm dan Klintman (2008), peningkatan kesadaran tidak selalu diterjemahkan ke
dalam tindakan yang berkelanjutan.
Studi menunjukkan bahwa meskipun individu memiliki niat baik, sering kali
terdapat kesenjangan antara niat dan tindakan. Ini dikenal sebagai 'kesenjangan nilai-tindakan' (value-action gap). Oleh karena itu, strategi pendidikan dan informasi perlu dilengkapi dengan intervensi struktural yang memungkinkan perilaku berkelanjutan menjadi pilihan yang mudah dan realistis.
BAGIAN 17: Globalization, Convergence, and The Euro-Atlantic Development Model Wolfgang Sachs. (Globalisasi, Konvergensi, dan Model Pembangunan Euro-Atlantik Wolfgang Sachs).
Kenneth Pomeranz dari University of California di Los Angeles mengajukan
sebuah hipotesis 'lingkungan' (Pomeranz, 2000). Dengan mengajukan pertanyaan
secara lebih spesifik, ia bertanya-tanya bagaimana Inggris bisa melampaui Tiongkok. Pada akhir abad ke-18, baik Delta Yangtze di Tiongkok maupun Inggris sama-sama dibatasi dalam pengembangan ekonominya oleh kelangkaan lahan yang tersedia untuk
menanam makanan, menyediakan bahan bakar, dan bahan-bahan lainnya. Namun
hanya Inggris yang berhasil "lepas landas", yang dicapai dengan memanfaatkan dua jenis sumber daya baru. Pertama, Inggris mendapatkan akses ke sumber daya hayati dari wilayah seberang laut. Dan yang terpenting, Inggris berhasil mengeksploitasi 'hutan
bawah tanah' dengan mempelajari cara memanfaatkan batu bara untuk proses industri. Sebaliknya, Tiongkok tidak memiliki koloni dan tidak mengakses cadangan batu bara yang jauh. Keberhasilan peradaban Euro-Atlantik sangat bergantung pada akses terhadap sumber daya dari wilayah geografis luas dan kedalaman geologis bumi.
Pada bagian The Development Dilemma (Dilema Pembangunan) terdapat bagian:
"With Britain's 'take- off' the landscape of inequality among nations began to change. Since the third decade of the nineteenth century the world has witnessed a growing gap in income between industrialized and non- industrialized countries. Britain, Germany and France rushed ahead, followed by Italy, the USA and Japan, leaving the non-
industrialized world increasingly behind. Consequently, between 1820 and 2000 global income disparity has grown continuously, rapidly up to the Second World War and at a slower pace in the second half of the past century (Bourguignon and Morrison, 2002; Firebough, 2003; Milanovic, 2005). As a result, global inequality has continued to remain very marked, comparable only to notoriously unequal nations like Brazil
or South Africa".
Sejak "lepas landas" industrialisasi di Inggris, jalur pembangunan global telah
menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara industri dan non-industri. Sering waktu, negara-negara industri seperti Eropa dan Amerika Utara melaju pesat dengan memanfaatkan sumber daya hayati dan fosil dari negara-negara koloni atau negara Selatan, menciptakan keunggulan energi dan ekonomi yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memungkinkan produksi massal dan kenyamanan hidup, tetapi keberhasilan ini mengorbankan keberlanjutan ekologi global. Meskipun hanya sepertiga penduduk dunia yang menikmati kemakmuran industri, sistem ekologis planet ini sudah kewalahan dan sumber daya semakin menipis.Â
Model pembangunan Euro-Atlantik yang dulu dianggap sebagai puncak kemajuan, kini terbukti tidak berkelanjutan dan tidak bisa diterapkan secara merata di seluruh dunia karena keterbatasan sumber daya dan dampak lingkungan. Namun, model
ini telah memengaruhi harapan dan imajinasi global, bahkan pada masyarakat miskin yang hidup di pelosok. Pertumbuhan pesat Tiongkok menjadi contoh nyata dari dilema ini---mengurangi kemiskinan sambil merusak lingkungan secara besar-besaran dan
membebani sumber daya global. Kondisi ini menimbulkan dilema besar: jalur
pembangunan saat ini menciptakan kekayaan bagi segelintir orang tetapi memperburuk ketimpangan ekologis dan sosial. Masa depan menuntut pergeseran menuju gaya hidup berkelanjutan yang hemat sumber daya dan selaras dengan keseimbangan ekologi serta keadilan sosial. Tanpa transformasi ini, kesejahteraan global akan tetap sulit dicapai, dan abad ke-21 akan diwarnai oleh ketegangan mendasar antara kemakmuran dan keadilan.
Dalam subbab Unequal appropriation of global resources (Perebutan Sumber Daya
Global yang Tidak Merata) terdapat rigkasan:
"For centuries, international trade has driven an unequal global distribution of natural resources, favoring wealthy countries with purchasing and political power. Today, about 25% of the world's
population consumes 75% of its resources. Countries in the Global North, particularly the USA, Europe, and Japan, heavily consume resources like aluminum, nickel, oil, and gas---much of which originates from the Global South. This imbalance has been a root cause of numerous geopolitical conflicts.Â
In the past two decades, however, global economic geography has shifted. Emerging economies such as China, India, Brazil, and others have rapidly increased their share in global production and consumption. This has led to rising CO emissions and ecological footprints in the South. Yet, economic growth is mostly concentrated in urban industrial centers, not across entire nations. Global production now relies on select regions linked by transnational supply chains.
Thus, development is increasingly spatial and corporate, rather than national in nature".
Perdagangan internasional telah mendorong distribusi sumber daya alam global yang tidak merata, dengan menguntungkan negara-negara kaya yang memiliki kekuatan beli dan kekuasaan politik. Saat ini, sekitar 25% dari populasi dunia mengonsumsi 75% dari sumber daya global. Negara-negara di kawasan Utara global, khususnya Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, mengonsumsi secara besar-besaran sumber daya seperti aluminium, nikel, minyak, dan gas---yang sebagian besar berasal dari negara-negara
Selatan global. Ketimpangan ini telah menjadi penyebab utama berbagai konflik
geopolitik. Namun, dalam dua dekade terakhir, geografi ekonomi global telah mengalami pergeseran. Negara-negara berkembang seperti Tiongkok, India, Brasil, dan lainnya dengan cepat meningkatkan peran mereka dalam produksi dan konsumsi global. Hal ini
menyebabkan peningkatan emisi CO dan jejak ekologis di negara-negara Selatan.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi tersebut sebagian besar terkonsentrasi di pusat-pusat industri perkotaan, bukan merata di seluruh wilayah negara. Produksi global kini bergantung pada wilayah-wilayah tertentu yang terhubung melalui rantai pasok transnasional.
Dalam subbab The rise of a transnational consumer class (Munculnya kelas
konsumen transnasional) pada bagian:
"Globalization does not encompass all areas of a country, nor all social classes. On the contrary, like cliff s in the surf, the structures of domestic inequality have defi ed the recurrent waves of development,
growth and globalization over the last 30 years. Furthermore, the globalization period is marked by a nearly universal tendency towards an increase in domestic inequality (Cornia and Court, 2001: 8; World Bank, 2005: 44). Globalization has not been uniform across countries or social classes, resulting in increased domestic inequalities, especially in newly industrialized countries. A transnational consumer class has emerged, consisting of about 1.7 billion people worldwide, roughly a quarter of the global population, split evenly between the Global North and South. This consumer class shares similar lifestyles and purchasing patterns, driving global demand for resources such as meat, electrical appliances, and motor vehicles. The high consumption patterns place significant strain on the Earth's biosphere.
Access to resources by this transnational consumer class is largely determined by power dynamics, which facilitate the transfer of natural resources from poorer regions to wealthy consumers. This unequal distribution often triggers social unrest and conflict, as seen in various
geopolitical and ethnic disputes tied to resource competition. Resource extraction commonly takes place in indigenous and local communities, especially in the Global South, often harming their environment and livelihoods through pollution, deforestation, and displacement.
The environmental impacts of such exploitation extend to climate change, which disproportionately affects poor countries and populations by increasing natural disasters, disease, and agricultural
decline. Geopolitical conflicts arise as nations compete for scarce essential resources like oil and water, with rising demand, limited supply, and geopolitical rivalries intensifying global insecurity. The peak of oil production and growing resource tensions foreshadow increasing instability and hardship, particularly for countries lacking both resources and wealth."
Periode globalisasi ditandai dengan kecenderungan hampir universal terhadap
peningkatan ketimpangan domestik (Cornia dan Court, 2001: 8; Bank Dunia, 2005: 44). Khususnya, negara-negara industri baru telah mencapai pendapatan nasional yang lebih tinggi dengan harga kesenjangan yang lebih lebar antara kaya dan miskin. Bagaimanapun, periode globalisasi telah menghasilkan kelas pemenang transnasional. Dapat dijelaskan Globalisasi tidak terjadi merata di seluruh negara dan kelas sosial, sehingga ketimpangan domestik justru meningkat, terutama di negara-negara baru industri. Muncul kelas konsumen transnasional sebanyak sekitar 1,7 miliar orang, sekitar
seperempat populasi dunia, yang tersebar merata antara negara maju (Utara) dan negara berkembang (Selatan). Kelas ini memiliki gaya hidup dan pola konsumsi serupa, yang mendorong permintaan global terhadap sumber daya seperti daging, peralatan listrik, dan kendaraan bermotor, sehingga memberikan beban besar pada lingkungan.